tirto.id - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tidak percaya tsunami Selat Sunda yang menghantam pesisir Banten dan Lampung Sabtu malam (22/12) pekan lalu, disebabkan letusan Gunung Anak Krakatau. Menurut Jonan, perlu ledakan serta longsoran berkekuatan yang sangat besar untuk bisa menyebabkan tsunami di Selat Sunda.
"Kalau letusan gunung Anak Krakatau saya kira tidak, kalau longsorannya mungkin salah satu faktornya," kata Jonan saat meninjau Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, Banten, Jumat (28/12/2018) seperti dilansir Antara.
Pernyataan Jonan tersebut menyalakan kembali perdebatan soal penyebab pasti tsunami Selat Sunda, yang sejak awal simpang siur.
Sesaat setelah kejadian, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sama-sama merilis pernyataan bahwa kejadian itu bukan tsunami, melainkan "hanya" gelombang pasang air laut. Tak berselang lama, kedua lembaga itu mengoreksi pernyataan mereka dan menyebut kejadian tersebut memang tsunami.
Tak hanya itu, antara BMKG dan Badan Geologi juga sempat saling lempar tanggung jawab. Dalam instastory di instagram, Ahad (23/12), akun @infoBMKG menulis, "Jika ada kemungkinan tsunami akibat aktivitas vulkanik, itu adalah wewenang rekan kami di Badan Geologi."
Kepala Sub Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami wilayah Barat PVMBG Badan Geologi, Ahmad Solihin lantas membantahnya dengan mengatakan, "untuk memantau dan memprediksi gejala tsunami dibutuhkan tide gaugeuntuk memantau tinggi muka air laut. Itu bukan wewenang PVMBG karena PVMBG tidak bisa memberikan peringatan dini terkait ancaman bencana tsunami."
"Badan Geologi bekerja sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan. Tugas dan kewenangan itu tidak meliputi peringatan dini tsunami," sambung Solihin.
Pakar tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko menilai perdebatan antarlembaga itu sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, terlebih yang menjadi korban adalah masyarakat.
"Saya enggak mengerti lagi sama lembaga-lembaga ini. Perdebatan semua itu hanya menegasikan fakta bahwa ada masyarakat yang harus tetap dilindungi. Daerah pesisir pantai harus dilindungi. Itu Pak Jonan tidak paham apa yang dibahas," kata Widjo saat dihubungi reporter Tirto, Ahad (30/12/2018) pagi.
Widjo mengatakan, lembaga pemerintah seharusnya fokus memasang alat pendeteksi dan peringatan bencana sebanyak dan seakurat mungkin di lokasi kejadian ketimbang berdebat. Hal ini perlu segera dilakukan karena fase erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung. Widjo menekankan pentingnya lembaga pemerintah menghilangkan ego sektoral masing-masing.
"Saya kurang paham bagaimana SOP mitigasi dan shelter tsunami di masyarakat, tapi paling tidak ada alat pendeteksi dan peringatan tsunami yang bisa memberi peringatan 30 menit sebelumnya, sehingga kita punya golden time 20 menit untuk menyelamatkan masyarakat," katanya.
"Yang paling penting masing-masing ego sektoral dihilangkan. Lembaga yang berdebat harus duduk, mengkaji, dan riset bareng. Harusnya ada suara bersama di internal, dua lembaga. Biar masyarakat tidak bingung," sambung Widjo.
Perlu Dilebur?
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko justru menyarankan lembaga-lembaga yang menangani bidang kebumian dilebur jadi satu. Lembaga yang ia maksud adalah BMKG dan Badan Geologi.
"IAGI pernah mengusulkan [nama] Badan Geologi Nasional, itu termasuk memberikan peringatan dan meramu mitigasi bencana," kata Daru, saat dihubungi Jumat (28/12/2018) malam.
"Itu sudah mencakup semua. Dari riset yang hasil penelitian dipakai ke depannya dan upaya mitigasi bencana, hingga operasional seperti memberikan peringatan bencana," Sukmandaru menambahkan.
Ketika dikonfirmasi Ahad sore (30/12/2018), Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono bersikukuh dengan pendapatnya semula, bahwa tsunami Selat Sunda dipicu aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.
"Semua bukti ke [Gunung Anak] Krakatau. Mohon simak juga media pemberitaan yang sudah dirilis," kata Rahmat melalui pesan WhatsApp kepadareporter Tirto.
Namun disinggung soal beda pendapat dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan apakah lembaganya sudah meneliti bersama dengan Badan Geologi, Rahmat tak lagi membalas.
Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo menyebut salah satu kendala yang dihadapi Badan Geologi dalam memantau Gunung Anak Krakatau adalah lokasinya yang berada di tengah laut. Ini membuat peletakan sejumlah alat pemantauan tidak bisa dilakukan pada banyak tempat.
“Di situ tanahnya berongga. Begitu kami sampai situ, kami turun, tidak langsung ada tempat untuk menaruh peralatan. Harus mencari tempatnya, itu yang sulit,” terang Antonius, dalam konferensi pers di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Kamis (27/12/2018).
Dikemukakan Antonius, alat untuk mendeteksi aktivitas gunung api, longsor, maupun tsunami memiliki tingkat sensitivitas tertentu. Apabila titik peletakannya bergeser sedikit saja, sinyal dari alat pemantau itu bisa hilang.
“Tapi, kan, sulit bukan berarti tidak bisa. Kami terus mencari tempatnya, apakah dilabuhkan di Pulau Panjang atau jangan menghadap ke Krakatau. Kami terus mencari tempat yang bisa untuk menaruh peralatan,” jelas Antonius.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abul Muamar