tirto.id - Abdul Kadir Jaelani baru saja terlelap sebelum akhirnya sang istri membangunkannya hingga terjaga. Malam itu sekitar pukul 23.30 WIB, Sabtu 3 November 2018, Leni istri Abdul Qodir mendengar dua suara ledakan.
“Yah, yah, bangun. Ada ledakan,” kata Abdul menirukan ucapan sang istri kepada reporter Tirto.
Mulanya pasangan suami istri itu mengira bunyi ledakan berasal dari petasan. Sebab bagian belakang kontrakan mereka yang beralamat di Gang Asem, Ciracas, Jakarta Timur memang biasa dijadikan tempat kumpul-kumpul pemuda setempat.
Tapi bunyi ledakan yang kelewat kencang bikin Leni khawatir soal kondisi anaknya. Ia lantas keluar rumah untuk mencari sang anak. Lega dirasakan Leni saat ia melihat sang anak sedang duduk asik di depan teras rumah saudara.
Rasa penasaran akhirnya menuntun langkah kaki Abdul ke bagian belakang rumah. Saat pintu belakang dibuka ia terdiam sejenak melihat sesosok tubuh tergeletak bersimbah darah. Perlahan Abdul yakin tubuh yang tergeletak di dekat kamar mandi belakang rumahnya sudah menjadi mayat.
“Saya enggak lihat pasti ada di kepala atau badan, tapi yang pasti ada darah di lantai,” cerita Abdul.
Saban hari Abdul bekerja sebagai pengepul sampah di bilangan Ciracas. Itu malam ia pulang ke rumah kontrakannya sekitar pukul 22.00 WIB. Rumah kontrakan Abdul terdiri dari tiga bagian: ruang tamu, ruang tidur, dan ruang belakang yang difungsikan sebagai dapur juga kamar mandi.
Malam itu, Abdul tidur di ruang tamu yang hanya berukuran 2 meter x 3 meter. Di ruang itu ada lemari, televisi, perangkat memasak yang bertumpuk di atas lemari, akuarium, printer, dan kolase foto yang ditempel di dinding.
Satu setengah jam kemudian, ketika Abdul baru lelap, Leni melihat Ade Supardi salah satu tetangganya pulang dan langsung memasukkan motor. Leni tak menyangka sebentar kemudian Abdul sang suami menemukan Ade sudah tak bernyawa di bagian belakang rumah mereka.
Sadar tetangganya yang tergeletak tak bernyawa, Abdul langsung beranjak menuju rumah ketua RT untuk memberi informasi. Leni tak sanggup ke belakang begitu ia tahu ada mayat. Sesaat Abdul pergi, Leni menyusul.
Ketua RT sedang duduk bersama sekitar sepuluh orang lain di pos ronda saat Abdul datang membawa cerita tak mengenakan. Meronda di malam Minggu sudah jadi kebiasaan warga di sana.
“Ada orang tergeletak di belakang rumah,” ujar Abdul kepada sang RT.
Mendengar informasi Abdul orang-orang yang sedang asik kongko itu langsung menuju tempat yang ditunjukkan Abdul. Saat yakin bahwa yang diceritakan Abdul bukan bualan, Ketua RT langsung menguhubungi Ketua RW.9. Ketua RW lalu menghubungi Polsek Ciracas. Setengah jam kemudian aparat kepolisian datang.
Pintu Dikunci
Mulanya aparat hendak masuk dari pintu depan rumah kontrakan Ade yang berada di bagian paling ujung. Tapi karena pintu depan kunci polisi akhirnya masuk lewat rumah Abdul yang hanya berselisih satu kontrakan dengan kediaman Ade. Mereka menanyai saksi berbagai hal, terutama kronologis apa yang mereka lihat.
Dini hari itu juga, mayat Ade langsung dibawa ke Rumah Sakit Polisi di Keramat Jati. Barang berharga milik Ade seperti dompet dan ponsel dititipkan polisi kepada ketua RT Kunci rumah kemudian dibawa ke Polsek Ciracas.
Polisi juga memerintahkan Abdul, Leni, tetangga sebelah, dan istrinya, kakak ipar Abdul, juga ketua RT ke Polsek Ciracas untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Selama berjam-jam mereka dimintai keterangan oleh polisi. Pagi menjelang, ketua RT pulang tapi saksi lainnya diajak ke Polres Jakarta Timur untuk diminta keterangan lanjutan.
“Selesai sekitar jam dua belas siang, saya dan istri sampai rumah pukul satu lah,” kata Abdul.
Sesampainya di rumah, suasana sudah ramai. Ada polisi, ketua RT, ketua RW, dan warga yang berkerumun karena penasaran. Abdul kemudian bergabung, membahas hal yang masih sama seputar kejadian dini hari lalu.
Di waktu yang sama di simpang Jalan Raya Bogor dan Jalan Masjid Al Ishlah, Akiong sedang menjaga bengkel variasi motor miliknya. Tiba-tiba saja ketua RT setempat mendatanginya dan menanyakan apakah ada pekerjanya yang bernama Ade.
“Saat itu saya tanya pekerja lain, Ade ada masuk gak hari ini?” ujar Akiong. Pekerja lain bilang tidak.
Dari situ ketua RT menjelaskan Ade sudah meninggal. Akiong lalu diajak ke rumah Ade. Sesampainya di lokasi kejadian, Akiong cepat membaur dengan kerumunan warga lain berkasak-kusuk soal peristiwa nahas yang menimpa pekerjanya.
Di tengah kerumunan juga ada Hendri, teman satu kampung Ade di Pandeglang. Ia mewakili pihak keluarga Ade. “Kenapa bisa terjadi? Padahal malam itu kami masih chatingan,” tanya Hendri kepada polisi.
Saat itu polisi menjawab sedang akan mencari tahu penyebabnya, hasilnya akan keluar setelah otopsi selesai dilakukan. Lama mereka berkumpul hingga akhirnya satu per satu orang membubarkan diri. Minggu itu juga Hendri membawa jenazah Ade kembali ke kampung halaman.
Minggu malam, sekitar pukul 19.00 WIB ayah dan kakak kandung Ade datangi Polsek Ciracas. Akiong ikut menemani. “Saya meminta maaf karena enggak bisa jaga Ade. Di sana bapaknya juga meminta maaf. Kami enggak banyak mengobrol, karena keluarga juga tengah berduka,” kata Akiong.
Bukan Salah Tembak
Senin 5 November 2018 atau dua hari setelah kejadian, sejumlah media online mulai ramai memberitakan kabar meninggalnya seorang warga Ciracas karena ditembak. Mulanya berita yang diunggah media adalah Ade menjadi korban salah tembak kepolisian atau korban peluru nyasar.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono pada hari itu mengaku belum tahu persis soal kronologi kejadian. Namun ia menyebut pihak keluarga Ade tidak menuntut ganti rugi apa pun, menurut Argo, pihak keluarga tidak meminta ganti rugi atau apapun. “Dari kepolisian sudah menyampaikan rasa duka dan dari pihak keluarga tidak menuntut apa-apa,” kata Argo.
Namun berselang sehari kemudian usai Argo menerangkan Ade bukan korban salah tembak atau peluru nyasar polisi. Ade, kata Argo, tewas karena memang sengaja ditembak oleh salah seorang anggota polisi yang merupakan teman SMA-nya usai kalah berkelahi pada Sabtu 3 November 2018. “Bukan salah tembak. Jadi memang itu sudah ada bibit-bibit permusuhan teman sendiri ya. Teman pas sekolah SMA,” jelas Argo di Polda Metro Jaya kata Argo di Polda Metro Jaya, Selasa 6 November 2018.
Argo menuturkan, penyidik dari divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya masih melakukan penyelidikan untuk mencari tahu siapa dan bagaimana pistol tersebut bisa meletus. Argo menjelaskan ada tiga anggota polisi yang berada di kontrakan korban saat itu. “Ada suatu letusan terjadi makanya ada 3 orang anggota yang membawa senjata api. Sedang kita cek ke laboratorium forensik siapa yang melakukan,” tegas Argo.
Menurut Argo, ada sedikit ancaman dan cekcok antara mereka sehingga terjadi keributan. Anggota terjatuh dan kemudian melakukan tembakan ke atas dan kemungkinan mengenai korban.
“Keluarga sudah tahu itu musibah dan nanti secara internal akan kami lakukan pemeriksaan,” ucap Argo lagi.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform Genoveva Alicia melihat ada pelanggaran prosedur penggunaan senjata api sebagaimana diatur dalamP eraturan Kapolri No 1 tahun 2009 dan No 8 Tahun 2009 tentang penggunaan senjata api yang dilakukan pelaku.
"Di situ dinyatakan bahwa [senjata api] hanya dapat digunakan ketika diperlukan hanya untuk tujuan penegakan hukum yang sah," kata Genoveva.
Selain itu, Pasal 49 peraturan tersebut juga menyatakan petugas wajib memberikan penjelasan secara rinci tentang penggunaan senjata api, tindakan yg dilakukan, dan akibatnya harus dijelaskan pada pihak yang dirugikan. Genoveva mendesak Polri sebagai institusi penegak hukum menjalankan kewajiban penegakan hukumnya meskipun melibatkan anggotanya.
Ia mengatakan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.3 tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian dijelaskan pimpinan satuan kerja wajib memperlancar jalannya penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Yang dimaksud dengan memperlancar di sana menurut Genoveva termasuk bersikap transparan dalam proses penegakan hukum.
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Muhammad Akbar Wijaya