Menuju konten utama

(Anti) Political Correctness dan Kekasaran Donald Trump

Political correctness dicurigai oleh Donald Trump sebagai problem yang menyulitkan Amerika Serikat. Namun anti-political correctness adalah cara mempertahankan status quo.

(Anti) Political Correctness dan Kekasaran Donald Trump
Pidato Donald Trump saat baru mencalonkan menjadi calon presiden dari Partai Republik pada September 2015 di New York. Dalam pidatonya Trump berinisiatif mendeportasi imigran Meksiko. GETTY IMAGES

tirto.id - “Anda menyebut wanita yang anda tidak disukai seperti ‘babi gendut’, ‘anjing’, ‘pemalas’, dan ‘binatang pengganggu’. Anda pernah sekali memberi tahu kontestan acara Celebrity Apprentice bahwa akan menjadi pemandangan yang indah melihat pada bagian kakinya,” cerocos pemandu program Fox News, Megyn Kelly, pada debat pemilihan pendahuluan Partai Republik kepada Donald Trump.

“Saya rasa masalah terbesar negara ini adalah menjadi benar secara politik. Saya telah ditantang banyak orang, saya amatlah tidak punya waktu untuk sebuah kebenaran politik (political correctness) secara menyeluruh. Dengan jujur (saya katakan) kepada Anda, negara ini juga tidak punya waktu untuk itu,”jawab Trump, turut diikuti tepuk tangan audiens, seperti dikutip The Guardian.

Banyak pengamat politik meyakini terpilihnya Trump menjadi Presiden Amerika Serikat salah satu faktornya adalah keengganan dirinya melakukan political correctness. Sikapnya yang blak-blakan, mulutnya yang pedas, menjadi sumber serangan kepada Barack Obama dan Hillary Clinton yang dia sebut menjadikan political correctness sebagai prioritas utama, menempatkan itu di atas nalar sehat, keselamatan masyarakat, dan segala-galanya.

Trump rajin menyebut istilah political correctness sebagai biang keladi problem Amerika dalam setiap kampanye. Saat Muslim menembaki 49 orang di klub malam di Orlando, Trump menolak berprilaku benar secara politik -- sejalan dengan idenya melarang orang Islam masuk Amerika. Saat dikritik karena menyinggung imigran Mexico sebagai pemerkosa dan berniat mendirikan tembok di perbatasan kedua negara, Trump lagi-lagi mengemukakan political correctness.

“Kita bisa bersikap political correctness, tapi suka atau tidak, itu bermasalah,” tegas Trump.

Frasa poltical correctness digunakan untuk mendeskripsikan bahasa, aturan, atau tindakan yang dimaksudkan untuk menghindari sakit hati atau kerugian kepada anggota kelompok tertentu dalam masyarakat. Kamus Oxford mendefinisikannya sebagai penghindaran bentuk ekspresi atau perilaku yang dipersepsikan untuk mengecualikan, memarjinalisasi, atau menghina kelompok masyarakat yang secara sosial dirugikan atau terdiskriminasi.

Trump merasa tidak perlu besantun-santun ria dalam gaya komunikasi politiknya selama kampanye. Justru inilah yang membuatnya disanjung para pengikutnya, karena Trump dianggap tidak takut mengatakan apa pun yang dipikirkan. Dia mengeluarkan isi kepalanya secara jelas seolah tanpa ada yang disembunyikan. Dia menyuarakan sikap kelompok sayap kanan yang menjunjung tinggi supremasi kulit putih di Amerika Serikat.

Sebelum 1990, istilah ini jarang terdengar di Amerika Serikat. Baru mulai ramai setelah jurnalis New York Times Richard Bernstein menuliskan laporan berseri tentang dinamika kehidupan universitas di Amerika yang kala itu terancam oleh tumbuhnya sikap intoleran, banyaknya pembubabaran forum debat, dan paksaan untuk selaras dengan ideologi kampus. Ada cara pandang yang mesti seragam tentang persoalan ras, ekologi, feminisme, budaya, dan kebijakan luar negeri yang dianggap "tepat" untuk mengatasi berbagai permasalahan ketika itu.

Ketidaksukaan terhadap political correctness bukan hanya terjadi pada Donald Trump saja. Media-media sayap kanan di Britania kerap menyajikan isu bertendesi kalau political correctness sudah kelewatan. Sementara, setelah terjadi kekerasan seksual kepada ratusan perempuan oleh imigran Timur Tengah dan Afrika Utara di Koln pada perayaan tahun baru 2016, para politikus dan jurnalis konservatif Jerman menekan kepolisian untuk tidak berlaku politsch korrekt dalam kasus tersebut, yang malah menyulitkan polisi bekerja. Di Perancis, Marine Le Pen dari Partai Front National mengecam politikus konservatif yang seolah ketakutan menghadapi political correctness.

Kolumnis The Huffington Post, Eric Mink menyebut apa yang dilakukan Trump sebetulnya bukanlah bentuk anti political correctness. Trump tidak membicarakan fakta yang tidak populer kepada pemerintah, dia tidak datang untuk mendiskusikan isu yang kontroverisal terkait minoritas, atau menentang aturan warisan para elit terdahulu yang menyusahkan. Trump hanya melawan kesopanan umum. Senada dengan Mink, kolumnis The Federalist Mitchell Blatt melihat Trump hanya memperburuk istilah political correctness. Bagi Blatt, Trump sebetulnya sekadar bersikap kasar, bukan kontra political correctness.

Moira Wegel dalam artikelnya berjudul "Political Correctness: How The Right Invented A Phantom Enemy" di The Guardian, beranggapan kalau sikap kontra political correctness sekadar senjata mempertahankan sistem sosial mereka sendiri, karena benci pergeseran norma-norma budaya dan sosial yang datang dari luar. Mereka bersikap anti political correctness untuk menempa lanskap politik baru milik mereka dan menciptakan masa depan yang menakutkan bagi orang asing.

Kelompok alternatif kanan di Amerika mengemukakan kembali political correctness terhadap segala yang menghalangi apapun yang ingin mereka katakan, kapanpun mereka mengatakannya, dan dengan cara apapun. Bagi mereka, political correctness adalah segala kemungkinanan yang justru menyebabkan masalah sosial, seperti feminisme, terorisme, dan kampus-kampus yang terlalu liberal.

Infografik Political Correctness

Sebenarnya, mempraktikkan political correctness secara benar-benar pun sulit dilakukan. Ayu Utami dalam rubrik bahasa Tempo tanggal 4 April 2016 berargumen, political correctness memang bukan sekadar kepantasan bersikap, tapi mengandaikan kebenaran sikap mental yang tidak bias, tidak rasis, tidak benci, atau merendahkan kelompok tertentu. Sesuatu yang kita tahu tidak tepat, tapi tidak bisa kita hindari dalam kehidupan sehari-hari.

“Sesuatu yang kita tahu membawa korban, tapi tak bisa ditinggalkan,” tulisnya.

Memang ada beragam faktor yang membuat political correctness pun tidak gampang dipraktikkan. Misalnya, kita memang harus mengakui beberapa hal tanpa bermaksud melecehkan. Kita memang mengakui kalau orang yang bisa melihat punya keleluasaan fisik lebih ketimbang yang buta. Lalu, secara mental kita selalu merindukan keluasaan, keadaan lebih bebas akan selalu punya makna positif dalam metafora di segala bahasa.

Misalnya, putih-kelabu-hitam. Hitam berasosiasi dengan pengalaman hambatan visual. Terakhir, dalam dunia binatang pun ada bias tentang posisi tinggi dan rendah. Siapa yang tertinggi dalam rantai makan, dia menguasai yang rendah. Etika dan estetika kemudian yang memengaruhi bagaimana manusia memaknai sesuatu sebagai yang baik, indah, dan ideal. Tanpa perlu menempelkan sentimen menghina atau melecehkan sama sekali di sana.

Bersikap benar secara politik, atau bersikap benar secara kesantunan umum, pun memang tidak mudah. Sebab tidak bias pun adalah sikap yang tidak gampang dilakukan. Dibutuhkan konsistensi, juga persistensi. Bayangkan jika seseorang bersikap saklek dalam soal pelecehan perempuan, namun ada orang yang bisa menemukan ocehan orang tersebut di media sosial yang cenderung mencandai sebuah kasus pelecehan seksual -- padahal canda itu dibuat dalam obrolan santai dan personal. Dengan mudah ia akan dituduh sebagai tidak konsisten, dan tidak lurus.

Baca juga artikel terkait POLITICAL CORRECTNESS atau tulisan lainnya dari Rahman Fauzi

tirto.id - Politik
Reporter: Rahman Fauzi
Penulis: Rahman Fauzi
Editor: Zen RS