tirto.id - Bank Indonesia telah membeli Surat Berharga Negara (SBN) langsung di pasar perdana senilai Rp99,08 triliun naik dari Juli 2020 yang mencapai Rp82,1 triliun.
Angka itu merupakan realisasi pembelian SBN sesuai skema berbagai beban atau burden sharing dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur BI dan Menteri Keuangan, Selasa (7/7/2020).
“Dengan pendanaan BI dan pembagian beban ini, pemerintah dapat fokus pada upaya akselerasi realisasi APBN untuk dorong pemulihan ekonomi nasional,” ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (17/9/2020).
Adapun realisasi yang disebut Perry merupakan pembelian SBN secara langsung tanpa melalui lelang. Dalam pembelian ini, BI juga menanggung bunga atau imbal hasil yang seharusnya dibayarkan oleh pemerintah. Dalam bahasa pasar, mekanisme ini disebut juga monetisasi utang.
Untuk pembiayaan ini, pemerintah dan BI sepakat penggunaannya hanya untuk public goods atau belanja untuk kebutuhan masyarakat. Nilainya mencapai Rp397 triliun dari total anggaran PEN Rp695,2 triliun.
Rinciannya adalah belanja bidang kesehatan Rp87,55 triliun, belanja perlindungan sosial Rp203,9 triliun, dan belanja padat karya bagi sektoral dan pemda senilai Rp106,11 triliun.
Di samping itu, Perry juga memaparkan pembelian SBN lain yang turut membiayai anggaran PEN dengan menanggung sebagian beban bunganya dengan ketentuan suku bunga acuan dikurangi 1 persen merupakan bagian BI. Sisa imbal hasilnya tetap harus dikembalikan oleh pemerintah.
Untuk skema ini, BI telah membeli SBN sebanyak Rp44,38 triliun. SBN ini ditujukan bagi pembiayaan PEN non-public goods dan dalam hal ini insentif bagi UMKM.
Selain kedua skema itu, BI juga tetap membeli SBN menggunakan skema SKB nomor 1 tahun 2020 yang diterbitkan 16 April 2020. Melalui SKB ini, BI dapat membeli SBN dengan catatan pasar tidak berhasil menyerap seluruh penerbitan SBN pemerintah.
“Tadi kami sampaikan sampai 15 September 2020 untuk SKB pertama realisasinya Rp48,03 triliun,” ucap Perry.
Adapun skema burden sharing ini memberi sentimen negatif pada pelaku pasar. Ekonom Trimegah Fakhrul Fulfian mengatakan skema ini masih menimbulkan kekhawatiran bagi investor untuk masuk pasar keuangan Indonesia.
“Pasar tunggu pemerintah dan BI. Harus memberi langkah nyata bagaimana kita bisa keluar dari mekanisme burden sharing. Jangan sampai terus-terusan,” ucap Fakhrul, dihubungi Rabu (15/9/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Zakki Amali