Menuju konten utama

Dari Era Kuno hingga Internet, Jasa Penerjemah Selalu Dibutuhkan

Para penerjemah berjasa dalam penyebaran pengetahuan. Akankah mesin bakal menggantikannya kelak?

Dari Era Kuno hingga Internet, Jasa Penerjemah Selalu Dibutuhkan
Header Mozaik Sejarah Penerjemahan. tirto.id/Quita

tirto.id - Siapa pun yang terkoneksi ke internet hari ini bisa menggunakan Google Translate secara gratis. Jika kalimat yang digunakan dalam teks cukup sederhana, tak diragukan lagi fitur ini dapat melakukan penerjemahan yang hampir akurat. Meski memang, ungkapan "terjemahannya kayak Google Translate" adalah ejekan yang menggambarkan pengalihbahasaan yang buruk.

Pada 2017 di Korea, Sejong Cyber University mengumpulkan tiga program mesin penerjemah untuk diadu dengan manusia. Seperti dilaporkan The Korea Times, mesin-mesin itu gagal memenuhi harapan. Mesin memang jauh lebih cepat, tapi lebih banyak kesalahan ditemukan.

Program penerjemah berbasis artificial intelligence (AI) memang bisa bekerja sangat cepat, tapi ia tak dapat memperbaiki kesalahan yang telah dibuat. Manusia berbeda, dia bisa memoles hasil penerjemahannya untuk meningkatkan tingkat penyelesaian. Kelemahannya, manusia memang butuh waktu lebih lama.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul teknologi yang disebut neural machine translation. Salah satunya dipakai Google. Mesin penerjemah ini belajar dari data-data yang di-input sebelumnya, hasil terjemahan manusia, dan sebagainya.

Semakin banyak teks yang diterimanya, semakin pintar jadinya. Namun, kita belum tahu bagaimana perkembangannya di masa depan. Pasalnya, penerjemahan adalah sejarah evolusi tanpa henti.

Terlepas dari potensi yang ditawarkan teknologi AI, sosok seorang penerjemah sudah lama seringnya berada dalam bayang-bayang. Dia kerap kali tak disebutkan namanya atau bahkan tak diketahui sama sekali perannya. Padahal, dialah yang membuka jalan bagi penyebaran pengetahuan di sepanjang zaman.

Beberapa penerjemah mungkin jadi mitos urban, seperti Lebah Ganteng dan Pein Akatsuki yang telah menawarkan subtitle bahasa Indonesia dalam film-film bajakan. Yang lain, mungkin cuma diingat oleh para kutu buku, misalnya mendiang Listiana Srisanti yang menerjemahkan novel Harry Potter.

Bagaimanapun, laku penerjemahan telah menjadi bagian penting peradaban selama ribuan tahun dan ini adalah tugas penting. Dari era hieroglif hingga zaman microchip, kebutuhan akan jasa penerjemah tak tergantikan.

Bangsa-bangsa Penerjemah

Pada mulanya adalah kata, muncul bahasa, lalu lahir sistem penulisan, dan terjemahan mengikutinya. Catatan arkeologi memberitahu kita, seperti disebutkan Paul-Alain Beaulieu dalam A History of Babylon 2200 BC - AD 75 (2018), bahwa tulisan kemungkinan besar berevolusi untuk pertama kali di Mesopotamia Kuno, khususnya di Sumeria Kuno, sekitar 3.200 SM.

Token tanah liat—yang digunakan untuk mewakili barang saat melakukan perdagangan—awalnya ditandai dengan simbol sederhana. Selanjutnya, sistem tulisan piktograf tumbuh secara bertahap. Ia kemudian berkembang lagi jadi alfabet abstrak yang dicetak ke tanah liat.

Daftar dewa-dewa, prasasti monumental, dan inventarisasi barang semuanya telah dicatat di zaman Sumeria Kuno itu. Bukti terjemahan tertulis tertua diketahui dibuat pada 2.000 SM. Bentuknya berupa terjemahan puisi epik Gilgamesh dalam bahasa Asia Barat Daya. Ini juga jadi salah satu karya sastra paling awal yang bertahan.

Epik Gilgamesh adalah semacam blockbuster Hollywood pada masa kuno. Sebuah kisah mencekam tentang seorang raja-pejuang, seorang pria penuh kebebasan, dan pencarian keabadian. Setelah diterjemahkan, karya ini mengilhami penyair Yunani Homer, paralel dengan bagian-bagian dari Alkitab, dan masih membuat takjub hingga hari ini.

Menurut Theo Hermans dalam Translation and History: A Textbook (2022), karya terjemahan kuno lain yang cuku masyhur hingga kini berasal dari kerja-kerja para biksu Buddha. Merekalah yang menerjemahkan dokumen dari India Kuno dalam bahasa Sanskrit ke bahasa Cina.

Pada periode selanjutnya, penyair-penyair Romawi rajin menerjemahkan teks-teks Yunani Kuno. Teks-teks Yunani itu diadaptasi menjadi karya sastra yang dikembangkan untuk hiburan. Diketahui bahwa Cicero dan Horace adalah tokoh-tokoh penting yang kerap menggunakan jasa para penerjemah.

Pengetahuan dan temuan akademisi Yunani dikembangkan dan dipahami secara luas berkat kerja para sarjana Arab. Ketika peradaban Yunani Kuno surut, para sarjana Arab menyelamatkan teks-teks mereka dan menerjemahkannya. Para sarjana Arab juga menciptakan versinya sendiri atas pemahaman ilmiah, hiburan, dan filosofi Yunani.

Penerjemahan teks-teks Yunani dan Koptik ke dalam bahasa Arab tampaknya telah dilakukan sejak akhir abad ke-7. M.S. Vilayat Hussain dalam Organization and Administration of Muslim Libraries: From 786 A.D. to 1492 A.D menyebut Khalifah Abbasiyah kedua mendanai sebuah biro penerjemahan di Baghdad pada abad ke-8.

Bayt al-Hikma, perpustakaan terkenal di Baghdad, diberkahi dengan pendanaan dan koleksinya mencakup buku-buku dalam banyak bahasa. Ia menjadi pusat terkemuka untuk terjemahan karya-karya dari zaman kuno ke dalam bahasa Arab, dengan dibentuknya Departemen Penerjemahan.

Di bawah Kekhalifahan Abbasiyah, dunia Arab-Islam menikmati kebangkitan budaya dan ilmu pengetahuan lebih cepat 600 ketimbang bangsa Eropa. Semua itu berkat pintu yang dibuka oleh kerja-kerja penerjemahan.

Debat Kesetiaan vs Transparansi

Marina Warner dalam “The Politics of Translation” (2018) menunjukan bahwa dalam beberapa abad terakhir, tradisi terjemahan Barat telah menggantikan tradisi terjemahan dari budaya lain. Tradisi Barat ini mengacu pada tradisi kuno dan Abad Pertengahan, juga pada inovasi Eropa yang lebih baru.

Jenis terjemahan pertama adalah terjemahan literal. Pada awalnya, penerjemah biasanya adalah pengembara yang akan melakukan perjalanan keliling dunia. Untuk misi itu, dia bakal belajar bahasa asing dengan tinggal di satu komunitas cukup lama untuk secara alami "menyerap" bahasa mereka.

Perkembangan penerjemahan literal didorong oleh perdagangan dan penyebaran agama. Orang-orang menerjemahkan kitab-kitab agama dengan mengandalkan prinsip "kata demi kata" untuk menghindari kesalahan dalam membaca firman Tuhan.

Dalam praktiknya, komunikasi berdasarkan terjemahan literal tidak efektif. Pasalnya, gaya, tata bahasa, atau sintaksisnya tak dipertimbangkan. Misalnya, melalui penerjemahan dan distribusi Alkitab, Kekristenan memiliki dua jalan yang jelas: Katolik Roma atau Protestan.

Salah satu perbedaan antara kedua bentuk agama ini adalah perbedaan dalam teks dan perbedaan antara kata-kata penting dan bagian-bagian dari Alkitab.

Agama terus menjadi kekuatan pendorong penting untuk kerja-kerja penerjemahan pada periode Abad Pertengahan. Selain itu, bahasa Latin menjadi lingua franca di seluruh Eropa, sama seperti bahasa Inggris mendominasi dunia saat ini.

Infografik Mozaik Sejarah Penerjemahan

Infografik Mozaik Sejarah Penerjemahan. tirto.id/Quita

Pada periode Abad Pertengahan, Geoffrey Chaucer mungkin melakukan lebih dari penulis lain manapun untuk mempopulerkan bahasa Inggris. Bukan hanya membuat terjemahan puisi Italia yang modis dan elegan, dia juga menulis kisah-kisah orisinal dalam bahasa Inggris yang masih dianggap bahasa daerah.

Produksi dan konsumsi karya sastra serta tulisan-tulisan lainnya makin meluas sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada pertengahan 1400-an. Mesin itu kemudian diperkenalkan di Inggris oleh William Caxton pada 1476. Sejak itu, batas-batas penerjemahan didorong jauh.

Meski begitu, soal kesetiaan dan transparansi—dua ideal dalam peroses penerjemahan—sering kali bertentangan dan jadi bahan perdebatan. Seorang kritikus Perancis abad ke-17 Gilles Menage sampai menciptakan frasa les belles infidèles untuk menunjukkan bahwa terjemahan dapat setia atau indah, tapi tidak keduanya.

Kedua bentuk penerjemahan ini masih memberikan ketegangan dinamis. Seperti pada kasus mesin penerjemah yang menerjemahkan teks kata demi kata, tapi sering kali tidak masuk akal.

Keseimbangan harus dicapai, antara tetap setia pada teks sumber dan secara paralel menerjemahkan secara akurat dalam bahasa target. Di sini, keterampilan penerjemah sangat diuji. Dia harus menemukan cara terbaik untuk mencapai dua ideal itu.

Penerjemahan di Alam Kontemporer

Sejak 1950-an dan 1960-an, universitas mulai mengembangkan teori penerjemahan secara sistematis. Ini disertai dengan minat akademisi lintas disiplin untuk menguasai keterampilan berbahasa, psikologi, dan antropologi.

Dipicu oleh dinamit budaya internet, kita bisa melihat ledakan dalam bidang komunikasi pada akhir abad ke-20. Kala itu, penerjemahan menjadi industri raksasa tersendiri. Kemajuan teknologi telah memungkinkan seorang penerjemah untuk mengakses sumber daya yang luas.

Untuk lebih memahami konteks, seorang penerjemah bisa membuka kamus, corpora, dan ensiklopedia hanya dengan mengklik tetikus. Selain itu, alat Computer Assisted Translation (CAT) sekarang membuat proses penerjemahan jadi lebih cepat dan akurat daripada sebelumnya.

Adapun di masa depan, banyak yang memprediksi bahwa mesin akan melakukan semua kerja penerjemahan untuk kita. Apa pun yang terjadi, selama manusia masih menggunakan bahasa yang berbeda-beda, kebutuhan akan jasa seorang penerjemah selalu mendesak.

Baca juga artikel terkait GOOGLE TRANSLATE atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Mild report
Kontributor: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Fadrik Aziz Firdausi