Menuju konten utama

Demi Cita-Cita, Mereka Mogok Bercinta

Punya aspirasi atau cita-cita dan kehabisan cara untuk menyuarakannya? Cobalah cara ini: mogok seks.

Demi Cita-Cita, Mereka Mogok Bercinta
ilustrasi mogok bercinta [foto/shutterstock]

tirto.id - Pada awal April lalu, penyanyi sekaligus bintang film Hidden Figures, Janelle Monae membuat pernyataan provokatif dalam wawancara untuk sampul majalah Marie Claire. Perempuan ini memberi perhatian khusus terhadap hak-hak perempuan yang kerap terabaikan oleh laki-laki. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak perempuan tersebut menurut Monae adalah dengan berpantang melakukan hubungan seks.

Diberitakan Huffington Post, Monae mengatakan, “Masyarakat harus mulai menghormati vagina. Sampai setiap laki-laki berjuang untuk hak-hak kita [perempuan], kita mesti mempertimbangkan untuk berhenti berhubungan seks. Saya mencintai laki-laki. Namun, laki-laki jahat? Saya tidak akan menoleransinya.”

Ternyata, aksi Monae bukanlah yang pertama. Sebelumnya telah tercatat beragam peristiwa dalam sejarah di mana pantangan berhubungan seks alias sex strike dilakukan sebagai strategi protes kaum perempuan di berbagai belahan dunia.

Catatan Historis tentang Mogok Seks

Antropolog Chris Knight (1991) menulis tentang sex strike dalam bukunya yang bertajuk Blood Relations: Menstruation and the origins of culture. Di sana, ia menyatakan bahwa kemunculan kekuatan perempuan di tengah masyarakat yang didominasi laki-laki telah banyak termuat dalam rekaman sejarah. Strategi yang paling lumrah dilakukan perempuan dari pengamatan Knight adalah penolakan untuk memasak atau berhubungan seks dengan suaminya dalam rangka memberi ‘hukuman’ terhadap tindakan laki-laki yang dianggap tidak layak.

Jauh sebelum aksi-aksi protes dengan pantang berhubungan seks dilakukan, lahir sebuah karya fiksi komedi Yunani karangan Aristophanes (411 SM) bertajuk Lysistrata. Karya ini mengisahkan tentang gagasan protes yang dicetuskan Lysistrata kepada perempuan-perempuan Yunani untuk menahan diri berhubungan badan dengan suami dan kekasihnya dalam rangka memaksa mereka menghentikan perang.

Infografik-seks-bentuk-protes

Rupanya, kisah ini menginspirasi beberapa perempuan di dunia yang ingin mewujudkan perdamaian atau perubahan sosial lewat jalan damai. Dalam buku Invitation to Peace Studies, Houston Wood (2016) mencatat sejumlah aksi mogok ngeseks di beberapa negara pada rentang waktu yang beragam.

Terdokumentasi dalam Global Nonviolent Action Database, pada abad ketujuh belas, perempuan-perempuan Iroquois—salah satu suku di utara Amerika—bersumpah tidak akan berhubungan badan dengan pasangannya sampai mereka diberi kewenangan lebih untuk menentukan kapan laki-laki bisa pergi berperang dengan suku lainnya.

Tidak cuma itu, perempuan-perempuan Iroquois ini juga berani memboikot akses terhadap makanan yang digunakan laki-laki untuk perang karena mereka punya kuasa penuh atas hasil bercocok tanam. Aksi ini dipandang sebagai bentuk pemberontakan bernapas feminis pertama di Amerika Serikat.

Berikutnya, Wood mencatat aksi protes serupa dilakukan perempuan-perempuan di Liberia pada 2003. Kelompok perempuan muslim dan Kristen membentuk organisasi yang menuntut penghentian perang sipil di sana. Selama demonstrasi, mereka menolak berhubungan seks sampai perjanjian perdamaian ditandatangani. Aksi protes kaum perempuan ini juga menyimpan tujuan lain yakni pemilihan umum yang bersih dan pada 2005, presiden perempuan pertama Liberia, Ellen Johnson Sirleaf terpilih.

Masih dari benua Afrika, pada 2009, perempuan-perempuan seluruh Kenya menolak berhubungan seks selama seminggu sebagai reaksi atas kekerasan yang terjadi pascapemilihan umum yang menewaskan 1.500 orang dan membuat setengah juta jiwa terpaksa mengungsi.

Sementara dari Asia, pada 2011, tercatat aksi pantang berhubungan badan dilakukan oleh sekelompok perempuan penjahit di Daho, Filipina. Protes ini dilakukan karena jalan yang biasa dilalui untuk mengantar produk mereka terhambat oleh perkelahian antarkelompok warga. Upaya yang dibuat para perempuan penjahit ini ternyata efektif. Dalam waktu seminggu, negosiasi antarkelompok yang berselisih dilakukan dan jalanan pun bersih dari kekerasan.

Terakhir, seperti dikutip Broadly, pada tahun yang sama, protes serupa terjadi pula di Barbacoas, Kolombia. Namun, berbeda dengan protes-protes sebelumnya yang terkait aksi kekerasan, perempuan-perempuan di sana menolak berhubungan seks karena pemerintah tidak kunjung memperbaiki jalan utama sepanjang 57 km di kota tersebut. Hal ini berimplikasi terhadap sulitnya akses makanan dan kesehatan bagi para warga.

Gagasan mogok seks ini muncul setelah upaya protes lainnya seperti mogok makan gagal mempersuasi pemerintah untuk memperbaiki kondisi infrastruktur di sana.

Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani