tirto.id - Pengamat dari Laboratorium Politik dan Kebijakan Publik Universitas Muhammadiyah Palangkaraya, Novianto Eko Wibowo mengusulkan perlunya syarat tambahan bagi peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) untuk menyerahkan jaminan dana ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing daerah. Kewajiban ini untuk mencegah praktik politik uang yang selama ini marak terjadi.
“Realitas Pilkada itu jelas pertarungan elit dan kelompok orang bermodal, maka saatnya ada syarat perlunya menyerahkan jaminan dana yang jelas untuk kepastian dan kejelasan dalam menaati segala ketentuan proses dan tahapan Pilkada,” ujarnya, di Palangkaraya, Senin (18/4/2016).
Menurut Eko, selama ini politik uang kerap menjadi andalan setiap pasangan calon peserta Pilkada, selain adanya aliran dana atau mahar ke partai politik agar bisa dicalonkan menjadi peserta Pilkada. Karena itu, lanjut Eko, perlu tambahan syarat setiap peserta Pilkada wajib memberikan uang jaminan ke KPU di masing-masing daerah.
Untuk besaran dana jaminan setiap peserta Pilkada harus maksimal, dihitung dari operasional seseorang sejak proses awal hingga tahapan akhir Pilkada. “Hasil observasi kami terhadap aliran dana saat pelaksanaan Pilkada serentak gubernur dan wakil gubernur Kalteng (Kalimantan Tengah) yang sempat terbengkalai bisa mencapai Rp500 miliar,” kata dia mencontohkan.
Karena itu, untuk Pilkada Kalteng besaran dana jaminan bisa saja 10 atau 20 persen dari dana total operasional yang dihabiskan seorang paslon atau Rp5 miliar hingga Rp10 miliar.
Jaminan dana yang ada di KPU selanjutnya bisa dijadikan sebagai salah satu instrumen pengikat agar peserta Pilkada bisa taat aturan, selain bisa digunakan sebagai dana kampanye yang terprogram.
“Dengan adanya jaminan dana dengan jumlah cukup besar, maka setiap peserta Pilkada tidak lagi sembarangan dan suka menyiasati aturan. Karena taruhannya bisa didiskualifikasi dan jaminan dana dimasukkan kas negara atau kas daerah,” kata Eko.
Lab Politik UM Palangkaraya mencatat setiap gejala yang terjadi pada tahapan pemilihan kepala daerah serentak khususnya sejak rekrutmen partai politik terhadap bakal calon gubernur dan wagub Kalteng periode 2015-2020, yang mana banyak terjadi 'peristiwa politik' lokal hasil interaksi dengan praktik politik yang diterapkan pimpinan parpol di tingkat pusat.
“Peristiwa politik sejak dari proses rekrutmen pasangan calon kepala daerah Kalteng itulah sebagai muara dan penyebab gagalnya program nasional Pilkada serentak di Kalteng,” kata dia.
Proses dan tahapan Pilkada serentak gubernur dan wagub Kalteng terus terjadi sengketa dan saling gugat antara pasangan calon, dan bahkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan rekomendasi perlu evaluasi terhadap penetapan paslon, dan bahkan pemberhentian sementara ketua dan dua komisioner KPU Kalteng yang dinilai melanggar etika dalam tugas sebagai penyelenggara sejak tahapan pendaftaran paslon.