Menuju konten utama

CERA Nilai Positif Upaya Filipina Naikan Pajak Batu Bara 400 Persen

Kebijakan itu dinilai Agung sebagai komitmen Filipina dalam mengurangi penggunaan energi batu bara secara bertahap.

CERA Nilai Positif Upaya Filipina Naikan Pajak Batu Bara 400 Persen
Aktivitas bongkar muat batu bara di Pelabuhan Indonesia II Cabang Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (25/2). ANTARA FOTO/Hermanus Prihatna/kye/17

tirto.id - Kebijakan Filipina yang menaikan tarif pajak batu bara sebesar 400 persen per 12 Desember kemarin dinilai Associate Centre for Energy Research Asia (CERA) Agung Budiono harus menjadi refleksi bagi Pemerintahan Indonesia untuk segera melakukan transisi energi (shifting) terhadap transmisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).

“Mana komitmen mereka (pemerintah) terhadap pengurangan energi fosil, yang salah satunya adalah batu bara. Salah satu kontributor perubahan iklim terbesar itu kan emisi batu bara,” ujar Agung kepada Tirto, Rabu malam (13/12/2017).

Agung mengapresiasi langkah Pemerintah Filipina yang mengumumkan kebijakan tarif pajak batu bara sebesar 400 persen. Pasalnya, kebijakan itu dinilai Agung sebagai komitmen Filipina dalam mengurangi penggunaan energi batu bara secara bertahap.

“Apa yang dilakukan oleh Filipina sebenarnya jadi refleksi yang bagus bagi kita. Ketika kita ingin melakukan konversi energi, terkait energi kotornya. Batu bara ini harus ditahan lajunya. World Bank saja sudah tidak membiayai proyek di hulu migas,” ucapnya.

Sementara itu, pada 11-13 Desember 2017 kemarin tiga Menteri Kabinet Kerja Joko Widodo, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya berkunjung ke Paris, Perancis untuk menghadiri One Planet Summit. Dalam pertemuan tersebut isu utamanya adalah terkait pengurangan energi fosil dan target pengurangan emisi.

Kendati demikian, Agung belum melihat adanya upaya untuk merealisasi komitmen Indonesia untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan berkonversi menjadi energi baru terbarukan (EBT). “Ke depannya, kalau kita memang konsisten komitmen dengan kesepakatan Paris, maka itu harus dihilangkan penggunaan batu bara karena memang punya dampak emisi yang luar biasa,” ucapnya.

Langkah konversi dari batu bara menurut Agung tidak akan membuat proyek-proyek pembangkit listrik berbahan baku batu bara terganggu, termasuk program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). “Itu belum berdampak. Dari total kebutuhan listrik kita sekitar 70-80 juta ton batu bara per tahun, itu sebenarnya udah cukup,” sebutnya.

Agung menambahkan, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, produksi batu bara Indonesia itu di angka 400 juta ton. Namun, ia mengklaim angka itu terus naik menjadi 450-470 juta ton tahun ini.

Sehingga, menurut perhitungannya, dengan produksi sampai 470 juta ton dan kebutuhan estimasi maksimal 80 juta ton, maka, masih ada surplus yang bisa ditekan. Selama ini, surplus tersebut diekspor begitu saja.

“Jadi surplus sekitar 300 jutaan ton yang itu diekspor. Problemnya adalah selalu dipikirkan mereka (pemerintah) adalah dampak penerimaan negara berkurang dari jika batu bara di-hold produksinya,” terangnya.

CERA mencatat, Indonesia adalah negara peringkat 2 eksportir batu bara terbesar di dunia dan produsen batu bara peringkat ke-5 di dunia. Agung lantas menjelaskan bahwa laju eksploitasi Indonesia berkali-kali lipat dari cadangan yang dimiliki, lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dalam konteks Indonesia sebagai eksportir, kebijakan pajak batu bara Filipina tentunya akan memiliki dampak pada ekspor Indonesia ke Filipina. Saat ini sekitar 70 persen batu bara Filipina diimpor dari Indonesia.

Sedangkan Filipina tercatat di Statistik Kinerja Ekspor Kementerian Perdagangan 2016 sebagai negara terbesar ke 7 untuk tujuan ekspor batu bara Indonesia dengan volume sekitar 16,6 juta ton dan nilai transaksi (FOB) mencapai 796 juta dolar AS.

“Saat bersamaan energi terbarukan itu harganya cuma apple to apple sama energi fosil. Selama ini kan yang jadi kendala itu harga energi terbarukan disebut lebih mahal. Tapi, faktanya trennya menurun,” pungkas Agung.

Baca juga artikel terkait BATU BARA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto