Menuju konten utama

Damayanti Ibaratkan Dana Aspirasi DPR Seperti Ban Berjalan

Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari fraksi PDIP, Damayanti Wisnu Putranti mengaku bahwa jatah komisi untuk anggota DPR dari dana aspirasi seperti ban berjalan. Ia memastikan setiap anggota DPR pasti mendapatkannya.

Damayanti Ibaratkan Dana Aspirasi DPR Seperti Ban Berjalan
Anggota Komisi V DPR RI Damayanti Wisnu Putranti berjalan menuju gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Jakarta .Antara foto/M Agung Rajasa

tirto.id - Anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari fraksi PDIP, Damayanti Wisnu Putranti mengaku bahwa jatah komisi untuk anggota DPR dari dana aspirasi seperti ban berjalan. Ia memastikan setiap anggota DPR pasti mendapatkannya.

“Dana aspirasi yang diplot nominalnya oleh pimpinan fraksi, kemudian kapoksi (ketua kelompok fraksi) dan anggota, untuk apanya sudah bagian jatah seperti ban berjalan siapapun anggota DPR pasti dapat,” kata Damayanti saat menjadi saksi di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).

Damayanti menjadi saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT. Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir yang didakwa memberikan uang sejumlah Rp21,28 miliar; 1,674 juta dolas Singapura dan USD 72.727 kepada Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary, Kapoksi PAN Komisi V Andi Taufan Tiro, Kapoksi PKB Komisi V Musa Zainuddin, Damayanti dan anggota Komisi V dari fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.

Pemberian uang ditujukan agar Abdul Khoir mendapatkan program dari dana aspirasi di Maluku dan Maluku Utara. “Sesuai sistem yang sudah ada di Komisi V. Mengalir saja,” tambah Damayanti.

Menurut Damayanti, Amran selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara sudah membawa data dana asprirasi itu dipergunakan untuk proyek mana dan berapa yang didapatkan oleh anggota Komisi V.

“Pada Oktober 2015 saat pertemuan di Hotel Ambhara, Pak Amran bawa data lebih komplit, ada judul, nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1e. PDIP itu 1, e-nya saya tidak tahu. Itu berdasar jumlah kepemilikan kursi di DPR, PDIP nomor 1, Golkar nomor 2 dan seterusnya," jelas Damayanti.

Damayanti juga mengaku membaca daftar berisi nama-nama pimpinan dan anggota Komisi V terkait jatah proyek.

"Di situ ada Fahri Prancis (Ketua Komisi V), Michael Wattimena (Wakil Ketua Komisi V), pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, Sukur Nababan," tambah Damayanti.

Damayanti mengungkapkan dalam pertemuan ketiga itu ada proses penjatahan kepada masing-masing nama tersebut. Sedangkan untuk nilanya merupakan hasil negosiasi antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR sehingga masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar.

“Kapoksi maksimal Rp100 miliar, untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpiann. Saya nilaninya Rp41 miliar,” kata Damayanti.

Damanyanti menambahkan. “Pak Amran menyampaikan ke kami bahwa akan ada 'fee' 6 persen dari nilai masing-masing yang sudah diplotkan oleh pimpiann masing-masing, itu dari rekanan. Saya dapat 245.700 dolar Singapura yang sudah diserahkan ke KPK, itu besarnya enam persen dari Rp41 miliar.”

Dalam dakwaan Abdul Khoir, Damayanti disebut menerima “fee” dari proyek program aspirasi pelebaran jalan Tehoru-Laimu senilai Rp41 miliar. Namun, Damayanti menerima 328 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,28 miliar) dan USD 72.727 (sekitar Rp1 miliar) namun membagi-bagikan uang tersebut ke beberapa pihak.

Atas perbuatan tersebut, Abdul Khoir didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (ANT)

Baca juga artikel terkait ABDUL KHOIR atau tulisan lainnya

Reporter: Abdul Aziz