tirto.id - Seorang kawan yang akan melanjutkan studinya ke luar negeri memutuskan untuk menyewakan apartemen miliknya. Setelah menuliskan beberapa keterangan biasa, seperti luas bangunan, jumlah kamar, dan nomor kontak, dia membubuhkan satu keterangan tambahan di bagian bawah iklan yang dia pasang.
“Semua furnitur adalah buatan IKEA.”
Menurutnya, furnitur IKEA adalah nilai plus dalam sebuah hunian. Bentuknya yang minimalis tapi terasa estetik, menjadi favorit banyak kaum urban. Dan ia tak sendirian, sebab dekorasi rumah adalah perkara serius dan kerap menyita waktu.
“Umat manusia sudah amat peduli tentang dekorasi rumah sejak zaman manusia batu mulai bikin gambar di dinding gua,” tulis Lauren Collins untuk The New Yorker.
Pada 2011, Collins menulis tentang IKEA dan sempat berkunjung ke Almhult, kota kecil di Swedia tempat kelahiran Ingvar Kamprad, pendiri perusahaan dengan logo berwarna biru-kuning ini. Di sana pula, Ingvar membuka toko IKEA pertama. Collins, sama seperti banyak orang, punya banyak barang IKEA di rumahnya, dan dia penasaran bagaimana IKEA, perusahaan furnitur dari negara di ujung utara Eropa berhasil menggurita dan melebarkan kaki ke seluruh penjuru dunia. Saat ini ada 433 toko IKEA yang tersebar di 53 negara, mempekerjakan 211 ribu rekan pekerja dan pada tahun ini sudah membukukan total penjualan 41,3 miliar Euro.
Salah satu hal menarik yang ditulis Collins adalah bagaimana IKEA menanamkan imajinasi tentang hunian “good, clean living” lewat katalog yang dicetak nyaris dua juta eksemplar per tahun. Katalognya tidak main-main: tebal, penuh warna, dan memakai kertas luks.
“Sebagai bahan bacaan, IKEA hanya sedikit kalah populer ketimbang Harry Potter,” tulis Collins.
Hal ini membuat banyak orang berimajinasi tentang tata letak, warna, juga bentuk furnitur ideal di rumah mereka. Hal ini didukung oleh reputasi IKEA sebagai penyedia furnitur yang berkualitas dengan harga terjangkau.
Apa yang dihadirkan oleh katalog itu, segendang sepenarian dengan yang ditulis oleh Catherine Clifford tentang kondisi psikologis yang dihadirkan IKEA, dan karenanya berhasil membuat perusahaan ini menangguk kesuksesan besar.
Poin pertama yang ditangkap Catherine adalah: perusahaan yang didirikan pada 1943 ini berhasil mempertahankan citra pemasok barang berharga terjangkau namun berkualitas, sekaligus apik secara estetik. Selain itu, IKEA juga dengan cerdik menjual perabotnya dalam bentuk flat-packs, membuat barang bisa dikemas dengan mudah dan pada akhirnya akan lebih murah di ongkos kirim.
Selain itu, harga terjangkau itu juga berkat semangat do it yourself yang ditularkan kepada para pembeli yang akan merakit sendiri barang yang mereka pilih. Tentu saja mereka tidak berangkat dengan tangan kosong sebab ada panduan untuk merakitnya. Cara seperti ini kerap menarik memori banyak orang ketika merakit mainan ketika kecil dulu. IKEA berhasil menjadikan belanja perabotan menjadi sesuatu yang personal dan menyenangkan dengan cara ini.
Menurut Daniel Mochon, profesor jurusan marketing di Universitas Tulane, hal ini bisa disebut sebagai IKEA Effect, yakni ketika kita jadi “lebih menghargai barang-barang yang kita buat atau rakit sendiri.” Mungkin hasilnya tidak akan sesempurna jika dibandingkan dengan rakitan mesin atau tukang kayu profesional, tapi kita jadi puas sebab perabotan itu adalah hasil kerja keras sendiri.
Hal kedua yang membuat IKEA bisa sukses adalah bagaimana mereka menyusun showroom yang ditata selayaknya rumah di dunia nyata. Ini berangkat dari pengalaman Ingvar yang awalnya melayani pembelian barang dengan diantar, dan mendapat kritikan karena pembeli tidak bisa melihat barangnya. Ingvar akhirnya membeli gudang milik kakeknya untuk dijadikan showroom, agar pembeli bisa melihat langsung barang yang dijual. Agar total, sekalian saja ruang pameran ini dibuat senyata mungkin.
“Furnitur di IKEA ditata sedemikian rupa hingga tampak alamiah,” ujar A.K Pradeep, penulis buku The Buying Brain (2010). “Semua benda di IKEA diletakkan di posisi yang pas. Otak menerimanya, memahami nilai-nilai di barang itu, dan karena itu jadi ingin membelinya.”
Menurut Pradeep, IKEA berhasil memberikan apa yang disebut sebagai retail therapy, alias terapi di toko. Dengan tata letak yang diatur sedemikian rupa, lengkap dengan tata cahaya yang minimalis, IKEA menghadirkan “…kenyamanan dan keakraban, serta memberikan perasaan senang ketika menemukan barang yang diinginkan.”
Dan satu lagi yang mungkin tidak pernah dibayangkan banyak orang: IKEA berhasil menciptakan kesan sendiri lewat kafe dan makanannya, terutama lewat Swedish Meatball—hidangan khas Swedia berupa bola-bola daging yang disajikan dengan mashed potatoes, saus kaldu, dan selai. Sama seperti tata letak ruangan yang diatur sedemikian rupa, begitu pula letak kantin ini: di bagian ujung. Jadi para pembeli yang sudah capai berkeliling, bisa meluruskan punggung di kafe IKEA.
“Kamu tak bisa berbisnis dengan perut lapar,” ujar Ingvar suatu ketika.
Dengan pendekatan yang personal sekaligus menyenangkan ini, tak heran kalau IKEA terus berkembang. Di Indonesia, sejak dibuka pertama kali pada 2014, IKEA Indonesia terus tumbuh dan punya target membuka tiga gerai baru. Untuk tahun ini, IKEA akan membuka gerai keduanya yang terletak di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
IKEA Sentul City buka dari pukul 10.00 hingga 22.00 pada hari Senin sampai Jumat, dan Minggu. Sedangkan untuk hari Sabtu, tutupnya akan lebih lama, yakni pukul 23.00.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis