tirto.id - Hari Minggu itu, MK, 30 tahun, seorang pegawai swasta di Jakarta, sudah berdandan rapi sejak pagi untuk menghadiri pernikahan salah seorang sahabatnya, AE. Dengan memakai kemeja batik lengan panjang yang dipadukan celana panjang hitam dan sepatu boots cokelat, MK memacu motornya menuju lokasi akad yang terletak di sebuah restoran di Selatan Jakarta.
Sekitar 20 menit sebelum akad berlangsung, MK sudah tiba di lokasi. Setelah bersalaman dengan sanak dan kerabat mempelai yang dikenalnya, ia mengambil posisi duduk yang paling pas untuk merekam adegan bersejarah nanti. Wajahnya semringah betul, tapi dadanya turut berdebar. Ini pernikahan sahabatnya yang telah 13 tahun ia kenal. Ada semacam kebahagiaan ganjil yang dirasakan MK kala itu.
Berselang menit lewat, akhirnya penghulu membacakan berbagai macam persyaratan. MK sudah membidikkan kamera gawai ke arah kedua mempelai. Hingga kemudian kata “Sah!” serentak diucapkan, MK sontak berdiri dari duduknya, menyimpan gawai ke balik saku celana, lalu pamit berjalan ke luar ruangan. Dari balik pintu, ia melihat AE, sahabatnya, dengan mata yang basah.
Ketika pesta berlangsung, MK berbincang bersama rekan-rekan lainnya yang sudah lama tidak jumpa sambil menunggu giliran mereka untuk bersalaman dengan kedua mempelai. Karena jumlah undangan yang hadir memang dibatasi, cukup sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk antre. Lalu tibalah giliran MK. Kedua sahabat tersebut saling memeluk erat dan sama-sama mengucapkan terima kasih. Kali ini, MK tidak bisa lagi menyembunyikan matanya yang basah.
Ada sebuah kalimat menarik yang pernah ditulis almarhum Rusdi Mathari, seorang jurnalis senior, dalam sebuah esainya: “Laki-laki memang tidak menangis, tapi hatinya berdarah, Dik!”
Kalimat tersebut mengandung kesan betapa superiornya maskulinitas, bahwa menangis seolah menandakan kelemahan. Namun, air mata MK yang tumpah di hari bersejarah itu justru menunjukkan kekuatan: persahabatan sepanjang hayat.
Pesta itu selesai sekitar pukul dua siang hari. Teman-temannya yang lain kemudian mengajak MK nongkrong di kafe yang tak jauh dari lokasi pernikahan. MK menolaknya dengan mengatakan masih menghadapi tenggat pekerjaan. Teman-temannya yang lain paham bahwa ia berbohong, tetapi mereka coba mengerti jika MK sedang ingin sendirian.
Benar saja, ia memilih menghabiskan sore dengan berkeliling Jakarta tanpa arah. Ia ingin menghabiskan sisa air mata kebahagiaan itu di jalanan. Motor pun dipacu kencang dan di sepanjang jalan, MK terus menyanyikan lagu Randy Newman yang menjadi favoritnya dan AE:
You've got a friend in me
When the road looks rough ahead
And you're miles and miles
From your nice warm bed
Just remember what your old pal said
Boy, you've got a friend in me
Melajang Lebih Bahagia, Benarkah?
MK dan AE telah saling mengenal sejak mereka kuliah 13 tahun lalu. Sepanjang itu pula, kendatipun tidak seintim yang dibayangkan dan tidak melulu berbagi cerita pribadi, mereka kadung direkatkan oleh semesta. Maka, ketika sahabatnya itu akhirnya menikah, MK merasa bahagia sekaligus merana.
Sebagai pria usia 30-an awal dan sudah melajang kurang lebih dua tahun lamanya—serta belum ada tanda-tanda menikah dalam waktu dekat, ada berderet kecemasan yang muncul di kepala MK usai mengetahui sahabatnya akan membina rumah tangga: Apakah ia akan kesepian? Apakah sahabatnya akan berubah setelah menikah? Atau ia justru makin mantap untuk terus melajang?
Di Amerika Serikat, berdasarkan data dari Biro Sensus Nasional tahun 2017, terdapat lebih dari 110 juta orang dewasa dengan status lajang. Pilihan untuk hidup melajang ini disebabkan oleh norma budaya dan sosial masyarakat yang perlahan berubah, sementara insentif ekonomi kian menurun, dan nilai-nilai individualistis tambah meningkat.
Hanya saja, wejangan klasik mengenai pernikahan tetap dipercaya: Dengan menikah seseorang memiliki “rekan” yang selalu ada saat dibutuhkan, sedangkan mereka belum menikah dilanda kesepian.
Namun, fakta menarik diungkapkan oleh William Chopik, seorang profesor Universitas Negeri Michigan, dalam penelitiannya yang dirilis tahun 2017. Dengan melibatkan lebih dari 271,053 orang di sekitar 100 negara, penelitian tersebut menunjukkan bahwa di antara orang berusia 65 atau lebih, memiliki pertemanan yang bermakna menjadi indikator kesehatan dan kebahagiaan yang lebih kuat daripada hubungan keluarga/pernikahan. Dengan kata lain, persahabatan menjadi semakin penting seiring bertambahnya usia mereka.
Chopik juga menemukan fakta lain bahwa manula lajang, baik bercerai atau tidak pernah menikah, yang memiliki teman baik sama bahagia dan sehatnya dengan orang yang telah menikah. Meskipun hubungan keluarga punya banyak manfaat, pihak yang telah menikah terkadang tiba-tiba muncul dengan persoalan rumah tangga atau kesibukan yang sukar dikontrol.
“Menjaga beberapa teman yang benar-benar baik dapat membuat perbedaan yang signifikan bagi kesehatan dan kesejahteraan kita. Jadi, pintar-pintarlah berinvestasi dalam persahabatan agar dapat membuat Anda lebih berbahagia," demikian ujar Chopik.
Sebuah studi pada 2015 yang dilakukan oleh Natalia Sarkisian dan Naomi Gerstel, dua peneliti dari Boston College dan University of Massachusetts Amherst, menunjukkan bahwa "menjadi lajang meningkatkan hubungan sosial baik perempuan dan laki-laki." Tidak sekadar memiliki lebih banyak teman, orang lajang juga lebih baik dalam menjaga persahabatan mereka.
Sebaliknya, ketika orang menikah, mereka cenderung meninggalkan teman-teman mereka. Sarkisian dan Gerstel menyimpulkan bahwa orang lajang lebih mungkin untuk tetap berhubungan dan menerima bantuan dari teman, keluarga, dan tetangga daripada mereka yang menikah.
Studi lain di Inggris yang dilansir British Medical Journal tahun 2012 menunjukkan bahwa orang-orang yang berusia 45 tahun yang memiliki 10 atau lebih pertemanan, memiliki tingkat kesejahteraan psikologis dan kebahagiaan lebih tinggi pada usia 50 tahun dibanding individu dengan persahabatan yang lebih sedikit. Studi ini seperti secara tidak langsung meringkas sebuah keuntungan lain yang dimiliki oleh mereka yang melajang.
Hubungan sosial yang baik memang menjadi parameter utama dalam mendapat kebahagiaan, sebagaimana intisari penelitian yang telah dilakukan Universitas Harvard sepanjang 75 tahun. Namun demikian, hal tersebut tidak otomatis hanya dapat dilakukan oleh mereka yang lajang saja. Stereotipe klasik bahwa menikah akan membatasi kegiatan seseorang tidak selalu berlaku.
NW dan CP, misalnya, dua orang lain yang juga menjadi karib MK dan AE, mengaku tidak ada perubahan berarti dalam kehidupan mereka perihal pertemanan setelah menikah.
“Istriku sudah tau aku gimana, jadi sama-sama bebasin aja mau nongkrong,” ujar NW. Sementara itu, CP menyebut, jika pun ada pembeda, itu adalah keberadaan anak. “Bawaan mau pulang terus kalo sudah ada anak, kangen soalnya.”
MK pribadi tidak pernah menghakimii pilihan para karibnya tersebut. Bahwa ia masih—atau selamanya—lajang dan mereka telah menikah, bagi MK, hanyalah soal waktu dan pilihan belaka. Sementara itu, untuk urusan pertemanan, ia percaya itu semua tidak akan berhenti di angka 13.
“Aku santai, kok. Toh, masih ada AD dan kamu,” ledek MK kepada saya, Minggu malam lalu, ketika kami sama-sama baru pulang keluyuran dan memutuskan menginap di kantor.
Editor: Maulida Sri Handayani