tirto.id - Sesaat setelah dua bom mengguncang Kampung Melayu pada Rabu (24/5/2017), dunia maya langsung diramaikan oleh foto-foto korban. Penyebaran foto korban bom dinilai tidak tepat dan bisa menimbulkan rasa trauma.
Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy menilai membagikan foto korban kecelakaan atau teror tidak tepat karena menimbulkan rasa tidak nyaman bagi yang melihatnya.
“Kalau maksudnya supaya orang bersimpati melihat korban, belum tentu. Reaksi pertama adalah ‘ngeri’, ada perasaan tidak nyaman,” kata Dicky, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25/5/2017).
Gambar tubuh korban juga bisa memicu trauma pada orang yang pernah mengalami kejadian yang mirip atau serupa karena membangkitkan luka.
“Belum lagi kalau korban dilihat oleh keluarga, teman atau siapa saja yang mengenali,” kata dia.
Selain itu, bila foto yang dibagikan adalah korban aksi terorisme, berpotensi meningkatkan rasa takut atas aksi tersebut.
Gambar-gambar korban kecelakaan atau teror, juga berisiko dilihat oleh anak-anak. Orang tua sebaiknya tidak menunjukkan gambar-gambar tersebut ke anak apalagi jika tidak ada diskusi atau penjelasan.
“Tidak ada pentingnya, manfaatnya, selain hanya memunculkan rasa takut atau ngeri,” kata pengajar di Fakultas Psikologi UI ini.
“Mari berempati dan menjaga perasaan mereka (keluarga korban) dengan menjadi bagian dari orang yang lebih bertanggung jawab terhadap penggunaan media sosial kita,” imbau Dicky.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga sudah meminta masyarakat arif dan bijaksana dalam menyikapi peristiwa tersebut. Penyebarluasan gambar atau video potongan tubuh korban dan konten lain yang berpotensi menimbulkan kengerian diminta dihentikan.
Kepala Sub Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung, dalam rilisnya mengatakan masyarakat harus memahami bahwa penyebarluasan konten kengerian sebagai akibat dari sebuah peristiwa terorisme adalah teror yang sebenarnya.
"Masyarakat jangan terpancing. Kejadian di Kampung Melayu mungkin hanya memakan tujuh korban luka dan jiwa, tapi ketika gambar atau video potongan tubuh korban disebarluaskan, jutaan orang akan menjadi korban baru," kata Andi Intang.
Andi mencontohkan peristiwa terorisme yang terjadi di Jl. Thamrin, Jakarta, Januari 2016 silam. Saat itu kejadian terlokalisir hanya di satu titik, namun konten kengerian yang tersebarluas, salah satunya melalui media sosial, menjadikan Jakarta dan sekitarnya lumpuh. "Kengerian yang timbul sebagai dampak peristiwa di Thamrin jangan terulang," tandasnya.
Selain ke masyarakat, Andi Intang juga meminta media massa pers berlaku sama dalam memberitakan peristiwa ledakan di Kampung Melayu. Gambar atau video berbau kengerian diminta tidak ditampilkan.
"Jika memang tidak bisa tidak ditampilkan, mohon dikaburkan. Jangan secara gamblang ditayangkan dan menebar teror baru ke masyarakat," ujar Andi Intang.
Polisi selesai melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dalam aksi bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta yang berlangsung Rabu (24/5/2017). Dari hasil olah TKP yang selesai sekitar 1.50 WIB, polisi belum bisa memastikan daya ledak bom tersebut. Akan tetapi, bom ini diduga berbentuk mirip bom panci.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, polisi belum bisa mengidentifikasikan peledak. Mereka masih perlu menganalisa lebih lanjut sebelum menentukan bom tersebut berdaya ledak rendah atau tinggi. Akan tetapi, berdasarkan temuan saat olah TKP, diduga bom tersebut berbentuk bom panci.
"Bahan peledak belum tapi kalau serpihan-serpihan ini hampir sama dengan yang di Bandung. Jadi bom panci," ujar Setyo di Kampung Melayu, Jakarta, Kamis (25/4/2017) dini hari.
Kepolisian memastikan jumlah korban dalam teror ini sebanyak 15 orang, yang terdiri dari 2 orang diduga pelaku, 3 anggota polri gugur dalam tugas, sebanyak 5 anggota polri dan 5 warga sipil luka-luka. Ketiga anggota yang meninggal adalah Bripda Taufan, Bripda ridho, dan Bripda adinata. Ia tidak merinci kesatuan mana, tetapi anggota tersebut satuan Polda Metro Jaya.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti