tirto.id - Lonjakan kasus penyakit cacar monyet (monkeypox/clade) di dunia terus berlanjut. Hingga 24 Agustus 2022, terdapat lebih dari 45 ribu kasus yang tersebar di 98 negara, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).
Di Indonesia, informasi mengenai penyakit ini juga mendapat perhatian khusus dalam beberapa hari belakangan, menyusul kasus pertama yang ditemukan, Sabtu (20/8/2022). Seorang pria 27 tahun asal DKI Jakarta menjadi pasien pertama setelah melakukan perjalanan luar negeri pada 22 Juli 2022 - 8 Agustus 2022.
Penyebaran virus diikuti juga dengan sejumlah informasi yang beredar di media sosial. Banyak yang memberi fakta yang bermanfaat, tapi tidak sedikit juga yang bermuatan hoaks ataupun teori konspirasi.
Salah satunya yang menarik perhatian adalah klaim bahwa cacar monyet hanya menyebar di negara-negara yang mendistribusikan vaksin Pfizer-BioNTech. Informasi tersebut diunggah di Facebook oleh akun bernama Grove Grover, tepatnya di forum 'Woo the people Group' pada 26 Juli 2022 lalu.
"‘Cacar Monyet’ Hanya Beredar Di Negara-negara Tempat Vaksin Pfizer Telah Didistribusikan.
Ini digunakan untuk memajukan Technocratic Great Reset," bunyi judul dan pesan pembuka dari unggahan tersebut.
Dalam unggahan tersebut terdapat sejumlah poin untuk mendukung argumen ini. Poin pertama menyebut kalau cacar monyet beredar di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Brasil, Australia, dan sebagian besar Eropa pada waktu yang bersamaan.
Poin kedua menyebut kalau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menerima satupun laporan tentang kasus cacar monyet dari negara yang tidak menggunakan vaksin Pfizer.
Poin ketiga mengatakan kalau ada upaya menutupi kekacauan dengan menyuntikkan mRNA percobaan pada jutaan orang.
Sementara poin keempat menyatakan kalau cacar monyet adalah infeksi herpes akibat vaksin COVID-19. Infeksi ini bisa menyebabkan penyakit seperti herpes zoster, penyakit lepuh autoimun, ataupun penyakit lainnya. Hal ini terjadi karena vaksin COVID-19 disebut melemahkan sistem imun.
Terakhir, poin kelima menyebut kalau hal ini digunakan pihak berwenang untuk mendorong agenda teknokratis.
Dilampirkan juga dua buah gambar peta. Peta pertama berjudul 'Peta WHO Tentang Kasus Cacar Monyet yang Telah Dilaporkan Sejak Mei 2022'. Sementara peta kedua bertajuk 'Peta Distribusi Vaksin Pfizer Berdasar Negara'. Kedua peta dunia ditandai dengan warna untuk menandai negara-negara yang melaporkan cacar monyet dan menggunakan vaksin Pfizer.
Informasi mengenai cacar monyet adalah penyakit kulit kelamin akibat KIPI vaksin juga sempat beredar di Twitter, dalam unggahan akun @kala_ismyname pada 5 Agustus 2022.
"Monkey pox atau cacar monyet itu adalah propaganda guna nutupin KIPI vaksin karena Antibody Dependent Enhancement paksin M-Rna. Ini adalah penyakit kulit kelamin HIV AIDS disebabkan oleh vaksin cuma casingnya beda aja. Jangan mau ditipu. Kalo masih pureblood, you aman," begitu isi cuitan tersebut.
Beragam argumen ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah klaim cacar monyet hanya tersebar di negara yang mendistribusikan Vaksin Pfizer-BioNTech? Apakah benar cacar monyet adalah penyakit kelamin yang terjadi akibat vaksin COVID-19 melemahkan sistem imun?
Pemeriksaan Fakta
Pertama mengenai klaim cacar monyet hanya tersebar di negara yang mendistribusikan vaksin Pfizer. Tim Riset Tirto mencocokkan informasi persebaran vaksin Pfizer-BioNTech dengan laporan negara yang melaporkan kasus cacar monyet pada WHO.
Menurut situs Pfizer, hingga Juli 2022, sudah lebih dari 3,6 miliar vaksin COVID-19 Pfizer-BioNTech yang didistribusikan ke 180 negara di berbagai penjuru dunia. Disertakan peta interaktif yang menunjukkan negara-negara yang menerima vaksin tersebut beserta jumlahnya.
Sementara berdasarkan laporan perkembangan kasus cacar monyet WHO, tertanggal 27 Juni 2022, terdapat 3.413 kasus terkonfirmasi antara 1 Januari 2022 sampai 22 Juni 2022 di 50 negara. Terdapat juga gambar peta, mirip dengan yang ada di unggahan Facebook.
Membandingkan dua peta dari kedua situs ini saja, bisa terlihat ada negara seperti Venezuela yang tidak menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech, tetapi mencatatkan kasus cacar monyet. Rusia dan India juga tidak pernah menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech tapi baik Rusia maupun India, menukil Reuters, juga memiliki kasus cacar monyet di negara masing-masing.
Sementara itu ada juga negara-negara seperti Ukraina, Mongolia, dan Paraguay yang menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech namun sejauh ini belum melaporkan adanya kasus cacar monyet di negara mereka.
Hal ini juga sempat diklarifikasi dalam situs resmi penanganan COVID-19 pemerintah Indonesia. Lewat situs covid19.go.id, tanggal 16 Agustus 2022, klaim yang menghubungkan vaksin Pfizer dengan monkeypox ini disebut hoaks.
"Tidak ada bukti yang menghubungkan virus monkeypox atau cacar monyet dengan vaksin COVID-19. Pada 9 Agustus 2022, sebagian besar negara yang memberikan vaksin Pfizer-BioNTech belum mencatat adanya kasus cacar monyet.
"Sebaliknya, beberapa negara termasuk India, Rusia, dan Venezuela telah melaporkan kasus cacar monyet padahal vaksin Pfizer-BioNTech belum didistribusikan," menurut klarifikasi di situs tersebut.
Klaim berikutnya mengenai otoritas kesehatan berusaha menutupi kekacauan dengan menyuntikan jutaan orang dengan mRNA percobaan juga telah dibantah juru bicara WHO dalam pernyataannya pada AFP.
WHO juga menyatakan pada AFP bahwa peta WHO yang katanya menunjukkan penyebaran monkeypox di seluruh dunia juga telah direkayasa.
"Tulisan berwarna merah dan lingkaran [di peta] juga telah ditambahkan. Juga, judul dalam hurut tebal bukan milik kami," kata juru bicara WHO pada AFP.
Terakhir, argumen bahwa cacar monyet adalah penyakit kelamin yang disebabkan oleh pelemahan sistem imun oleh vaksin COVID-19, juga dibantah oleh ahli.
Profesor dari Australian National University Medical School Peter Collignon mengatakan, kalau cacar monyet sudah ada jauh sebelum vaksin COVID-19 ada.
"Cacar Monyet telah diketahui selama puluhan tahun, jauh sebelum vaksin COVID-19 dikembangkan," ujarnya dinukil dari AFP.
Lebih lanjut, menurut dia beberapa vaksin mRNA (seperti milik Pfizer-BioNTech) memang punya efek samping, tapi dampak serius pada kesehatan relatif jarang.
Menurut WHO, cacar monyet disebabkan oleh virus zoonosis, atau virus yang ditularkan hewan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh virus monkeypox yang termasuk dalam genus Orthopoxvirus dari keluarga Poxviridae.
Sementara herpes zoster adalah infeksi yang disebabkan oleh reaktivasi virus herpes varicella-zooster, yang juga menyebabkan cacar air. Disebutkan oleh badan pemeriksa fakta independen Full Fact, meskipun lesi cacar monyet dapat terlihat seperti cacar air, kedua penyakit ini berbeda.
Badan Pengatur Obat-obatan dan Produk Kesehatan (MHRA) di Inggris juga mengatakan pada Full Fact bahwa tidak ada bukti sampai saat ini bahwa vaksin COVID-19 menyebabkan monkeypox.
Sementara kaitan vaksin COVID-19 menyebabkan penyakit HIV/AIDS seperti isi postingan di Twitter, juga kurang tepat. Amesh Adalja, Senior Scholar di Johns Hopkins Center for Health Security mengatakan kalau tidak ada vaksin COVID-19 yang telah digunakan secara luas yang mengandung komponen HIV.
"Tidak ada vaksin yang tersedia untuk umum yang menghasilkan reaktivitas silang dengan tes HIV. Sehingga tidak ada dasar untuk berpikir bahwa vaksinasi COVID ataupun booster menghasilkan positif palsu HIV," ujarnya dikutip dari Reuters.
Kesimpulan
Berdasar pencocokan data distribusi vaksin dari Pfizer dan kasus cacar monyet yang terkonfirmasi dari WHO, dapat disimpulkan kalau monkeypox juga tersebar di negara yang tidak menggunakan vaksin Pfizer-BioNTech. Beberapa contohnya adalah Venezuela, India, dan Rusia.
Sementara klaim kalau cacar monyet adalah bentuk dari penyakit kelamin yang disebakan oleh COVID-19 yang melemahkan imun juga dapat terbantahkan. Badan MHRA Inggris telah mengklaim tidak ada hubungan sebab-akibat antara vaksinasi COVID-19 dan cacar monyet. Sama halnya dengan hubungan COVID-19 dengan HIV/AIDS yang juga telah ditolak ahli.
Informasi yang beredar di media sosial tersebut bisa dikategorikan salah dan menyesatkan (false & misleading)
Editor: Farida Susanty