Menuju konten utama

Cara Rezim SBY Perlakukan Para Penghina Presiden

Di zaman SBY, pernah ada beberapa orang yang ditangkap gara-gara menghina presiden. SBY mengaku tak terlalu ambil pusing atas penghinaan itu.

Cara Rezim SBY Perlakukan Para Penghina Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (berkacamata) menyapa ribuan kader dan simpatisannya saat melakukan kunjungan ke Tenayan Raya, Pekanbaru, Riau, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/hp.

tirto.id - Joko Widodo bukan satu-satunya presiden yang pernah menjadi sasaran ucapan kebencian dan penghinaan di ruang publik. Sejak rezim Orde Baru berkuasa, kasus serupa kerap mondar-mandir di atas meja persidangan. Seperti halnya para penghina Jokowi, orang-orang yang didakwa atas tuduhan menghina Soeharto pun datang dari beragam kalangan, dari mahasiswa hingga tukang becak.

Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, kasus penghinaan terhadap presiden masih kerap ditemui. Bahkan tindakan dan ucapan kebencian terhadap SBY terjadi hanya selang beberapa bulan setelah dirinya dilantik sebagai presiden pada Oktober 2004.

Rezim SBY kemudian tercatat beberapa kali pernah membui orang-orang yang dianggap telah bertindak atau berucap tidak patut kepada presiden.

Demo Anti-Kenaikan BBM Berbuntut Penghinaan

Masa-masa awal SBY memegang tampuk pemerintahan di tahun 2004 tidak semulus yang dibayangkan. Berselang kurang dari tiga bulan sejak dilantik, SBY memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Ini menyulut protes dari sebagian masyarakat Indonesia, khususnya para aktivis dan mahasiswa.

Siang itu, 30 Desember 2004, sekelompok anak muda melakukan pawai menuju Gedung DPRD Bali seraya berorasi menuntut janji presiden yang mengatakan tidak akan menaikkan harga BBM dalam masa 100 hari pertama pemerintahannya.

Dari balik corong mikrofon, seorang pemuda terus membakar semangat kawan-kawan sejawatnya. Meskipun matahari kian terik, aktivis Gerakan Frontier berusia 28 bernama I Wayan “Gendo” Suardana itu tak sejenak pun berhenti hanya untuk mengusap peluh. Gendo begitu bersemangat menyampaikan tuntutannya.

Saking bersemangatnya, Gendo tak hanya berorasi, tapi juga menyiapkan aksi teatrikal. Tanpa ragu ia segera menyambar sebuah foto yang telah dipersiapkan bersama kawan-kawannya.

Foto bergambar SBY yang digenggamnya sudah dalam keadaan dicorat-coret menjadi mirip drakula. Gendo bergegas mengambol korek dan menyulutkan api untuk melumatkan gambar SBY.

Peristiwa itu menjadi awal dari drama penghinaan terhadap kepala negara di tahun pertama pemerintahan SBY. Beberapa hari setelah aksi demo, tepatnya 3 Januari 2005, Gendo secara resmi ditahan karena dianggap melanggar pasal haatzai artikelen atau pasal penghinaan yang merupakan warisan kolonial.

Sebelum resmi dibui, persidangan Gendo langsung menarik keprihatinan nasional. Khalayak merasa Gendo telah dijerat pemerintah dengan menggunakan “pasal karet” yang sudah sangat usang.

Selain itu persidangan Gendo dirasa kurang adil oleh sebagian orang sehingga selalu menarik kericuhan sejak sidang pertama hingga putusan vonis. Pewartaan Tempo.co menyebutkan sesaat setelah palu vonis sidang diketuk, Gendo langsung diseret aparat tanpa diberi hak untuk menolak atau menerima keputusan enam bulan kurungan dari hakim.

Perihal peristiwa penarikan Gendo dari ruang sidang, Kompas (8/4/2005) melaporkan secara lebih terperinci. Awalnya, kuasa hukum Gendo bersikukuh meminta agar jaksa memanggil Presiden SBY untuk bersaksi di persidangan sebagai korban. Permintaan tersebut ditolak hakim dan Gendo pun langsung diamankan.

Akibatnya, suasana persidangan menjadi sangat ricuh hingga terjadi aksi dorong-dorongan antara polisi dengan para pendukung Gendo. Petugas terpaksa kembali mengeluarkan Gendo dari sel tahanan hanya agar dapat menenangkan massa.

“Sampai saat ini saya menolak untuk didakwa dengan pasal haatzai artikelen,” ujar Gendo dengan lantang di muka ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar, seperti dikutip blog resmi miliknya, gendovara.com.

Gendo ternyata tidak sendiri. Selang satu bulan setelah penangkapannya, sosok lain yang diduga melontarkan penghinaan terhadap SBY muncul lagi. Kali ini melibatkan nama Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Monang Johannes Tambunan.

Demonstrasi yang mengantarkan Monang ke muka pengadilan lagi-lagi seputar penolakan kenaikan BBM—yang memang sedang marak terjadi saat itu—di depan Istana Negara. Pada sebuah demonstrasi tanggal 28 Februari 2005, seperti halnya Gendo, Monang juga berperan sebagai orator yang bertugas merinci dosa-dosa SBY akibat keputusannya menaikkan harga BBM.

Monang sempat berbicara menggunakan mikrofon di hadapan para peserta aksi. Pada kesempatan itulah ia mulai memojokkan pemerintahan SBY dengan kata-kata hinaan yang sangat kasar.

Aksi tersebut mengantarkannya ke kursi pesakitan dengan dakwaan penghinaan terhadap presiden. Melalui serangkaian persidangan yang bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Monang dinyatakan bersalah telah melakukan penghinaan terhadap kepala negara dan diganjar enam bulan kurungan.

Menurut pewartaan Koran Tempo (10/5/2005), Cicut Sutiarto selaku ketua majelis hakim menyebut ujaran kebencian berupa “SBY Anjing, SBY Babi” yang dilontarkan Monang benar-benar menyerang presiden secara personal. Sejumlah alat bukti dan saksi dinilai memberatkan hukuman Monang, meski disebut-sebut masih lebih ringan dari tuntutan jaksa yaitu satu tahun penjara.

Para Penjaga Martabat Presiden

Seorang pemuda asal Yogyakarta, Herman Saksono, juga pernah terjerat pasal penghinaan terhadap presiden. Herman ditangkap di kantornya di sekitar kompleks Universitas Gadjah Mada karena kedapatan merekayasa foto wajah Bambang Trihatmodjo, putra Soeharto, yang tengah bermesraan dengan Mayangsari. Dalam foto rekayasa itu, wajah Bambang diganti wajah SBY.

Koran Tempo (14/12/2005) melaporkan, Herman diciduk selang satu hari setelah diadakan pertemuan antara pakar telematika sekaligus fungsionaris Partai Demokrat, Roy Suryo, dengan pejabat ring satu presiden di Kuala Lumpur. Roy datang atas undangan dari Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan.

Roy mengaku sudah mengetahui perihal foto rekayasa wajah SBY yang diunggah di blog Herman sejak November 2005. Kendati demikian, ia berkata tidak ingin mempolitisasi isi blog tersebut. Selain foto SBY, Roy juga mendapati rekayasa foto politikus lainnya seperti Surya Paloh dan Yusril Ihza Mahendra.

Setelah dirasa cukup “dibina” di kantor polisi, Herman pun akhirnya dibebaskan. Pihak berwajib menyadari bahwa mereka kekurangan pasal yang cukup kuat untuk menjerat Herman. Selain menjadi kasus penghinaan lewat foto rekayasa yang pertama kali terjadi, kala itu Indonesia juga belum memiliki undang-undang yang mengatur masalah internet.

Infografik Cara SBY perlakukan haters

Infografik Cara SBY perlakukan haters. tirto.id/Nadia

SBY sendiri, sementara itu, tampaknya tidak pernah secara langsung memberi perhatian kepada pihak-pihak yang menghina dirinya.

Laporan Kompas (17/12/2005) menyebut pada saat kunjungan kenegaraan ke Bangkok, Thailand, SBY sempat didatangi seorang blogger Indonesia bernama Enda Nastion yang saat itu tengah bekerja di Bangkok. Sambil berkelakar, pria berjulukan Bapak Blogger Indonesia itu bertanya kepada SBY mengenai rekayasa foto wajahnya.

Menanggapi pertanyaan Enda, SBY pun tertawa lebar, disusul senyum sang istri, Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono. Menurut SBY, itu semua hanya lelucon dan pelakunya tidak perlu dipidana. Berdasarkan editorial Koran Tempo (15/12/2005), sebelumnya SBY juga sudah pernah mengutarakan bahwa ia tidak ingin ada orang dipenjara hanya karena menghina dirinya, termasuk membakar fotonya.

Koran Tempo juga menyebutkan bahwa perintah penangkapan Herman bukan berasal dari SBY. Kuat dugaan, reaksi berlebihan terhadap kasus Herman (dan kemungkinan juga kasus penghinaan lainnya) datang dari orang-orang yang merasa bertanggung jawab menjaga martabat presiden, termasuk di antaranya pasukan keamanan presiden dan orang-orang partai.

Baca juga artikel terkait PENGHINAAN PRESIDEN atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ivan Aulia Ahsan