tirto.id - Pada 1979, Xerox Palo Alto Research Center mengembangkan konsep graphical user interface (GUI) atau user interface (UI). GUI adalah tampilan layar dengan berbagai ikon untuk merepresentasikan perintah pada komputer yang dibuat untuk memudahkan penggunaan perangkat.
Steve Jobs, pendiri Apple Computer kala itu kepincut dengan riset Xerox. Melalui opsi memperdagangkan saham senilai $1 juta, Jobs diberi kesempatan Xerox melihat-lihat hasil riset mereka. Pada 1983, alias hampir empat tahun berselang, lahirlah Lisa, komputer Apple berkonsep GUI pertama.
Sebelum komputer Apple Lisa alias “Locally Integrated Software Architecture” lahir, dunia komputer merupakan dunia para “geek.” Pengguna komputer, ialah mereka yang paham dan hafal perintah berbasis teks yang sukar diingat masyarakat awam. Misalnya melakukan copy-paste di komputer berbasis Linux. Alih-alih klik kanan dan tekan “copy,” sebelum era GUI tindakan itu mesti dilakukan dengan mengetikkan perintah: “cat ./myfile.txt | xclip -i,” setelah sebelumnya memasang fungsi copy-paste di Linux dengan perintah: “sudo apt-get install xclip.”
Selain komputer, GUI pun diterapkan di dunia smartphone. Misalnya dalam penciptaan aplikasi. Kaylan Smith, seorang web developer, dalam tulisannya di The Next Web mengatakan secara tersirat bahwa merancang GUI bagi smartphone bukanlah perkara mudah. Umumnya, orang berpikir GUI yang baik ialah yang cantik nan indah. Namun, GUI yang baik sebetulnya ialah yang tidak "mengalihkan perhatian pada fitur utama" dan mengarahkan pengguna menggunakan aplikasi dengan maksimal. Ia juga dapat “membimbing secara intuitif pada fitur utama aplikasi.”
Menurut Smith, untuk menciptakan GUI yang baik bagi aplikasi smartphone ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, yakni balance, emphasis, dan movement. Balance berarti desain aplikasi mesti memperhatikan masalah simetris, asimetris, atau radial, untuk menguatkan bentuk aplikasi yang ingin dibuat.
Emphasis ialah memberikan ruang/tempat utama/terbesar desain aplikasi pada fitur utama. Misalnya pada aplikasi ride-sharing. Kolom penjemputan dan tujuan mesti menonjol dibandingkan fungsi lain. Terakhir adalah movement:proses pergeseran antara laman di aplikasi mesti dibuat mulus/lancar.
Alon Even, Wakil DirekturAppsee Mobile Analytics, dalam tulisannya di The Next Web, mengungkapkan bahwa selain tips dari Smith, ada beberapa hal lain yang musti diperhatikan dalam pengembangan GUI aplikasi. Misalnya pemilihan warna dan aspek kesederhanaan.
Pemilihan warna, bagi Even, berhubungan dengan psikologi. Warna “memberikan perasaan pada orang yang melihatnya. Beberapa warna dapat memengaruhi tindakan orang.” Warna hijau merupakan warna yang memiliki tingkat konversi pada tindakan terbesar. Warna ini, sangat baik digunakan pada tombol call-to-action pada suatu aplikasi. Misalnya tombol “Order Go-Ride” pada aplikasi Go-Jek.
Aspek kesederhanaan dalam merancang GUI aplikasi dilakukan untuk “meminimalkan tingkat kesukaran pengguna menggunakan suatu aplikasi.” Even mencontohkan aplikasi Walmart, aplikasi belanja online. Di aplikasi itu, pengguna yang berbelanja dimungkinkan untuk tidak melakukan registrasi. Ini bertujuan untuk memudahkan mereka berbelanja, tanpa repot memasukkan informasi untuk proses registrasi.
Kasus Grab
Rudi Lim, Head of Product Design Grab di kantor Grab Indonesia, secara tersirat menyatakan bahwa menciptakan desain bagi aplikasi Grab punya kesulitan tersendiri. Misalnya dalam aspek penggunaan mitra GrabCar dan GrabBike.
“Mereka, mitra Grab di mobil menempatkan smartphone di sini, di depan dashboard. Jika order masuk, gampang. Tinggal pencet 'accept job'. Tapi, pikirkan pengemudi GrabBike. Kedua tangan mereka memegang stang motor. Smartphone disimpan di saku. Saat order masuk dan kebetulan pengemudi ini sedang mengendarai motor, sulit mengetahui order masuk. Smartphone mereka tidak ada di depan,” kata Lim menjelaskan.
Karena masalah ini, Grab mesti merancang UI sederhana yang mudah digunakan pengemudi, khususnya GrabBike.
Salah satu solusi yang dihadirkan Grab ialah merilis GrabNow, suatu fitur yang memungkinkan pengguna Grab memperoleh tumpangan hanya dengan mendatangi driver terdekat dan melakukan sinkronisasi bersama. Namun, Lim pun mengatakan GrabNow bukanlah produk sehari jadi.
GrabNow bekerja dengan mendekatkan dua smartphone, pengguna Grab dan mitra Grab, dalam hal ini GrabBike. Awalnya, Grab menggunakan QR Code. Pengguna/mitra, melakukan pemindaian (scanning) untuk terhubung/tersinkronisasi antara permintaan diantarkan ke suatu tujuan dan penerimaan order. Namun Lim mengatakan ada banyak masalah, khususnya pada smartphone mitra.
“Bagaimana dengan sinar matahari yang mengganggu layar? Dan bagaimana dengan kamera yang berkualitas buruk?” Pemindaian QR Code sukar dilakukan. Maka, untuk memecahkan masalah ini Grab menawarkan kode 6 digit. Alih-alih melakukan scan, pengguna Grab tinggal memasukkan 6 digit kode yang tertera di layar mitra untuk tersinkronisasi.
Selain GrabNow, Lim pun memaparkan bahwa kini Grab punya desain UI baru. Desain baru dibuat karena pengguna Grab “memiliki masalah dengan multiple type.” UI baru ini meminimalisir tampilan Grab untuk fokus pada fitur utama mereka.
Di halaman pemesanan Grab yang baru, pengguna hanya dihadapkan dua kolom: alamat penjemputan dan alamat tujuan. Pada aplikasi Grab yang lawas, ada cukup banyak kolom: alamat penjemputan, alamat tujuan, pilihan personal/bisnis, kolom kode promo, catatan bagi driver, dan tombol “book.”
Padahal, kolom yang banyak itu tak selamanya berguna. Dalam pemaparan Lim, hanya 2,61 persen pengguna yang mengisi kolom personal/bisnis. Hanya ada 9,91 persen pengguna yang menuliskan pesan ke driver di kolom “notes to driver.” Ini artinya, menurut Lim, banyak pemborosan di aplikasi Grab lawas. Secara umum, pengguna hanya mengisi tiga kolom.
Menciptakan UI bagi aplikasi bukan perkara mudah. Terkadang, banyak developer yang menambahkan ornamen yang tidak penting untuk desain aplikasi. Jony Ive, bos desain Apple, sebagaimana diberitakan Gizmodo, menyebutkan ada banyak aplikasi yang desainnya dibuat dengan menambahkan elemen skeuomorphism dan gimmickism. Skeuomorphism diartikan sebagai penambahan ornamen old-school pada desain aplikasi. Misalnya memberikan akses kertas nota jadul pada aplikasi dokumen. Ini, menurut Ive, buruk. Gimmickism sendiri diartikan sebagai penambahan ornamen tak penting pada desain.
Mendesain GUI yang bagus artinya yang fokus pada fungsi, bebas kekacauan, koheren, dan dirancang dengan jelas.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf