Menuju konten utama
Savitri Wisnuwardhani

"Buruh Migran Bekerja karena Terpaksa, yang Dirugikan Anak"

Pemerintah Indonesia harus melindungi mereka, dimulai dengan payung hukum dan pendataan anak buruh migran.

Ilustrasi Savitri Wisnuwardhani. tirto.id/Nadya

tirto.id - Indonesia belum memiliki payung hukum bagi anak buruh migran. Padahal, mereka adalah pihak yang rentan karena tidak mendapatkan asuhan prima dan hak tumbuh kembangnya terabaikan. Oleh karena itu, 28 organisasi sipil yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran (JBM) berharap agar UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) No.18 Tahun 2017 punya aturan turunan yang melindungi anak-anak buruh migran.

Di sisi lain, JBM menekankan perlunya menyelipkan silabus khusus terkait anak buruh migran. Calon buruh migran perlu mendapatkannya sebelum mereka memutuskan untuk bekerja ke luar negeri atau luar daerah dalam kurun waktu lama.

“Jadi, mereka tidak hanya tahu manfaatnya saja, tapi juga akibat ketika mereka pergi ke luar negeri, terutama yang punya anak masih kecil,” tutur Savitri Wisnuwardhani, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM).

Berikut perbincangan lengkap antara Reporter Tirto, Dieqy Hasbi Widhana, dengan Savitri Wisnuwardhani pada 18 Juli 2018.

Apa saja hak dasar buruh migran, khususnya anak yang ditinggal bekerja?

Secara patron dulu ya. Kalau dari UU PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) 18/2017 disebutkan buruh migran dan anggota keluarganya. Salah satunya terkait anak buruh migran masuk perlindungan sosial di pasal 31. Tapi, masalahnya detail perlindungannya belum jelas. UU PPMI ini belum bisa berjalan optimal kalau belum ada peraturan turunannya. Sekarang peraturan turunannya sedang dibahas.

Soal apa saja peraturan turunannya?

Mandat dari UU PPMI itu kan ada 28 peraturan turunan. Tapi berdasarkan informasi akhir dari Kemenaker, akan diperingkas menjadi 14, itu salah satunya akan masuk sebelum, selama, dan setelah bekerja. Mungkin di situ perlindungan anak buruh migran akan dituangkan.

JBM berharap perlindungan anak buruh migran ini [mencakup] dua [hal]: perlindungan ketika anak buruh migran dibawa ke luar negeri seperti contohnya di Sabah Serawah dan [perlindungan] ketika mereka ditinggalkan di Indonesia.

Selama ini, perlindungan bagi keduanya masih belum jelas. Peraturan [UU Nomor] 39 (pdf) yang tidak bertentangan dengan UU PPMI tetap berlaku. Permasalahannya, UU PPMI yang menyangkut perlindungan anak ketika anak dibawa ke luar negeri atau ketika ditinggalkan itu masih belum jelas.

Apa permasalahan dari anak yang dibawa dan ditinggalkan?

Kalau yang di luar negeri, terutama anak buruh migran yang lahir di Sabah, Serawah, Malaysia: pendidikan di sana minim, [karena] rata-rata orangtuanya bekerja di perkebunan sawit. Terisolir tempatnya. Kalau orangtuanya tidak bekerja di daerah perkebunan, anak-anak itu [punya kemungkinan] dapat mengakses pendidikan yang diberikan KBRI.

Sebenarnya sudah ada upaya-upaya seperti PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar), baik yang diselenggarakan kelompok di situ maupun pemerintah, tapi masih terbatas. Pusat-pusat belajar itu tidak bisa menjangkau seluruh tempat di mana anak buruh migran itu ada.

Kemudian, [masalah] terkait kualitas pendidikan. Anak-anak [hanya] masuk ke sekolah, dapat sertifikat seperti naik kelas SD, SMP. Kualitasnya harus ditingkatkan. Tidak cukup [mereka] dapat stempel sertifikat lulus SD dengan kejar paket A. [Kualitas penting] agar mereka berprestasi, agar bisa sekolah yang lebih tinggi. Bisa juga [dilakukan] MoU dengan negara tujuan, terkait dengan anak buruh migran.

Apakah ada masalah kewarganegaraan juga?

Yang jadi masalah itu ketika bapaknya warga negara asing yang tidak bertanggung jawab terhadap anaknya. Memang sekarang [ada] program pemerintah, mereka bisa didaftarkan ke Dispendukcapil. Tetapi, ada beberapa kendala di beberapa daerah [yang] agak sulit untuk mengakses [program] itu.

Ada juga permasalahan lain. Ketika anak merupakan percampuran Indonesia dan warga negara lain, dan ayahnya tidak mau bertanggung jawab, kadang proses asimilasi dengan keluarga sulit. Kadang, keluarga di Indonesia menganggap [anak tersebut sebagai] "anak haram", kemudian tidak mau menampung. Sedangkan Dinsos punya kapasitas yang terbatas untuk menampung anak-anak ini dan juga ada durasinya.

Berarti tanggung jawab pemerintah tidak hanya masalah administrasi kewarganegaraan, tapi bagaimana agar anak ini juga diterima keluarganya?

Iya. Setidaknya bagi anak yang tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diterima oleh keluarga yang belum mau menerima anak ini. Dari Dinsos ditampung, itu sudah bagus. Tetapi alangkah baiknya tidak hanya berhenti di situ saja, tapi juga membantu proses agar anak ini diterima dan dipelihara oleh keluarganya. Ini agar perlindungan hak anak ini tercapai.

Bagaimana dengan anak buruh migran yang ditinggalkan, apa hak mereka yang harus dilindungi?

Biasanya pendidikan. Buruh migran bekerja ke luar negeri masih dalam konteks keterpaksaan, bukan pilihan. Alasan ekonomi, berantem dengan suami. Biasanya yang dirugikan anak.

Masalah yang timbul pada anak: kurangnya pengasuhan anak. Kalau ditinggalkan oleh ibunya lebih sulit daripada bapak. Kalau ditinggal ibunya, biasanya anak ini diasuh oleh nenek atau bapak. Kalau relasi antara ibu dengan bapak itu tidak baik, kadang suami buruh migran ini "main" dengan perempuan lain hingga tidak mempedulikan keluarga. Akhirnya, anak ini dititipkan ke keluarga besarnya baik nenek atau kakeknya.

Akhirnya anak itu tidak penuh kasih sayangnya. Meskipun dia bisa sekolah, ada yang hilang yaitu kasih sayang, perhatian. Kalau tidak ada pembimbingan yang benar, mentalitas anak ini tidak menjadi pribadi yang utuh.

Apakah permasalahan juga muncul akibat pengasuhan dari nenek yang sudah dalam usia tidak produktif?

Iya. Orang sudah tua, apalagi kurikulum sekolah kita semakin lama semakin sulit. Saya percaya semua anak itu dasarnya cerdas. Tapi [itu juga tergantung] bagaimana pola asuh kita pada anak. Masa golden years anak, usia 1 sampai 5 tahun, menentukan nantinya anak akan berkembang pesat atau tidak. Nah, di masa itu orangtua harus memastikan pendidikannya maksimal, tidak hanya dengan dia PAUD atau TK, tapi pendidikan informal yang diberikan keluarganya.

Kalau alternatif pola pengasuhan anak buruh migran itu apa saja kira-kira?

Alternatif pola asuh itu kan dalam usia 1-5 tahun, termasuk konstruksi kepribadian. Banyak buruh migran yang meninggalkan anaknya ketika usia segitu. Bahkan sebelum satu tahun, ketika anak itu butuh ASI tapi orangtuanya ke luar negeri.

[Yang dibutuhkan] tidak hanya pendidikan formal, tapi pendidikan untuk tunjukkan bahwa dia itu punya jiwa kepemimpinan, berani, banyak bertanya, kritis. Tidak bisa dididik hanya oleh guru. Orangtua yang mengajari bagaimana dia harusnya berelasi dengan orang yang lebih tua, menghargai temannya yang berbeda agama atau fungsi tubuh teman yang disabilitas, berani berbicara, terampil. Waktu guru kan terbatas dan muridnya banyak.

Kalau terkait pola perlindungan anak buruh migran terhadap kekerasan, bagaimana? Anak yang ditinggalkan itu kan dititipkan ke keluarga terdekat dan minim pengawasan. Padahal, justru wilayah paling rawan adalah kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat.

Oleh karenanya, orangtua perlu dikasih pendidikan buruh migran sebelum bekerja ke luar negeri. [Mereka] harus tahu dan paham apa akibatnya mereka pergi ke luar negeri. Jadi, mereka tidak hanya tahu manfaatnya saja, tapi juga akibat ketika mereka pergi ke luar negeri, terutama yang punya anak masih kecil.

Sebelum buruh migran pergi, pemerintah sudah mengajari Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP). Cuma, memang PAP itu kurang lengkap. Kalau sekarang buruh migran sebelum berangkat juga melalui Balai Latihan Kerja swasta. Harusnya punya pemerintah semua BLK. Nanti dalam BLK pemerintah ini kalau sudah ada UU PPMI, tidak hanya diatur mengenai skill untuk [buruh migran] dapat bekerja, tapi mereka juga harus dikasih tahu akibat yang ditimbulkan.

Kita juga tidak bisa melarang orang pergi ke luar negeri, tapi kita bisa berikan edukasi. Dalam edukasi ini orangtua disadarkan ketika anaknya masih kecil, tumbuh kembang anak tidak maksimal. Mereka bisa menimbang-nimbang mungkin tidak ke luar negeri dulu, tanpa dicegah.

Kalau pendidikan bagi keluarga yang dititipkan maupun lingkungannya bagaimana?

Setahu saya Kemenaker punya desk imigrasi, itu ada parental community ada pendidikan buat keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya ke luar negeri. Itu ide bagus, tinggal ditingkatkan agar program ini tepat sasaran dan bisa menjangkau sebanyak mungkin. Programnya harus diawasi biar tidak bergeser ke mana-mana, [sebab] saya dengar itu bergeser ke bentuk pengajian saja.

[Pendamping Desa Migran Produktif seharusnya mendidik] komunitas di suatu desa menciptakan suatu pola asuh untuk anak-anak buruh migran. Pemerintah harus riset dulu apa yang dibutuhkan agar sasaran programnya tetap. [Itu ditujukan] supaya masyarakat membentuk komunitas untuk melindungi anak. Misalnya, kalau ada anak yang mendapat kekerasan, komunitasnya bisa bergerak, Pak RT bisa bergerak, ibu-ibu PKK bergerak, entah dikasih teguran keluarganya atau dilaporkan ke polisi.

Tapi kami belum tahu evaluasi program terkait Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) itu. Kami belum dapat laporan program dari Kemenaker terkait Parenting Community. Apa kendala, tantangan, apa yang sudah dilakukan, progresnya.

Ada beragam masalah anak yang ditinggalkan, mulai dari pendiam, frustrasi, anak yang diejek anak onta [bagi yang berayah orang Asia Barat]. Bagaimana menguatkan mental anak ini untuk menghadapi bullying atau diskriminasi dari teman sebaya dan lingkungan sosialnya?

Ini sebenarnya peran pemerintah, ya. Kalau di Amerika Serikat, meskipun itu anak sah yang mendapat kekerasan atau treatment yang tidak baik, ia kemudian menjadi anak negara. Negara yang punya hak untuk cek anak ini apakah sudah dapat treatment yang baik dari keluarganya, keluarganya ditegur dan dimonitor. Kalau di Indonesia, belum ada program ini.

Yang bisa dilakukan [adalah memastikan] tugas pengurusan buruh migran tidak hanya Kemenaker saja, tapi juga Kemendikbud. Kurikulum di sekolah bukan hanya kurikulum untuk anak, tapi juga untuk gurunya [yang harus] masuk ke dampak dan perlindungan bagi buruh migran yang bekerja ke luar negeri. Hal itu bisa difokuskan di kantong-kantong yang banyak buruh migran.

Jadi, ketika [guru] tahu anak buruh migran ditinggal dan mendapat diskriminasi, ada treatment dari guru ke anak itu. Guru harus dilatih untuk menghadapi anak buruh migran yang cenderung berbeda karena mereka ditinggalkan orang tuanya.

Bagaimana program perlindungan anak buruh migran dari pemerintah sejauh ini, apa sudah ada progres ataukah tidak berdampak?

Sepertinya masih dalam progres. Program Pendamping Desa Migran Produktif (Desmigratif) baru dua atau tiga tahun. Kami tidak tahu hasilnya apa, laporan ke publik belum ada. Dalam PP 4/2015, pengawasan tenaga kerja tidak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri. Laporan pengawasan seharusnya masuk dalam situ. Pemerintah harus segera membuka laporan perlindungan anak buruh migran.

Sudah ada beberapa kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana sudah dibentuk misalnya PKBM. Ada program parenting community. Secara kualitas, masih belum bisa diukur karena report-nya tidak ada. Yang kami tahu, ada program parenting community yang tidak menjadi parenting community.

Kalau dilihat dari skor 1 sampai 10, [program pemerintah dalam melindungi anak buruh migran] ini sudah ada perbaikan, tapi berjalannya masih lambat.

Baca juga artikel terkait HARI ANAK NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Maulida Sri Handayani