Menuju konten utama

Def Tri Hardianto: UU Masyarakat Adat itu Perintah Konstitusi

Def Tri Hardianto menyoroti terkatung-katungnya RUU Masyarakat Adat dan pengalamannya mengadvokasi Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Rejang Lebong.

Def Tri Hardianto: UU Masyarakat Adat itu Perintah Konstitusi
Def Tri Hardianto. FOTO/Dokumentasi AMAN

tirto.id - Sejak 2007, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencoba meluaskan gerakannya ke ranah politik. Hal itu sesuai dengan salah satu mandat dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara III bahwa AMAN mendorong kader-kader terbaiknya terlibat dalam Pemilu untuk masuk dalam ruang-ruang pembuat kebijakan. Maka utusan-utusan politik masyarakat adat pun turut meramaikan kontestasi Pemilu dari edisi 2009 dan 2019.

Sebagian dari mereka berhasil masuk ke badan legislatif maupun eksekutif, terutama di daerah. Pada Pemilu 2024 kali ini, utusan politik masyarakat adat pun kembali turun gelanggang. Keikutsertaan para utusan masyarakat adat tersebut didasari kepentingan krusial untuk membawa aspirasi masyarakat adat yang selama ini jarang didengar.

Dalam Pemilu 2024 ini, ada empat tokoh masyarakat adat yang ikut serta membidik kursi legislatif level nasional. Mereka adalah Aleta Kornelia Baun (caleg DPR RI dapil NTT 2), Umbu Wulang Tanaamah Paranggi (calon anggota DPD RI dari NTT), Abdon Nababan (calon anggota DPD RI dari Sumatra Utara) dan Def Tri Hardianto (calon anggota DPD RI dari Bengkulu).

Pada pertengahan Januari 2024 lalu, di tengah liputan kolaborasi dengan AMAN, saya berkesempatan untuk jumpa dan mewawancarai nama terakhir. Bang Def, demikian sapaan akrabnya, merupakan Ketua AMAN Wilayah Bengkulu saat ini. Dia memantapkan diri ikut serta dalam Pemilu 2024 sebagai calon independen.

“Kami di AMAN berpikir memang sudah saatnya memajukan kader sendiri. Soalnya, menitipkan mandat atau aspirasi ke orang lain itu realisasinya tetap sangat sulit,” tutur Def tentang motivasinya terjun dalam Pemilu 2024.

Sebagai utusan masyarakat adat Bengkulu, apa saja aspirasi yang dia usung? Lantas, tantangan macam apa yang mesti dia hadapi di lapangan? Kepada Tirto, Def menceritakan banyak hal tentang perjalanan pencalonan dan kampanyenya. Lebih dari itu, Def juga menyoroti terkatung-katungnya RUU Masyarakat Adat dan pengalamannya mengadvokasi Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Rejang Lebong.

Berikut petikan wawancara Tirto dengan Def Tri Hardianto.

Sebelum ke Bengkulu, saya diberi tahu bahwa Bang Def sedang sibuk berkampanye untuk pemilihan DPD RI. Lantas, apa yang mendorong Bang Def ikut Pemilu 2024 ini?

Jadi, majunya kami dalam kontestasi pemilihan DPD RI ini adalah sebagai utusan masyarakat adat yang tergabung dalam Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kalau ditanya landasannya apa, kami diperintahkan oleh komunitas-komunitas adat yang tergabung dalam AMAN Bengkulu. Ditambah pula ada dukungan dari organisasi-organisasi di luar masyarakat adat yang kebetulan bersinggungan dengan kami, di antaranya serikat-serikat tani.

Boleh ceritakan bagaimana proses awalnya?

Pada dasarnya, sekarang ini, masyarakat-masyarakat adat itu sadar bahwa mereka butuh perwakilan. Entah di level kabupaten, entah itu di provinsi, entah itu di pusat. Nah, berangkat dari itu, kawan-kawan AMAN dan komunitas lokal di Bengkulu sini kemudian berdiskusi panjang setelah Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI di Papua tahun 2022. Dan hasilnya mereka meminta kami untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan DPD RI di Bengkulu.

Waktu itu, saya pribadi belum terlalu berterima dengan gagasan itu. Saya pikir banyak persoalan yang sulit ditembus. Kontestasi politik kita hari ini ‘kan masih sangat penuh dengan ingar-bingar politik transaksional. Bagaimana pula pendanaannya nanti.

Jadi, saya itu berkaca dan saya sadar diri. Pokoknya, saya tidak terlalu pedulilah. Tapi kemudian, semakin banyak kawan-kawan dari komunitas menghubungi saya.

Saya masih ingat pada suatu malam Jumat. Kebetulan saya baru kembali dari kegiatan di Enggano dan Seluma. Semalaman itu sampai siang hari berikutnya, saya kepikiran terus soaldorongan itu. Padahal sebelum hari itu, saya belum ada kepikiran apapun.

Nah, di hari itulah akhirnya saya seriusi. Di hari Jumat siang itu, saya bilang, “Baiklah, saya terima mandat ini.” Kemudian, kami langsung kirim orang untuk tanya ke KPU Provinsi Bengkulu terkait bagaimana prosedur pencalonan DPD RI itu. Saat itu masih 2022. Saya ingat, hari Jumat itu berjarak sembilan hari sebelum penutupan pendaftaran caleg DPD RI.

Sejak kapan sebenarnya AMAN punya gagasan untuk masuk ke politik dengan mendudukkan wakilnya di badan legislatif?

Secara keorganisasian, kami di AMAN itu sudah mulai bicara tentang ini dari 2007. Dari Pemilu 2009 sampai kemarin 2019, sudah ada utusan masyarakat adat yang ikut pemilu dan berhasil duduk di DPRD. Yang tingkat nasional belum ada. Karena itulah, di Pemilu 2024 ini kami kirim utusan lagi.

Gagasannya sendiri itu sebenarnya sudah muncul sejak dua tahun kemarin. Didiskusikan di AMAN sejak awal 2022 sampai dimunculkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI di Papua di akhir tahun itu.

Jadi, kader atau anggota AMAN sebenarnya sudah ada yang mengisi badan-badan legislatif di tingkat daerah ya?

Sudah dan cukup banyak utusan masyarakat adat yang mampu duduk di DPRD kabupaten sampai provinsi. Untuk level nasional itulah yang belum dan karena itulah kami maju. Kami di AMAN berpikir memang sudah saatnya memajukan kader sendiri. Soalnya, menitipkan mandat atau aspirasi ke orang lain itu realisasinya tetap sangat sulit, walaupun sudah ada kami buat MoU atau kesepakatan segala macam.

Terhalang agenda politik caleg partai itu sendiri ya, Bang?

Iya. Mereka pasti punya agenda sendiri. Intinya, gagasan ikut serta dalam pemilu itu tidak muncul tiba-tiba. Gagasan itu berangkat dari banyak sekali pengalaman kami. Bahwa hampir 70 persen komunitas adat yang mendukung kami itu mengalami konflik. Entah konflik agraria ataupun konflik lingkungan hidup. Selain itu, banyak sekali kebijakan yang tidak bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat adat.

Contohnya tidak usah jauh-jauh di level kabupaten, provinsi, atau nasional. Di level desa saja, kecenderungan kontradiksi itu ada. Misalnya, ada kepala desa yang mendukung adanya lahan tambang atau HGU, padahal masyarakatnya menolak. Berangkat dari kasus-kasus semacam itulah, komunitas adat itu akhirnya berpikir bahwa harus ada tokoh mereka yang jadi kepala desa. Itulah dasarnya masyarakat adat akhirnya ikut dalam proses pertarungan politik. Itulah pula yang kami lakukan di level Bengkulu dan level nasional.

Kami ada proses penjaringan di level kampung adat. Dari situ, kami kirim kader yang terpilih untuk jadi utusan masyarakat adat. Mereka jadi kepala desa atau di BPD untuk terjun langsung mengawal atau mengambil kebijakan. Jadi, gagasan itu sebenarnya muncul dari bawah kemudian diangkat ke level yang lebih tinggi. Kami sadar memang harus ikut mengisi ruang-ruang pengambil kebijakan yang disediakan oleh negara.

Di Bengkulu ini saja, kami punya banyak sekali kader yang jadi kepala desa atau jadi BPD. Dan dia kami amanahi tugas untuk, misalnya, membuat peraturan desa terkait masyarakat adat, soal penataan ruang sehingga proses-proses pembangunan itu dirasakan juga manfaatnya oleh masyarakat adat.

Def Tri Hardianto (tampak paling depan di sisi kanan) turut maju dalam pencalonan menjadi anggota DPD RI. FOTO/Dokumentasi AMAN

Def Tri Hardianto

Lalu, pencalonan Bang Def ini murni diupayakan dan dari sokongan AMAN?

Kami tidak melakukan afiliasi dengan partai politik. Kami maju sebagai calon independen, meskipun kemungkinan afiliasi dengan partai politik itu ada. Ada 3000-an KTP lebih yang kemarin memandatkan kami. Mereka memercayakan pada kami untuk maju sebagai calon independen.

Berangkat dari itulah kemudian kami merasa sokongan itu sebagai tanggung jawab. Dan itu bagi saya pribadi adalah mandat.

DPD RI itu ‘kan semestinya benar-benar jadi ruang bagi utusan daerah. Tapi selama ini, ada kecenderungan yang melihat DPD RI sebagai tempat penitipan kader-kader partai. Padahal, kader-kader partai politik itu ruangnya jadi legislatif di DPR RI-lah, bukan malah jadi anggota DPD.

Sebagai kader AMAN dan utusan masyarakat adat di Bengkulu, aspirasi apa saja yang akan Bang Def perjuangkan melalui DPD RI?

Dalam banyak kesempatan, masyarakat adat itu berharap agar ada yang mewakili di lembaga legislatif. Harapan itulah yang kami tangkap ketika ketemu dengan komunitas adat di kampung-kampung. Jadi, itu yang pertama.

Seperti saya bilang tadi, hampir 70 persen komunitas adat yang tergabung dalam AMAN itu hari ini dalam keadaan mengalami konflik agraria. Entah dengan perusahaan tambang, sawit, ataupun dengan negara yang mencaplok wilayah-wilayah adat. Berdasarkan pengalaman juga, komunitas-komunitas adat itu sangat sulit mengakses atau berkomunikasi dengan para wakil rakyat.

Yang kedua, mendorong RUU Masyarakat Adat segera disahkan. Secara organisatoris, AMAN ini lebih dari 10 tahun terakhir terus meminta negara menjalankan perintah konstitusi terkait pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Dalam 10 tahun terakhir pula, pemerintah itu kayak malu-malu untuk menaikkannya jadi program legislasi nasional.

Isu itu memang dibicarakan, kemudian presiden juga sering tampil dengan baju adat. Tapi dalam sisi kebijakan, itu sangat sulit dilakukan. Padahal, memberikan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat itu perintah UUD loh ya.

Jadi, salah satu bentuk tanggung jawab kami terhadap organisasi dan lebih-lebih terhadap komunitas adat adalah dengan mendorong RUU Masyarakat Adat segera disahkan. Itu salah satu solusi nyata untuk mengurangi atau menghilangkan konflik-konflik agraria di wilayah masyarakat adat.

Walaupun sudah ada beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah, itu semua ‘kan sifatnya sangat sektoral. Makanya sangat sulit mengimplementasikannya secara lebih cepat dan nyata dari Aceh sampai Papua. Di Bengkulu, misalnya, ada 10 kabupaten dan kota. Bayangkan saja kita butuh 10 perda. Itu berapa banyak cost yang harus dikeluarkan dari uang rakyat. Jelas membuang-buang uang dan energi. Jadi, itu yang kemudian menjadi landasan utama kenapa RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan.

Dalam konteks legislasi, DPD bisa merekomendasikan kepada pihak DPR RI dan Pemerintah Pusat. Dengan duduk di DPD RI, hal itu bisa didorong lebih cepat dan lebih masif.

Lalu, bagaimana progres kampanye Bang Def sejauh ini? Apa kesulitannya atau apa tantangan yang dihadapi sebagai perwakilan masyarakat adat?

Kampanye ini ‘kan istilahnya kita bertemu dengan konstituen masyarakat. Kalau soal itu, sebenarnya tidak ada tantangan yang berarti. Kenapa? Karena hal itu sudah makanan kami sehari-hari. Selama 10-15 tahun terakhir, kami sudah sering bertemu komunitas, bahkan menginap di tempat-tempat mereka.

Jadi, soal itu tidak ada masalah sama sekali. Hanya soal frekuensinya saja yang jauh lebih masif sekarang.

Kemarin itu, misalnya, dalam satu minggu itu kami bisa dua atau tiga kali bertemu dengan komunitas-komunitas adat. Malah bisa juga satu minggu itu penuh jadwal kami. Intinya jadi lebih sering daripada kemarin-kemarin. Itulah memang pekerjaan kami selama ini sehingga tidak ada hambatan berarti.

Nah, yang benar-benar jadi tantangan buat kami adalah soal bagaimana menaikkan popularitas di masyarakat perkotaan. Suka atau tidak suka, popularitas itu memang harus dibangun ‘kan, dan itu pasti berimbas pada biaya.

Dalam konteks di Bengkulu ini, cara membangun popularitas yang efektif itu masih sangat konvensional. Misalnya, dengan pasang baliho banyak-banyak. Di beberapa titik, kami memang pasang baliho, tapi tidak mampu banyak. Walaupun kami punya banyak relawan, lalu juga berkampanye lewat media sosial, tapi fakta di lapangan hari ini, baliho itu tetap menjadi yang utama dalam membangun popularitas.

Kami memang rajin bertemu dengan komunitas-komunitas adat di kampung-kampung. Tapi, proses politik itu ‘kan sebisa mungkin melibatkan semua lapisan masyarakat. Nah, itulah yang menjadi tantangan luar biasa.

Seingat saya pembuatan baliho dan pemasangannya itu bisa keluar puluhan juta. Itu belum tentu kelihatan.

Puluhan juta itu untuk lingkup Kota Bengkulu saja atau untuk seluruh Provinsi Bengkulu?

Seprovinsi. Bung udah lihat ‘kan? Di mana itu baliho kami, tetap belum kelihatan ‘kan. Nah, itulah tantangan terbesar bagi kami hari ini. Suka atau tidak suka, biaya untuk membangun popularitas itu memang sangat besar.

Kalau caleg yang punya uang banyak, yang bisa keluarkan uang ratusan juta sampai miliaran hanya untuk baliho dan pemasangannya, mungkin ini tidak jadi soal. Kalau buat kami, keluar Rp20 juta saja itu sudah bikin pusing.

Karena sudah Bang Def singgung, sekarang kita bicara soal dana kampanye. Nah, dana kampanye itu diperoleh dari mana?

Sebelum menjawab itu, perlu diketahui bahwa bagi kami di AMAN, ikut kontestasi di Pemilu 2024 ini bukan cuma urusan menang dan kalah. Itu juga menjadi bagian dari upaya memperbaiki demokrasi kita.

Maka kami upayakan itu dengan membangun pembiayaan kampanye yang transparan. Kami, misalnya, melakukan itu dengan membuka donasi publik. Rekeningnya kami laporkan ke KPU. Selain ikut proses transparansi di KPU, laporan keuangannya juga kita buka ke publik. Jadi, orang-orang yang kemarin berdonasi itu tahu uangnya digunakan untuk apa.

Malah ada juga yang membantu tidak dengan uang. Misalnya, ada kawan-kawan komunitas adat dari Kaur bawa ikan ke sini. Ada yang bawa sayuran. Ada dari Rejang Lebong bawa kopi. Komunitas-komunitas adat memang biasa seperti itu. Itu cara mereka bersolidaritas mendukung kami. Tanpa komunitas-komunitas adat dan tanpa jejaring serikat-serikat petani, jangankan untuk terpilih, untuk menjadi kandidat saja kami pasti kesulitan. Tidak akan bisa kami dapat 3000 KTP tanpa dibantu solidaritas masyarakat.

Lalu, apa target utama dalam kepesertaan di pemilu kali ini?

Target besarnya ya harus menang. Kami tahulah konsekuensi bertarung di ranah politik ini. Kami bukan cuma sekedar menegaskan bahwa kami (masyarakat adat) eksis. Lebih dari itu, ada agenda besar yang dititipkan oleh masyarakat kepada kami, yaitu untuk mengawal agenda-agenda atau kebijakan pemerintah. Dalam konteks kami, misalnya, ada RUU Masyarakat Adat.

