tirto.id - Arif Komady ialah pengemis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Pada satu hari, ia terjaring razia oleh Dinas Sosial Kotawaringin Timur. Namun tak disangka, Arif bukan sosok pengemis pada umumnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia berkecukupan uang.
“Saat razia Sabtu sore kemarin, ada pengemis yang setelah diperiksa ternyata memiliki mobil sedan, kartu ATM dan kartu kredit,” kata Kepala Dina Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bima Ekawardhana seperti dikutip Antara.
Pengemis berkantong tebal itu mengaku menggunakan mobil untuk mengemis di berbagai kota seperti di Kapuas, Palangkaraya, Kasongan, dan Sampit. Ia berasal dari Banjarmasin bersama istri dan anaknya untuk mengemis. Cacat fisik yang ia derita menjadi modal baginya untuk mencari banyak uang berlimpah.
Temuan kasus pengemis berpura-pura sudah jadi rahasia umum dan bukan kali pertama di Indonesia. Beberapa kasus, ada yang berpura-pura melipat dan mengikat kakinya lalu ditutupi kain seakan-akan berkaki buntung. Ini semua dilakukan untuk mendapatkan uang.
Ada juga seorang polisi gadungan berinisial LF yang April lalu ditangkap Polsek Cikarang Barat. Ia memakai seragam polisi dengan pistol mainan untuk mengelabui korban. Dalam aksinya, ia sempat meminta telepon genggam korban, lantas dijual melalui media sosial, untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kejadian mencari uang dengan menghalalkan segala cara dengan tipu-tipu tak hanya di Indonesia.
Isabel Parker dari Philadelphia, nenek berusia 72 tahun, memiliki trik khusus untuk mendapatkan uang ratusan ribu dolar AS. Ia sengaja terjatuh di sebuah toserba dan menuntut toko tersebut karena teledor membiarkan lantai dalam kondisi licin. Cara Isabel ini sudah ia lakukan 49 kali. Ia berhasil meraup 500.000 dolar AS dari trik tersebut.
Ada juga Gerald Hardin, yang sengaja memotong tangan temannya untuk mengklaim asuransi dan menerima uang 600.000 dolar AS.
Yang tak kalah menarik adalah cara Clayton dan Molly Daniels. Mereka mencuri mayat lalu dikenakan pakaian milik Clayton kemudian ditaruh di sebuah mobil dan mobil itu dibakar. Ini dilakukan agar memberi 'bukti' bahwa Clayton tewas terbakar dan saat bersamaan ia pun menghilang. Molly mendapatkan klaim asuransi 110.000 dolar AS. Clayton hadir kembali dengan sosok sebagai pacar baru nama Jake Gregg. Sayangnya, usaha itu belakangan ketahuan sehingga mereka dijebloskan ke penjara.
Cerita nekat lain adalah Marc Thompson. Gara-gara tak kuat menanggung biaya hidup, lalu terlilit utang, Thompson membakar rumahnya sendiri demi klaim asuransi. Ia menuntun ibunya, berusia 90 tahun, ke ruangan bawah tanah lalu membakar ruangan bawah tanah itu agar terlihat ibunya telah melakukan bunuh diri. Thompson mendapat klaim asuransi 730.000 dolar AS. Tindakan jahat ini lantas terbongkar dan ia dihukum penjara 190 tahun.
Tindakan nonmanusiawi lain guna mendapatkan uang terjadi di India. Bahkan kini menjadi tren. Modusnya, orang-orang dari keluarga miskin di perdesaan India mengirim kerabat berusia lanjut ke tempat Pusat Konservasi Harimau Pilibhit untuk dibiarkan dimangsa harimau. Setelah itu, pihak keluarga membawa mayat kerabat ke ladang terdekat dan meminta dana kompensasi kepada pemerintah, seakan-akan kerabat mereka adalah korban yang diserang harimau.
Pemerintah India memiliki regulasi yang mengatur soal jaminan bagi mereka yang diserang harimau di luar pusat konservasi dengan memberikan dana kompensasi kepada keluarga korban. Ini karena harimau di pusat konservasi Pilibhit diizinkan bergerak bebas.
Namun, jika diserang dan tewas dalam pusat konservasi, tak ada kompensasi bagi keluarganya. Oleh sebab itu, orang-orang ini menyiasatinya dengan membuang mayat kerabat di ladang dekat pusat konservasi. Sejak Februari lalu, laporan soal serangan harimau mencapai tujuh kasus.
“Mereka berpikir, karena mereka tidak mendapat sumber daya dari hutan, inilah satu-satunya cara keluarga mereka untuk keluar dari kemiskinan,” ujar Jarnail Singh, petani setempat, seperti dikutip India Today.
Kemiskinan dan kebutuhan duit memang mendorong sebagian orang melakukan hal konyol, gila, dan mengerikan.
Ilmuwan sosial dan pejabat publik telah lama mengidentifikasi kemiskinan sebagai akar penyebab kejahatan atau setidaknya sebagai faktor pendorong. Kaisar Romawi Marcus Aurelius (121-180 M) pernah menyatakan “kemiskinan adalah induk dari kejahatan.”
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra