tirto.id - Pada 19 Februari 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan 32 daftar nama tambahan calon anggota legislatif yang merupakan mantan napi kasus korupsi. Sebelumnya ada 49 daftar nama caleg mantan napi korupsi yang telah diumumkan KPU pada 30 Januari 2018. Dengan demikian, total caleg mantan napi korupsi saat ini berjumlah 81 orang. Secara spesifik, 81 orang tersebut terdiri dari 23 caleg DPRD Provinsi, 49 caleg DPRD Kab/Kota, dan 9 caleg DPD.
Hanura Juaranya
Berdasarkan partai, Hanura merupakan partai penyumbang caleg mantan napi korupsi terbanyak, yakni 11 orang. Partai paling banyak kedua dan ketiga berturut-turut adalah Demokrat dan Golkar, masing-masing 10 calon.
Tirto juga mengkategorikan caleg DPRD Provinsi dan Kab/Kota berdasarkan daerah pemilihan calon. Dari kategorisasi tersebut, ditemukan bahwa di tingkat Provinsi, Maluku Utara memiliki jumlah caleg mantan napi korupsi paling banyak, yakni 6 calon. Di tingkat Kab/Kota, Kabupaten Belitung Timur memiliki caleg mantan korupsi dengan jumlah paling banyak, yaitu 3 calon.
Mantan napi koruptor juga mencalonkan diri di beberapa daerah lain, meski jumlahnya tidak banyak. Pemilih sebaiknya mengecek apabila daerahnya termasuk dalam daftar di bawah ini.
Caleg Mantan Napi Korupsi Berdasarkan Provinsi
Caleg Mantan Napi Korupsi Berdasarkan Kab/Kota
Kasus 2014
Perkara caleg koruptor sebenarnya bukan hal baru. Pada September 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 48 calon anggota legislatif 2014-2019 terpilih yang tersangkut perkara korupsi. Dari 48 nama calon, dua di antaranya merupakan mantan napi korupsi. Mereka adalah M. Taufik dan Sukardi.
M. Taufik merupakan politikus Gerindra yang juga Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta yang tersangkut kasus korupsi pengadaan alat peraga Pemilihan Umum 2004 senilai Rp 4,2 miliar. Dalam kasus itu, Taufik terbukti bersalah merugikan negara sebesar Rp 488 juta dan divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004.
Sementara itu, Sukardi adalah politikus PDIP dan juga anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Ia terlibat kasus dugaan korupsi dana purnatugas DPRD Gunung Kidul pada 1999-2004. Sukardi mendapat vonis satu tahun penjara (PDF) pada 2 Mei 2013.
Dari 48 caleg terpilih yang dirilis ICW, Tirto menelusuri kembali status hukum caleg berkasus tersebut dan menemukan 39 orang yang tetap dilantik sebagai anggota legislatif. Sebanyak 17 orang dilantik menjadi anggota DPRD Provinsi dan 22 orang tetap dilantik sebagai anggota DPRD Kab/Kota terlepas dari status hukum mereka. Hanya 9 orang yang tidak jadi dilantik sebagai anggota legislatif.
Berdasarkan partai, Demokrat dan Golkar menyumbang caleg DPRD tersangkut korupsi paling banyak, masing-masing sebanyak 12 dan 7 orang. Jika dibandingkan Pileg 2019, ada beberapa partai baru yang mendaftarkan caleg mantan napi koruptor.
Partai-partai tersebut adalah Partai Berkarya, PKPI, Perindo, dan Partai Garuda. Keempatnya merupakan pemain baru pada Pileg 2019. Sementara itu, dua partai lama seperti Partai Bulan-Bintang dan PKS juga mendaftarkan caleg berkasus pada Pileg 2019.
Pada 2014, 39 caleg yang tersangkut kasus korupsi tetap dilantik sembari menunggu kasus hukum mereka. Sebut saja HM Ridho Harahap, politikus Demokrat yang juga anggota DPRD Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara. Ia tersangkut kasus korupsi penyimpangan pembangunan kawasan pusat pemerintahan Kabupaten Padang Lawas dan divonis 4,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (PDF).
Caleg yang masih dalam status tersangka memang bisa melanjutkan pencalonan sebagai anggota DPRD, karena kasusnya belum memiliki status hukum tetap. Namun, jika pengadilan telah menjatuhkan vonis dan menyatakan bersalah, maka yang bersangkutan harus segera diberhentikan dari anggota DPRD.
Jika pada 2014 kita punya 39 caleg terpilih yang tengah menunggu status hukumnya, maka pada Pileg 2019 kita punya 72 caleg mantan napi korupsi.
Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pada September 2018. Akibat putusan tersebut, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg.
Isu Korupsi Tak Lagi Menjadi Prioritas Pemilih
Burhanuddin Muhtadi dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia menyampaikan temuan lembaganya pada acara Evening Lectures di Erasmus Huis Jakarta (19/02). Ia menyampaikan bahwa isu korupsi tidak lagi menjadi prioritas pemilih pada Pemilu 2019. Hanya 6,8% pemilih peduli pada isu korupsi, jauh di bawah isu ekonomi (24%), pengangguran (17,2%), kemiskinan (13,5%), pendapatan (8,6%), dan infrastruktur jalan (8,3%).
Padahal, survei yang juga dilakukan Indikator (PDF) pada 2014 menemukan bahwa pemberantasan korupsi menjadi isu pertama yang dipilih rakyat (33,8%). Penurunan yang signifikan ini mengkhawatirkan. Potensi mantan napi korupsi untuk terpilih pada musim pileg ini bisa jadi lebih tinggi ketimbang 2014.
Editor: Maulida Sri Handayani