Jadi, ini bukan sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat adat dalam politik, tapi mengawal visi besar masyarakat adat yang berdaulat. Ini juga ikhtiar masyarakat-masyarakat adat merawat demokrasi.

Ini pun bukan sekedar uji coba politik saja. Sekali itu diputuskan, sekali itu pula yang harus dijalankan. Kalau bahasanya di Bengkulu ini “bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat.” Apa yang sudah terucap harus dilakukan.

Def Tri Hardianto ketika bertemu dengan komunitas adat Serawai Semidang Sakti di Kabupaten Seluma.

Def Tri Hardianto. FOTO/Dokumentasi AMAN

Kembali ke soal aspirasi masyarakat adat. Dari sudut pandang Bang Def, mengapa penerbitan RUU Masyarakat Adat itu sangat penting?

Secara konstitusional, UUD 1945 [Pasal 18B ayat 2, red.] itu sudah mengakui dan menghormati masyarakat adat. Tapi instrumen kebijakan turunannya atau caranya mengakui dan menghormati itu yang masih tidak jelas. Secara hukum, kadang-kadang masyarakat adat itu masih dimintai bukti sama Pemerintah. Secara teknis, ada beberapa undang-undang sektoral yang sudah mengakui dan melindungi hak komunitas adat. Ada juga undang-undang lain yang mensyaratkan harus ada peraturan daerah tentang masyarakat adat. Kemudian, ada Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Nah, berangkat dari undang-undang, permendagri, dan peraturan sektoral yang sifatnya masih itu, kami coba mendorong supaya ada UU Masyarakat Adat.

Kami, masyarakat adat, itu sebenarnya bukan ingin diistimewakan. Yang belum disadari penuh oleh pemerintah Indonesia itu bahwa masyarakat adat itu sebenarnya merupakan salah satu elemen yang memperkuat Indonesia. Dengan segala macam keberagaman masyarakat yang kita punya, juga dengan segala pengetahuan yang dipunyai, kami sangat percaya itu semua bisa memberi kontribusi positif bagi kemajuan negara.

Jadi, melindungi satu masyarakat adat itu sebenarnya bukan cuma sekedar menyelamatkan satu entitas saja. Di Bengkulu, misalnya, bukan cuma menyelamatkan masyarakat adat Enggano saja, atau masyarakat Serawai, Rejang, Pekal, Lembak, dan Semende saja. Lebih dari itu, upaya ini bisa memperkuat negara dengan kekayaan budaya dan pengetahuan lokal.

Kita punya banyak sekali pengetahuan yang sudah lama hidup di dalam masyarakat adat. Sebelum orang-orang hari ini bicara kedaulatan pangan atau kedaulatan ekonomi, masyarakat adat sudah punya lumbung. Itu bukan sekadar simbol ketahanan pangan, tapi kedaulatan pangan kami. Berkat lumbung itu, masyarakat adat tidak pernah kelaparan atau terancam kekurangan beras.

Harus dicatat juga bahwa UU Masyarakat Adat itu bukan hanya bermanfaat untuk masyarakat adat saja, tapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Tapi, kadang-kadang pemerintah itu memahaminya cuma sekedar untuk menyenangkan masyarakat adat saja. UU Masyarakat Adat itu jangan dipandang sempit sebagai tindakan berbagi kue ekonomi. Itu salah satu jalan utama kami untuk ikut membangun Indonesia.

Dalam advokasi-advokasi masyarakat adat selama ini, tantangan apa saja yang biasa dihadapi?

Ada banyak tantangan tentu saja. Di antaranya itu soal tingkat penguasaan isu yang tidak merata, khususnya tentang masyarakat adat. Belum lagi dari sisi penganggaran yang memang minim, kalau tidak mau bilang nol.

Jadi, begini. Ada pemerintah daerah yang cukup memahami perkembangan politik hukum di Indonesia sehingga dia terus meng-update kebijakan-kebijakannya. Mereka paham akan eksistensi dan kebutuhan masyarakat adat. Tapi, ada juga pemerintah yang kesannya belum mengerti apa-apa.

Terhadap pemerintahan yang belum paham ini, kami secara pelan-pelan membangun pendekatan dan diskusi serta memberi pemahaman. Tapi, pasti butuh banyak sekali energi dan dana melakukan hal itu.

Belum lagi, nanti mendampingi pemenuhan syarat-syarat untuk membuat perda masyarakat adat. Hal-hal macam itu ‘kan mestinya negara yang bantu atau melakukan. Tapi, faktanya masyarakat adat yang harus terus berupaya melakukan itu.

Tantangan besar lainnya adalah mendudukkan bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu adalah perintah konstitusi yang harus dijalankan oleh perangkat-perangkat negara, oleh pemerintah. Tapi jangan lupa, lagi-lagi, ongkos yang harus dikeluarkan itu cukup besar dan mesti melewati alur yang panjang. Misalnya, saat merancang perda itu harus dibahas dulu, harus melewati pertemuan-pertemuan, lalu baru proses legislasi.

Kalau dari sisi pengetahuan, penggalian-penggalian data, dan segala macam itu bukan masalah bagi kami. Soalnya memang itulah pekerjaan kami sehari-hari. Masyarakat adat bisa melakukan sendiri, mulai dari pendokumentasian pengetahuan lokal, pendataan wilayah adat dan batas-batasnya, sampai pembuatan profil.

Nah repotnya, saat kami sudah buat upaya secara serius lalu dibahas oleh orang yang tidak paham isu. ‘Kan jadi harus mundur lagi langkahnya. Terpaksalah kami beri pemahaman lagi. Beda cerita kalau orang-orang pemerintah itu benar-benar paham isu.

Dalam konteks Bengkulu, terutama di Kabupaten Rejang Lebong, bukankah sudah ada Perda Masyarakat Adat?

Betul. Perda Nomor 5 tahun 2018.

Nah, setelah perda tersebut terbit dan berlaku setidaknya dalam lima tahun ini bagaimana keadaan masyarakat adat di Rejang Lebong? Dalam konteks Rejang Lebong, apakah aspirasi-aspirasi yang Bang Def sebut tadi tercapai?

Perda Masyarakat Adat Rejang Lebong itu sebenarnya semacam target antara. Regulasi terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu harusnya di-lead penuh oleh Pemerintah Pusat. Maksudnya, harus ada regulasi yang levelnya nasional.

Kebijakan di level daerah itu bisa berubah-ubah seiring proses pergantian bupati. Dan kadang-kadang, perubahan itu bisa sangat drastis. Untunglah, di Rejang Lebong itu sejauh ini perda itu tidak terpengaruh oleh pergantian kepemimpinan politik. Tapi, hal itu belum tentu terjadi di kabupaten lain.

Di Rejang Lebong, beberapa kutei (sebutan untuk unit masyarakat terkecil semacam desa dalam Bahasa Rejang) itu sudah mendapat pengakuan dari Pemkab. Salah satunya Kutei Lubuk Kembang. Kemarin itu, ketika lagi pandemi COVID-19, ada isu perusahaan tambang yang mau masuk ke sana. Kemudian masyarakat adat di sana protes sampai melakukan ritual adat segala macam. Akhirnya, rencana itu distop.

Itulah buktinya bahwa dengan adanya regulasi pengakuan dan perlindungan, masyarakat adat itu bisa menangkal ancaman-ancaman eksternal. Tapi, kelemahannya ancaman eksternal itu bisa mengancam wilayah adat lain yang belum dilindungi regulasi.

Nah, itulah tantangan besarnya. Kami memang bisa melakukan advokasi di titik-titik yang ada konflik, tapi capek juga kalau seperti itu terus. Itulah kenapa perlu undang-undang yang levelnya nasional.

Lalu, adakah aspek yang kira-kira masih perlu dibenahi atau dielaborasi lebih lanjut?

Yang sangat perlu dielaborasi sebenarnya alokasi anggaran. Tapi, jangan hal ini dilihat sebagai bagi-bagi kue ekonomi semata. Yang kita harapkan itu, proses penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap masyarakat adat itu nantinya diikuti pula proses penganggaran khusus untuk mengembangkan masyarakat adat. Itu juga masih menjadi PR besar kami.

Sekali lagi, hal itu jangan dilihat dalam konteks sekadar bagi-bagi APBD atau dana desa untuk masyarakat adat. Kami melihat itu sebagai pelibatan aktif masyarakat adat dalam merencanakan pembangunan.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Mild report
Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono