tirto.id - Bisri Musthofa dan KH. Musthofa Bisri, dua nama yang mungkin sedikit membingungkan, karena hanya dibolak-balik saja susunan katanya. Yang pertama adalah nama sang ayah, sedangkan yang kedua adalah nama sang anak yang juga biasa dikenal dengan panggilan “Gus Mus”. Bapak anak ini sama-sama jago menulis dan telah melahirkan banyak karya.
Sang ayah lahir dalam lingkungan pesantren di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada 1915. Nama Musthofa Bisri bukanlah nama sedari kecil. Kiai Bisri punya nama kecil Masyhadi. Nama Bisri dipilihnya sendiri sepulang menunaikan ibadah haji. Menikah dengan Nyai Ma’rufah, putri dari Kiai Kholil Kasingan, Kiai Bisri dikarunai delapan anak.
Dua putranya, KH. Kholil Bisri dan Gus Mus, mungkin yang paling familiar karena jadi penerus Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, Rembang. Sedangkan Gus Mus, selain sebagai ulama, juga dikenal seperti reputasi Kiai Bisri yang melegenda karena karya-karya tulisnya.
Kiai Bisri Musthofa adalah kiai yang sangat produktif menulis. Lebih dari seratus judul buku telah berhasil ditulisnya dan dipelajari di banyak pesantren. Hal ini cukup bisa dipahami karena sebagian besar buku-buku karya Kiai Bisri Musthofa ditulis dengan aksara “pegon”. Tulisan berlafal bahasa Jawa namun menggunakan aksara Arab.
Salah satu karya terkemuka Kiai Bisri adalah kitab TafsirAl-Ibriz, tafsir Al-Quran dalam bahasa Jawa yang sering dipelajari tidak hanya oleh para santri di pesantren-pesantren, tapi juga kalangan awam di pengajian kampung-kampung.
Kiai Bisri dikenal sebagai sosok yang selalu mampu menyederhanakan hal-hal rumit menjadi sederhana. Membuat setiap penjelasan Kiai Bisri mudah diterima semua kalangan. Di setiap ceramahnya, Kiai Bisri juga selalu menggunakan cara-cara sederhana. Hal yang juga terlihat dari tulisan-tulisannya, termasuk kitab Tafsir Al-Ibriz.
Karena produktivitasnya yang luar biasa, dalam Tawa Pesantren (2016: 56-58) Kiai Bisri pernah ditanya oleh K.H. Ali Maksum, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
“Sampeyan ini kok bisa nulis banyak banget begitu, memang rahasianya apa toh, Kang?” tanya Kiai Ali. “Aku ini kok enggak bisa seperti sampeyan. Saat punya ide nulis yang banyak, tapi waktu pegang pena rasanya kok mendadak ide-ide yang banyak itu jadi hilang entah kemana.”
Kiai Bisri cuma tersenyum mendengarnya, lalu sedikit mendekat.
“Lha, sampeyan nulisnya lillahi ta’ala, ikhlas, bener-bener cuma buat Allah, jadinya ya susah. Enggak bakalan bisa selesai kalau begitu,” kata Kiai Bisri.
“Lho, maksudnya gimana itu?” kata Kiai Ali.
“Begini Kang Ali,” kata Kiai Bisri sambil membenarkan duduknya. “Kalau kita nulis dengan perasaan ikhlas, akhirnya setan-setan akan menganggu kita. Ya, jadinya kita enggak selesai-selesai menulis. Lha gimana? Diganggu setan.”
Kiai Ali memerhatikan dengan seksama.
“Nah, biar bisa selesai nulisnya, kita jangan ikhlas nulisnya. Diniatkan aja untuk cari uang, cari ketenaran, cari pengakuan. Jika kayak begitu, kita jadi seperti penjahit. Penjahit enggak bakal berpindah jahit kain lain sebelum kain yang sekarang selesai dijahit. Jadi sebelum selesai nulisnya, kita enggak akan berpindah ke mana-mana sebelum tulisannya selesai,” kata Kiai Bisri.
“Begitu tulisannya selesai, baru kita niatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, mengajar ke masyarakat, dan lain-lain,” jelas Kiai Bisri.
“Oalah, begitu caranya,” kata Kiai Ali.
“Kalau sejak awal sudah ikhlas nulisnya, diniatkan untuk dakwah, menyebarkan ilmu, memberi manfaat ke masyarakat banyak, waduh, minta ampun Kang Ali, pasti buanyak banget setan yang akan datang mengganggu. Apalagi ini Kiai Ali Maksum, sudah tentu semakin semangat setan mengganggunya.”
“Nah, untuk itulah kita harus memanfaatkan kedatangan setan itu. Begitu mereka tahu kita nulis pakai niat cari untung, ketenaran, dan macam-macam, maka justru semakin semangat kita. Setan juga akan datang tapi malah memberi tenaga tambahan. Ide-ide baru juga bisa keluar, tulisan jadi semakin kaya, semakin variatif,” kata Kiai Bisri.
“Jadi intinya, kita harus pandai-pandai menipu setan buat jadi bagian dari motivasi, ya?” balas Kiai Ali yang dibalas Kiai Bisri dengan anggukan sambil terkekeh.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khazanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS