tirto.id - Deliar Noer adalah seorang reformis sejati, bukan reformis kemarin sore. Begitu kata mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengenai sosok kelahiran Medan pada 9 Februari 1926 itu. Pernyataan tersebut diungkapkan Ali usai menghadiri deklarasi pendirian Partai Ummat Islam (PUI), Jumat (26/6/1998).
PUI dideklarasikan di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan. Di sana, Deliar bertindak sebagai pembaca deklarasi. Selain Ali dan Deliar, tokoh terkemuka era itu semacam Muchtar Naim, Budhyatna, Mursalin Dahlan, Judilherry Justam, dan Muchtar Effendi juga menghadiri acara yang digelar semasa orang-orang Indonesia sedang rajin-rajinnya mendirikan partai setelah Soeharto lengser.
Dalam pidato deklarasi setebal 13 halaman, Deliar mengatakan partai Islam lebih banyak menjaga kepentingan negara daripada kepentingan kelompok. Partai yang didirikannya juga bertekad menjaga rahmat semua orang, bukan hanya kalangan Islam.
"Maka hubungan antarsuku, antaragama, malah hubungan dengan kalangan nonpri, hendaklah ditegakkan atas keadilan dan saling percaya, bukan atas dasar diskriminasi kalangan yang di atas kalangan yang lain," ujar Deliar, seperti dilansir Kompas (27/6/1998).
Deliar dikenal sebagai ilmuwan politik Indonesia. Ia menamatkan studi magister dan doktoral di Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat (AS). Disertasinya berjudul The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Karya akademis yang berhasil dipertahankan pada 1963 itu menjadikan Deliar sebagai doktor ilmu politik pertama di Indonesia. Sepuluh tahun kemudian disertasi tersebut diterbitkan.
Laki-laki berdarah Minang itu merasakan pahitnya menjadi orang yang dibuang di dua rezim berbeda. Dia dipecat dua kali. Pertama, pada masa Sukarno, Deliar diberhentikan dari jabatan dosen Universitas Sumatera Utara (USU) yang baru diembannya dua tahun, 1963-1965. Kedua, di era Soeharto, dia dipecat pada 1974 dari jabatan Rektor IKIP Jakarta yang diembannya sejak 1967. Setelah itu Deliar cabut ke Australia. Dia mengajar di Australia National University (ANU), Canberra dan jadi pengajar tamu di Griffith University, Brisbane.
Ketika penguasa Orde Baru semakin otoriter, Deliar turut memimpin Forum Pemurniaan Kedaulatan Rakyat (FPKR) yang dibuat pada 1991 untuk mengejawantahkan Petisi-50—berisi kritik terhadap Orde Baru—menjadi gerakan massa. Dari situ hubungan Deliar dengan tokoh-tokoh Petisi-50 semacam Ali Sadikin, Anwar Harjono, Slamet Bratanata, hingga H.R. Dharsono semakin dekat.
Tidak heran, ketika PUI dideklarasikan setelah Soeharto lengser, wartawan menanyakan kepadanya perihal keinginan menjadi ketua umum partai tersebut.
Saat deklarasi PUI, Deliar menyatakan tidak berminat jadi pimpinan partai. "Saya hanya mengantarkan saja," ujarnya. Namun Muktamar I PUI yang digelar pada Oktober 1998 memilihnya sebagai ketua umum pertama. Ia didampingi Fahmi Rahman yang menjabat sekretaris umum PUI.
PUI dan Pemilu 1999
Deliar tidak segan mengkritik politikus partai lain dan kebijakan pemerintah di era Pasca-Soeharto. Pada Oktober 1998 Deliar mendesak Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung melepas jabatan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) agar tak ada rangkap jabatan. Sebulan kemudian dia menyayangkan diterjunkannya satuan Pengamanan (Pam) Swakarsa di sekitar lokasi Sidang Istimewa MPR.
Salah satu organisasi yang aktif di Pam Swakarsa ialah Front Pembela Islam (FPI). Menurut Deliar, kehadiran Pam Swakarsa memicu terjadinya kerusuhan massa 12-13 November 1998.
Sedangkan pada Maret 1999, Musyawarah Nasional PUI di Bandung menyatakan mendukung keputusan rapat pimpinan wilayah PUI Oktober 1998 mengenai pencalonan Deliar Noer sebagai calon presiden RI ke-4 pada Pemilu 1999.
Menanggapi itu, Deliar mengatakan, "Untuk hal ini, kan, banyak juga yang harus dirundingkan. Ini, kan, berkaitan dengan keinginan para sahabat dalam PUI saja. Kita belum tahu sambutan kawan-kawan lain di luar PUI. Kalau keinginan PUI paling-paling saya bereaksi dengan kata insya Allah," kata Deliar kepada Kompas (20/3/1999).
Sayang, PUI tidak mampu berbuat banyak di pemilu pertama setelah Soeharto lengser itu. PUI memperoleh suara hanya 269.309. Kecil sekali perolehan ini—cuma mencakup 0,25 persen total suara sah nasional Pemilu 1999.
Dari HMI ke PDII
Lambang PUI berbentuk persegi panjang yang terbagi dua di tengah. Sebelah kiri berlatar warna hijau tua. Sebelah kanan berlatar warna hitam. Di tengah persegi panjang itu terdapat gambar bulan-bintang berwarna putih.
Warna hijau tua dan hitam mengingatkan kepada warna khas lambang Himpunan Mahasiwa Islam (HMI). Deliar memang aktif di HMI Jakarta pada 1950-an. Ia pernah jadi Ketua Cabang (1951-1953) dan Ketua Pengurus Besar HMI (1953-1955).
Pada dekade selepas itulah Deliar mulai dekat dengan Mohammad Hatta. Hubungan ini terjaga hingga akhir hayat sang wakil presiden pertama.
Dalam autobiografinya, Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa: Otobiografi Deliar Noer (1996), Deliar mengatakan dia mengenal Hatta ketika bekerja di Pers Biro Indonesia (PIA). Kata Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3 (2009), Hatta lantas memberi kesempatan pada Deliar untuk membaca dan melakukan riset di kamar perpustakaannya di Jalan Diponegoro 57.
Berkat kedekatan itu, Deliar pun jadi salah satu orang yang kerap Hatta ajak diskusi. Diskusi tersebut mengantarkan Deliar, jauh sebelum dia mendirikan PUI pada 1998, terlibat dalam pendirian Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII). Bila PUI gagal mendulang banyak suara, PDII bahkan tak sempat didirikan, apalagi ikut pemilu.
Pendirian PDII didorong kehendak Hatta untuk memberi contoh bagaimana seharusnya partai berfungsi. Sebagaimana dicatat Deliar dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik (1990), usaha itu diwujudkan bersama orang-orang yang lebih muda dari Hatta, yakni para pegiat HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Beberapa kiai seperti Abdullah Syafii dan Jamalullail atau tokoh GPII dan Masyumi semacam Anwar Harjono pada mulanya turut menyokong upaya Hatta tersebut.
"Persiapan-persiapan dilakukan dengan intensif mulai tahun 1965: perundingan-perundingan bersama Hatta diadakan di rumahnya, dan di ruangan Universitas Islam Djakarta," sebut Deliar.
Banyak yang pro, banyak pula yang kontra dengan PDII. Beberapa orang mempermasalahkan keterlibatan Hatta di partai politik. Sebelumnya, Hatta tidak berafiliasi dengan partai maupun organisasi Islam manapun.
Hatta juga diminta menggabungkan embrio partainya itu ke Badan Amal Muslimin, forum komunikasi organisasi Islam di bidang sosial budaya. Hatta menolaknya sebab ia tidak yakin cara-cara Amal Muslimin membawa kesegaran dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Walhasil, Amal Muslimin bersama eksponen Masyumi, partai yang telah dibubarkan pada 1960, bikin Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1967.
Menganggu Stabilitas Politik, Kata Soeharto
Pada 11 Januari 1967 Hatta mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Ia menerangkan maksudnya mendirikan PDII, mulanya selama tiga bulan sebagai gerakan.
"Hatta sendiri menyampaikan surat itu kepada Soeharto dan mendapat kesan dari pembicaraannya dengan Kepala Negara bahwa ia tidak menaruh keberatan, sungguhpun sambutannya tidak antusias," sebut Deliar.
Hatta mengirim surat lagi kepada Seoharto pada 14 April 1967. Ia mengatakan Gerakan Demokrasi Islam Indonesia (GDII) akan memperkenalkan diri ke publik pada minggu pertama Mei 1967. Satu hingga dua bulan berikutnya, GDII akan jadi PDII.
Sekitar sebulan kemudian Hatta melayangkan surat lagi kepada The Smiling General. Dalam surat bertanggal 11 Mei 1967, Hatta menuliskan, "bantuan Saudara supaya Gerakan ini dapat berjalan dengan seksama dengan tiada mendapat halangan dari pejabat-pejabat di daerah."
Perihal pejabat-pejabat ini, Deliar menyatakan Hatta menganggap Koordinator Staf Pribadi (SPRI) Pejabat Presiden, Mayor Jenderal Alamsjah, bisa menyetujui gagasan Hatta. Tapi Deliar, yang saat itu juga menjadi anggota tim ahli SPRI, punya kesan lain: Alamsjah sebetulnya tidak setuju.
Belakangan, kesan Deliar benar. Pada 17 Mei 1967 Hatta mendapat surat dari Soeharto. Presiden kedua Indonesia itu tidak menyetujui pendirian GDII atau PDII. "Reaksi-reaksi yang timbul terhadap gagasan Gerakan/Partai tersebut tidak positif dan merupakan gejala-gejala yang dapat mengganggu stabilitas politik," kata Soeharto.
Begitulah wajah politik Deliar Noer. Di bidang ilmu politik, dia moncer sebagai ilmuwan yang tak kenal lelah belajar meskipun berkali-kali dibuang. Deliar juga tidak gentar melawan rezim tiran. Sayang, peruntungan di jalan politik lewat demokrasi prosedural selalu tumbang.
Pada Selasa, 17 Juni 2008, penyakit jantung Deliar kambuh. Dia dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sekitar 24 jam lamanya Deliar dirawat di sana. Esoknya, Rabu, 18 Juni 2008, tepat hari ini 11 tahun lalu, Deliar meninggal dunia.
Editor: Ivan Aulia Ahsan