Menuju konten utama

Demam Lagi, Berdarah Lagi

Musim hujan di Indonesia sudah berakhir sejak Maret, atau setidaknya, begitulah menurut teori. Pada kenyataannya, hujan masih sesekali turun di berbagai kota. Hujan, secara teori pula, diikuti oleh munculnya nyamuk-nyamuk. Binatang-binatang yang kerap bergentayangan di daerah beriklim tropis ini tentu saja membawa penyakit.

Demam Lagi, Berdarah Lagi
Petugas melakukan pengasapan (fogging) guna memberantas nyamuk penyebab demam berdarah di Jakarta Selatan. Tirto/TF Subarkah

tirto.id - Salah satu penyakit yang selalu menjadi momok di saat musim hujan adalah demam dengue atau lebih akrab dengan sebutan demam berdarah.

Pada Januari 2016, Kementerian Kesehatan melansir data, terdapat tujuh kabupaten yang mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah. Ketujuh provinsi itu di antaranya: Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten; Kota Lubuklinggau, Provinsi Sumatera Selatan; Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu; Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali; Kabupaten Bulukumba, Pangkep, Luwu Utara, dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo; dan Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Jumlah korban yang terjadi pada rentang waktu tersebut sebanyak 492 orang dengan jumlah kematian 25 orang.

Angka tersebut meningkat lagi menjadi 11 kabupaten pada Februari 2016 setelah KLB juga terjadi di Kabupaten Mappi, Papua; Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur; Banyumas, Jawa Tengah; Bulukumba, Sulawesi Selatan; dan Majene, Sulawesi Barat.

Kejadian Luar Biasa yang Terlalu "Biasa"

Wabah/epidemi demam berdarah hampir menjadi rutinitas yang terus berulang setiap tahunnya di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan hampir selalu menetapkan kondisi Kejadian Luar Biasa setiap terjadi wabah demam berdarah. Sebagai informasi, penetapan Kejadian Luar Biasa akan dilakukan bila: pertama, jumlah kasus baru DBD dalam periode bulan tertentu menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih dibandingkan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya. Kedua, timbulnya kasus DBD pada suatu daerah yang sebelumnya belum pernah terjadi. Ketiga, angka kematian DBD dalam kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50 persen atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

Laman Universitas Gadjah Mada (law.ugm.ac.id) mencatat, epidemi demam berdarah pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1968 di Surabaya. Saat itu, ditemukan penderita sejumlah 58 orang dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang, atau mencapai 41,3%.

Penyakit demam berdarah selanjutnya menebar maut ke seluruh Indonesia yang berpuncak pada tahun 1988 dengan jumlah kasus menjadi 47.573 orang (3,2%). Angka incidence rate yang muncul saat itu menyentuh 27,1 per 100.000 penduduk. Hal ini menyebabkan 1988 dikenal sebagai tahun Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue Nasional.

Angka penderita demam berdarah dalam lima tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan. Pada 2015, penderita demam berdarah di Indonesia menyentuh angka 65.725 orang. Angka itu melonjak menjadi 90.245 orang pada 2012 dan 112.511 orang pada 2013. Angka ini kemudian turun menjadi 100.347 orang pada 2014. Angkanya kembali melonjak menjadi 126.646 orang pada 2015. Hingga Febuari 2016, sudah terdapat 8.487 orang yang meninggal akibat penyakit ini.

Wabah demam berdarah untuk pertama kalinya terdeteksi di Asia pada tahun 1953 saat terjadi epidemi di Filipina dan Thailand. Hal ini berarti, kasus wabah demam berdarah di Indonesia hanya berjarak 15 tahun dari epidemi pertama di Asia. Sementara itu, epidemi demam berdarah pertama di dunia tercatat menyapu tiga benua sekaligus (Asia, Afrika, dan Amerika Utara) pada 1780. Nyamuk Aedes aegypti, yang selama ini menjadi vektor (penular) penyakit, menurut laman www.eliminatedengue.com, berasal dari benua Afrika yang selama kurun waktu 400 tahun terakhir ini telah menyebar ke hampir seluruh wilayah beriklim tropis di dunia, khususnya di sekitar garis khatulistiwa.

Pencegahan

Demam berdarah ditularkan melalui virus yang terkandung di dalam air ludah nyamuk betina jenis Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. WHO menyatakan, nyamuk ini biasa berkeliaran pada pagi dan siang hari khususnya di luar ruangan. Apabila berada di dalam ruangan, nyamuk ini bisa berkeliaran nyaris sepanjang hari. Nyamuk Aedes Aegypti biasanya mampu terbang dalam radius 400 meter dari sarangnya. Data ini menunjukkan, persebaran epidemi demam berdarah tidak sepenuhnya disebabkan oleh pergerakan nyamuk pembawa/vektor, tetapi lebih karena mobilitas para manusia yang membawa virus-virus tersebut setelah menderita demam berdarah.

Demam berdarah disebabkan oleh virus dengue. Virus ini memiliki empat varian/serotype yaitu DEN-1, DEN-3, DEN-3 dan DEN-4 yang termasuk ke dalam genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Untuk penyebaran demam berdarah di Asia, termasuk Indonesia, varian yang paling berperan adalah DEN-2 dan DEN-3. Saat seseorang menderita demam berdarah, ia akan berperan sebagai “tangki penyimpan virus” di dalam tubunya. Virus dengue kemudian akan menyebar saat nyamuk yang belum mengandung virus dengue menggigit orang tersebut. Virus akan masuk ke darah manusia dan bertahan selama dua hingga tujuh hari, bersamaan dengan naiknya suhu tubuh si penderita. Selanjutnya, orang yang telah terinveksi dapat menularkan virus melalui gigitan nyamuk selama empat hingga maksimal 12 hari setelah gejala demam berdarah muncul.

Demam berdarah hingga saat ini belum ada obatnya. Penyembuhan demam berdarah hanya dilakukan melalui penanganan terhadap gejala-gejalanya, seperti demam, kekurangan cairan tubuh, atau kekurangan trombosit. Para ahli di dunia juga belum menemukan vaksin yang teruji secara sahih untuk mengantisipasi penyakit ini.

Sanofi Pasteur, sebuah divisi khusus vaksin dari perusahaan farmasi Sanofi, saat ini tengah berusaha mengembangkan vaksin untuk imunisasi demam berdarah. Vaksin bernama Dengvaxia ini telah didaftarkan di WHO pada Desember 2015 di Mexico. Vaksin ini diperuntukkan bagi orang berusia sembilan hingga 45 tahun yang tinggal di wilayah endemik demam berdarah. Vaksin ini merupakan “recombinant tetravalent vaccine” yang diambil dari kombinasi virus demam kuning dan empat varian virus dengue.

Terkait pendaftaran vaksin Dengvaxia, WHO menyatakan bahwa pendaftaran vaksin tersebut bukan berarti Dengvaxia sudah bisa digunakan untuk publik. WHO sampai saat ini belum mengeluarkan rekomendasi untuk vaksin apapun bagi demam berdarah. WHO Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) on Immunization pada April 2016 telah meninjau khasiat dari Dengvaxia, dan menyarankan penggunaan vaksin tersebut hanya digunakan di daerah-daerah endemik. WHO akan mempublikasikan position paper untuk mendasari rekomendasi Dengvaxia pada Juli 2016.

Pencegahan demam berdarah yang paling efektif sebaiknya ditujukan kepada populasi nyamuk pembawa virus, khususnya pembersihan habitat-habitatnya dari telur dan jentik yang masih menggenang. Selama ini, khususnya di Indonesia, pola pikir masyarakat masih berorientasi pada pembasmian nyamuk dewasa melalui fogging (pengasapan) dengan menggunakan insektisida. Cara tersebut hanya akan mematikan nyamuk dewasa, tapi tidak berpengaruh kepada telur-telur dan jentik yang masih bebas hidup. Selain itu, penggunaan insektisida yang rutin dan tidak sesuai takaran akan melahirkan generasi nyamuk yang kebal terhadap senyawa kimia tersebut.

WHO dan Kementerian Kesehatan sepakat bahwa cara paling efektif untuk mengendalikan wabah demam berdarah adalah dengan menjaga kebersihan lingkungan, khususnya mencegah timbulnya genangan-genangan air yang dapat menjadi sarang jentik dan telur nyamuk Kementerian Kesehatan memiliki program 3M Plus yang terdiri dari tiga program “M” pokok: menguras, menutup, dan mendaur ulang. Juga “Plus” yang terdiri dari: menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihka, menggunakan anti nyamuk, menggunakan kelambu saat tidur, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk, menanam tanaman pengusir nyamuk, mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah, dan menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah.

Baca juga artikel terkait DEMAN BERDARAH atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti