Menuju konten utama

Cerita Keluarga Banu Rusman: Marah dan Tak Percaya Edy Rahmayadi

Keluarga Banu Rusman tidak pernah mendapat kejelasan dari PSSI soal tindak lanjut kematian suporter Persita Tangerang yang tewas dikeroyok sejumlah pendukung PSMS Medan pada 11 Oktober 2017 lalu itu.

Cerita Keluarga Banu Rusman: Marah dan Tak Percaya Edy Rahmayadi
Edy Rahmayadi (tengah) bercengkrama dengan pejabat baru Panglima Divisi Infanteri I Kostrad Mayjen TNI Ainurrahman (kiri) dan pejabat lama Mayjen TNI A.M. Putranto (kanan) usai upacara serah terima jabatan Jawa Barat, Kamis (15/6). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - “Semua persoalan pasti akan kami tindak lanjuti. Berjalan, berjalan untuk terus mencari.”

Kalimat tersebut menguar dari mulut Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi. Dalam tayangan Mata Najwa bertajuk #DukaBolaKita itu, Edy menimpali pertanyaan terkait janji menuntaskan kasus pembunuhan Banu Rusman.

Banu merupakan suporter Persita Tangerang yang meninggal karena pendarahan di otak akibat pukulan benda tumpul. Pelakunya diduga para anggota TNI Kostrad berseragam suporter PSMS Medan. Ketika maut menjemput Banu, Edy menjabat sebagai Pangkostrad sekaligus pemilik saham mayoritas, 51 persen dari PT Kinantan Indonesia, perusahaan yang menaungi klub berjuluk Ayam Kinantan itu.

Kala itu Edy juga merangkap jabatan sebagai ketua umum PSSI dan beberapa bulan setelahnya dia dilantik menjadi gubernur Sumatera Utara.

Sri, kakak perempuan Banu tak menonton langsung acara Mata Najwa yang tayang pada, Rabu (26/9/2018) itu. Usai tetangganya berkabar bahwa Edy mengungkit janjinya kembali, Sri bersama suaminya, Ariadin bergegas menonton tayangan ulang melalui Youtube.

"Saya marahnya sama Pak Edy aja," kata Sri yang bosan menerima janji Edy yang terus diulang tapi tak ada hasilnya.

Ariadin pun tak kalah geram, menurutnya pernyataan Edy hanyalah "tong kosong" yang terdengar nyaring tapi tak ada isinya. Buktinya kasus lama belum tuntas, tapi muncul korban baru yaitu Haringga Sirla, suporter Persjia Jakarta (Jakmania).

"Itu kasus Banu diungkit-ungkit juga sama saja bohong. Enggak ada harapan itu [supaya pelaku tertangkap]," kata Ariadin pesimis.

Keduanya sepakat, saat mendengar Edy, perkataannya bukan menimbulkan harapan, tetapi sebaliknya. Dia ingin masyarakat Indonesia yang menonton tayangan itu paham, tak ada harapan pelaku pembunuh Banu tersentuh sistem hukum Indonesia.

"Saya enggak berharap. Malah kesal saya," kata Sri lagi.

Usai kematian Banu, menurut Sri, PSSI hanya pernah datang sekali ke kediamannya di daerah Serpong, Tangerang. Kala itu perwakilan PSSI sebanyak tiga orang datang malam hari. Jenazah Banu masih ada di rumah, Sri dan keluarga sedang bersiap mengantar Banu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Saat itu awalnya PSSI memberikan uang santunan sebanyak Rp2 juta. Pihak keluarga menolaknya.

"Kalau segitu juga kami bisa usahakan sendiri," ungkap Sri.

Pihak keluarga tetap menuntut tanggung jawab PSSI. Sebab lembaga tersebut induk dari penyelenggaraan sepakbola di Inonesia. Selain itu karena dugaan suporter PSMS Medan adalah bagian dari Kostrad Cilodong, yang saat itu berada di bawah arahan Edy sebagai pimpinan PSSI dan Pangkostrad.

"Akhirnya mereka kasih Rp 10 juta. Itu ganti rugi dari mereka untuk adik saya," kata Sri. Pihak keluarga akhirnya menerima uang santunan yang diiringi janji penuntasan kasus pembunuhan Banu.

Infografik CI Suporter Mati Demi Sepakbola

Setelah itu Edy maupun pengurus PSSI yang lain, tak pernah datang bertatap muka dengan keluarga. Tak ada kabar maupun komitmen lagi dari PSSI untuk tuntaskan kasus itu.

Sri dan suaminya, Ariadin tidak pernah tahu apa investigasi yang dilakukan PSSI. Bukan hanya PSSI, polisi pun sama. Menurut Sri dan Ariadin, polisi tak pernah datang lagi setelah peringatan tujuh hari kematian Banu.

"Malah teman-teman dari suporter Persita yang tampak lebih serius. Mereka sering datang dan ngajak kita ke kantor polisi buat tanya soal kasus Banu," tegas Sri lagi.

Di kantor polisi, hasilnya nihil. Ariadin mengaku, polisi tak bisa bertindak karena bukti video yang ada tak menunjukan dengan jelas siapa yang memukul Banu. Keterangan saksi dari pihak Persita pun tidak cukup jelas karena banyak sekali muka di stadion itu yang tak bisa dihafal satu per satu.

"Masak kami harus tanya satu per satu? Kalau ada buktinya nyatanya, nah baru [bisa]," kata Ariadin menirukan omongan polisi soal pemeriksaan anggota Kostrad Cilodong.

Kehidupan tanpa Banu dilewati keduanya seperti tak ada apa-apa. Bukan berarti mereka lupa, tetapi mereka coba mengikhlaskan.

Tiap kali membuat tempe, Sri selalu teringat Banu. Biasanya di sela-sela bekerja, ia memaksa Banu yang hobi bermain Playstation itu, untuk membuat lontong. Setelah itu, baru Banu diperbolehkan main. Sri adalah sebagai pengganti tugas ibu Banu yang sudah meninggal.

Banu memang orang yang simpel. Kebiasaannya mudah ditebak. Bangun jam tiga pagi, tidur lagi jam setengah lima, bangun jam setengah enam, berangkat sekolah, pulang jam satu siang, tidur sampai jam dua, kemudian, bila ia mujur, langsung berangkat main playstation di warung rental PS.

Meski menyukai Persita dan sepak bola. Banu tak gemar berolahraga. Ariadin sempat berkelakar kepada saya, "Mana bisa lari, gendut gitu dia."

Tak Berani Menindak?

Tidak tertangkapnya pelaku kekerasan terhadap Banu, menurut Ariadin, bukanlah masalah kesulitan, tapi kemauan. Ia menuding bahwa aparat kepolisian tak berani untuk bertindak karena para terduga pelaku adalah personil militer.

Edy yang diharapkan untuk berani, juga malah tak bersungguh-sungguh. Di Mata Najwa Edy mengatakan bahwa ia kesulitan untuk mencari pelaku karena begitu banyak orang di sana.

Namun bagi Sri dan Ariadin, apabila Edy memang serius mengungkap kasus, seharusnya ia berkunjung ke kediaman mereka. Sri dan Ariandi meyakini kalau Edy datang, ia akan diserbu oleh tagihan janji pengusutan kasus Banu.

"Pasti itu. Karena sampai sekarang enggak jelas," katanya lagi.

Kekesalan Sri dan Ariadin memang sudah mencapai ubun-ubun. Ketika mengetahui ada petisi yang menyuruh Edy turun dari jabatan Ketua Umum PSSI, keduanya tak ragu untuk menandatanganinya. Petisi di Change.org itu bertajuk "Edy harus mundur sebagai Ketua Umum PSSI,” dibuat oleh Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW).

"Ikut lah," kata Ariandi dibarengi tawa lepasnya.

"Saya males lihat mukanya juga," kata Sri menimpali.

Tak berpikir panjang lagi, mereka yang tahu betapa getirnya menjadi keluarga korban, langsung ambil bagian menandatangani petisi menurunkan Edy dari jabatannya.

Sebagai penyintas, Sri dan Ariadin hanya bisa terus berharap pembunuh Banu diadili. Mereka menuntut persamaan di mata hukum. Sebab jika kasus itu diabaikan, tentu akan terulang.

"Bagaimana caranya kek bikin kebijakan yang aman sepakbola bisa ditonton ibu-ibu bawa anak yang damai gitu. Kan enak kan," tutup Ariandi.

Edy, masih dalam tayangan "Mata Najwa" sempat menjelaskan sulitnya mengungkap pelaku pengeroyokan yang menewaskan Banu. Ia bilang sebelum permainan dimulai di dalam stadion sudah banyak batu dan bambu. Selain itu menurutnya aparat kepolisian yang diberi mandat oleh PSSI menuntaskan kasus ini kesulitan mendeteksi siapa pelaku pengeroyok Banu lantarannya banyak jumlah penonton.

"Itu yang terjadi dan sangat sulit untuk dicari kebenarannya. Akhirnya kami serahkan kepada pihak keamanan dalam hal ini adalah polisi dan dilakukan penyelidikan dan sampai saat ini belum dapat dibuktikan," ujar Edy.

"Di dalam lapangan itu bukan 100, 200, 500, ribu, itu puluhan ribu orangnya."

Edy melanjutkan: "Kalau mau tidak percaya ada Polres yang menangani. Karena sekian banyak orang itu sulit."

Baca juga artikel terkait KERUSUHAN SUPORTER atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana