tirto.id - Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Palu dibuat pusing tujuh keliling saat memasuki bulan Puasa. Pada 14 Juni 2016, yang bertepatan dengan Hari Donor Darah Sedunia, stok darah di PMI Palu hanya 171 kantong untuk seluruh jenis golongan darah. Stok tersebut hanya dapat memenuhi kebutuhan darah selama enam hari di ibukota Sulawesi Tengah itu.
PMI tak kehilangan akal. Mereka menggelar safari donor darah di masjid-masjid se-Kota Palu selama bulan Ramadan untuk memenuhi kebutuhan stok darah selama bulan puasa. Safari donor diadakan seusai salat tarawih.
"Saat bulan Ramadan, pendonor darah yang datang ke PMI berkurang drastis," kata Direktur PMI Sulawesi Tengah dr. Abdullah dikutip dari Antara.
Masalah yang dihadapi PMI Palu ini hanya segelintir dari persoalan klasik krisis stok darah di berbagai kota di Indonesia. Berbagai upaya kreatif sudah diterapkan oleh PMI untuk mengumpulkan donor darah di masyarakat dari iming-iming hadiah hingga aksis sukarela.
Setiap hari, setiap jam, menit, bahkan detik, di dunia terdapat kebutuhan transfusi darah dari orang-orang demi menyambung hidup. Sayangnya, hanya 40 persen dari penduduk di negara berkembang, yang dapat terpenuhi kebutuhan darahnya. Para pendonor sering dianggap sebagai pahlawan kemanusian, tapi kenyataannya tak banyak orang berkesempatan mendonorkan darahnya.
“Setiap waktu para pendonor darah menyumbangkan darahnya, mereka telah melakukan tindakan heroik,” kata Direktur Jasa Pengiriman dan Keamanan World Health Organization (WHO) Ed Kelley.
Menurut data WHO tercatat hanya ada 108 juta pendonor darah secara global dari populasi 7 miliar manusia sejagad raya. Jumlah ini jelas sangat minim. Para pendonor ini separuhnya berasal dari negara-negara maju. Tercatat hanya 62 negara yang telah memenuhi kebutuhan darah secara mandiri atau 100 persen didapat secara sukarela. Sebanyak 34 negara masih bergantung dari donor darah para keluarga pasien, selebihnya harus mengeluarkan anggaran untuk membayar donor dari 75 persen kebutuhan sang pasien.
Persoalan darah bukan hanya soal kesadaran, tapi juga soal infrastruktur. Tercatat ada 25 negara di dunia yang masih minim alat pendukung sebagai penyaring darah dari risiko penyakit menular. WHO menargetkan pada 2020, semua negara sudah dapat memenuhi 100 persen kebutuhan darah dari para pendonor darah secara sukarela. Pekerjaan rumah ini juga masih menjadi kendala di Indonesia.
Statistik Donor Darah
Di negara-negara berkembang, defisit stok darah menjadi langganan masalah setiap tahun. Di Indonesia saja, rata-rata ada kekurangan sekitar 1,3 juta kantong darah per tahun dengan tingkat kebutuhan mencapai 4,8 juta kantong per tahun. Setiap tahunnya, PMI menargetkan hingga 4,5 juta kantong darah sesuai dengan kebutuhan darah nasional, disesuaikan dengan standar WHO.
Ibu hamil dan melahirkan termasuk salah satu kelompok yang mengalami kerugian akibat kekurangan kantong darah. Angka Kematian Ibu (AKI) juga masih cukup tinggi yaitu 359 per 100.000 kelahiran (SDKI 2012). Kementerian Kesehatan menunjukkan, penyebab kematian ibu melahirkan 35 persen akibat perdarahan.
Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Indonesian Scientific Journal Database (ISJD) pernah melaporkan jumlah pendonor darah sukarela di Indonesia masih rendah yaitu hanya 0,6 persen dari jumlah penduduk. Angka ini lebih rendah dibandingkan dari target WHO dengan jumlah donor darah sukarela sebanyak 2 persen penduduk setara dengan lebih dari 4 juta kantong darah per tahun.
Tingkat donasi darah di Indonesia juga masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain di Asia, sedangkan permintaan darah semakin tinggi. Pemicu rendahnya jumlah donor darah sukarela karena tidak ada permintaan donor ke calon pendonor. Selain itu, komunikasi ajakan untuk menyumbangkan darah belum menyentuh banyak calon pendonor darah potensial. Takut pada jarum suntik dan ketidaktahuan cara untuk menjadi donor darah, berkontribusi pada rendahnya partisipasi pendonor.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami defisit stok darah. Di dunia, banyak negara juga mengalami nasib yang sama. Salah satunya Inggris, yang notabene negara maju, ternyata juga mengalami masalah krisis stok darah.
Dikutip dari mirror.co.uk, saat ini ada 4 persen penduduk Inggris yang mendonorkan darahnya, angkanya memang lebih tinggi dari Indonesia. Yang mengkhawatirkan, justru jumlah pendonor baru mengalami penurunan hingga 40 persen selama 10 tahun terakhir. Penyebabnya karena adanya tren penggunaan tato di Inggris dianggap jadi penyebabnya. Aturan di Inggris, seorang yang telah mentato tubuhnya butuh setidaknya 6 bulan setelahnya untuk diizinkan mendonorkan darah.
Kisah Sukses
Hingga kini WHO mencatat ada lima negara berkembang yang sukses dalam penyelenggaraan donor darah di dunia. Mereka adalah Cook Islands, Haiti, Iran, Sri Lanka, dan Vietnam. Setiap negara memang punya tantangan tersendiri mulai dari jumlah penduduk yang mempengaruhi banyak permintaan darah, luas wilayah. Kuncinya adalah ada upaya pemerintah yang kuat terhadap ketersedian stok darah dan kemudahan mendapatkan donor darah.
Di Cook Islands misalnya, negara mungil ini sempat mengalami masa-masa sulit untuk mendapatkan darah padahal negara ini hanya seluas 240 km2 atau setara dengan Kota Depok atau Kota Bekasi. Sebelum adanya gerakan donor darah yang masif, para pasien harus bersusah-susah mencari darah dan mengandalkan sumbangan darah dari kerabat mereka.
Semenjak 2004, Rarotonga Hospital Laboratory Blood Bank Service dan Palang Merah Cooks Islands melakukan gebrakan program donor darah 100 persen secara sukarela. Mereka melakukan edukasi ke berbagai komunitas hingga pekerja kesehatan. Upaya gencar menghimpun darah dilakukan secara konsisten melalui kegiatan donor di setiap Sabtu pagi di pasar-pasar, di sekolah-sekolah menengah atas, organisasi kepemudaaan, internal pegawai pemerintah, hingga berbagai komunitas.
Hasilnya luar biasa, dalam tiga tahun negara ini mencapai 100 persen donor darah secara sukarela atau naik 30 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Dari populasi Cook Islands yang hanya 20.000 jiwa, jumlah pendonor meningkat 5 kali lipat lebih atau 400 persen. Selain itu, tingkat infeksi darah bisa ditekan dari 6 persen hanya jadi 0,2 persen.
Kisah sukses juga datang dari Haiti, negara di Kepulauan Karibia. Melalui gerakan yang masif yang khusus menyasar anak-anak muda usia 16-25 tahun, Haiti mampu mendongkrak jumlah kantong darah dari rata-rata 10.000 unit darah, pada 2012 menjadi 30.000 unit darah dengan tingkat pendonor sukarela 85 persen. Pemerintah setempat mengerahkan mobil donor darah yang dibantu sukarelawan ke seluruh wilayah untuk menghimpun darah. Upaya edukasi dan publikasi gencar dilakukan dengan menyebar stiker, kaos, buku, pulpen, yang menyasar anak-anak muda untuk tergugah mendonorkan darahnya. Mereka sebut dengan konsep “Club 25”.
Negara lainnya adalah Sri Lanka. Negeri pulau ini punya pengalaman buruk untuk urusan ketersedian stok darah. Pada 1959, Perdana Menteri Sri Lanka SWRD Bandaranayake harus meregang nyawa kekurangan darah akibat luka tembak. Pada waktu itu Sri Lanka hanya punya satu bank darah di National Hospital of Sri Lanka yang masih mengandalkan donor berbayar, sebesar 10 rupee per orang. Semenjak kejadian itu perhatian publik terhadap donor darah mulai tertuju.
Sri Lanka memperluas jaringan bank-bank darah di daerah. Sebanyak 70 rumah sakit sudah punya stok darah secara nasional. Sejak 1979, sistem donor darah sudah tak ada, Sri Lanka sukses meningkatkan kesadaran publik untuk mendonorkan darahnya. Tercatat rata-rata ada 302.883 unit kantong darah setiap tahun dengan tingkat donor sukarela mencapai 87 persen. Sri Lanka juga mengembangkan teknologi fasilitas donor darah. Pada 2012, pemerintah menganggarkan 32 juta dolar AS untuk meningkatkan layanan donor darah.
Vietnam juga punya pengalaman yang positif dalam hal donor darah. Negeri komunis ini melakukan modernisasi alat transfusi darah dari alat-alat kuno mereka sejak 2001 dan mendorong kesadaran publik soal donor darah. Dalam waktu 10 tahun, Vietnam mampu mencatatkan 87 persen pendonor sukarela.
Stok darah mereka meningkat dari 268.394 unit kantong per tahun pada 2001 menjadi 776.420 kantong per tahun atau naik hampir 3 kali lipat di 2011 dengan 100 persen sudah lolos uji infeksi dari HIV dan hepatitis. Salah satu keberhasilan Vietnam adanya program pasangan muda yang baru menikah mendonorkan darahnya secara sukarela. Kesadaran publik di sana juga sudah tinggi terhadap donor darah dari kampanya donor darah yang marak seperti dalam momen tahun baru.
“Saya merasa sangat senang setiap saya mendonorkan darah saya. Saya berencana terus melanjutkannya,” kata Tran Anh Nath Houng (28) seorang guru Marie Curie High School di Ho Chi Minh City dikutip dari nationmultimedia.com.
Houng merupakan salah satu pendonor dari 100 paling top di Vietnam. Ia sudah mendonorkan darahnya hingga 27 kali, sehingga mendapatkan penghargaan bergengsi dari pemerintah.
Di Indonesia, para pendonor darah sukarela (DDS) yang telah berdonor darah 100 kali akan mendapatkan Penghargaan Satyalancana Kebaktian Sosial dari Presiden Republik Indonesia. Tahun lalu sebanyak 893 pendonor sukarela yang berasal dari 26 provinsi se-Indonesia dapat penghargaan ini. Angka penerima Satyalancana Kebaktian Sosial meningkat dari 2014 yang hanya berjumlah 864 orang dari 17 Provinsi.
“Mereka mendonorkan darah secara rutin dan disebut sebagai donor darah Lestari. Mereka adalah pahlawan kemanusiaan yang membantu sesama,” kata Plt. Ketua Umum PMI Ginandjar Kartasasmita.
Membangun kesadaran publik untuk mendonorkan darah menjadi kuncinya. Negara-negara berkembang seperti Sri Lanka dan Vietnam bisa membuktikannya. Namun untuk bisa mencapainya, perlu kerja keras masyarakat, pemerintah, dan palang merah. Mendonorkan darah tak hanya dicap sebagai “Pahlawan” tapi sebuah kesadaran kemanusian. Sudahkah Anda mendonorkan darah?
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti