tirto.id - Setelah Abu Wardah Asy Ayarqi alias Santoso mati pada 2016, kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kabarnya tinggal punya tiga pucuk senjata api. Jumlah anak buahnya dikabarkan hanya 18.
Meski demikian, kelompok ini tak habis. Malah mereka tetap beringas. Ahad (30/12/2018), Ronal Batau alias Anang (34), penambang emas tradisional di Desa Salubanga, Sausu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, ditemukan tak bernyawa dengan kepala dan tubuh terpisah. Polisi mengatakan itu ulah MIT.
Dua polisi dari Polres Parigi Mountong juga ditembak, Senin pagi, oleh kelompok yang sama, ketika mengevakuasi jenazah Ronal.
Kelompok ini kini dipimpin Ali Kalora. Ali Kalora memimpin MIT setelah Santoso tewas dan Basri alias Bagong ditangkap polisi 14 September 2016.
Dikutip dari buku Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia (2017) karya Prayitno Ramelan, Ali Kalora sudah mengikuti Santoso menebar terorsejak 2011. Ali Kalora dan kawan-kawan juga beberapa kali meneror polisi, termasuk peristiwa penembakan pos polisi di Palu, Sulawesi Tengah, pada pertengahan 2011.
Lantas, apakah kasus mutilasi sipil dan penyerangan aparat mengindikasikan kekuatan MIT bertambah?
Pertanyaan ini dijawab Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) sekaligus pengamat terorisme dan intelijen Harits Abu Ulya. Ia menjawab tegas: “tidak.” Mutilasi dan penyerangan anggota Polri tidak menunjukkan kebangkitan MIT.
“Kasus terbaru hanya menunjukkan bahwa kelompok Ali Kalora masih gerilya di hutan dan gunung,” kata Harits ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (2/12/2019). MIT selama ini bergerilya di sekitar pegunungan Poso (Parigi).
Taktik di Tengah Keterbatasan
MIT sulit berkembang, misalnya, karena mereka hampir mustahil mendapat senjata dan amunisi baru, kata Harits. Soalnya, pengawasan aparat sangat ketat dan mereka pun banyak kehilangan orang yang bisa jadi penghubung dengan sumber senjata api. Masalah keuangan pun menerpa MIT. Tanpa uang, gerak mereka jadi amat terbatas.
Harits menuturkan senjata dan amunisi yang dimiliki MIT saat ini adalah sisa dari kelompok Santoso. Kelompok Santoso dapat senjata dari Fipilina. Kelompok ini kebanyakan memakai senjata serbu M-16. Ini sudah sesuai karakter separatis di Filipina Selatan yang akrab memakai M-16.
“Kalau ada [senjata dan amunisi] yang baru, biasanya berasal dari rampasan saat mereka mengeksekusi aparat,” jelas Harits.
Kenapa kelompok ini masih bisa melawan dengan sumber daya yang amat minim? Bagi Harits, itu karena mereka menerapkan taktik hit and run—seperti ketika mereka menyerang aparat yang mengevakuasi jenazah.
“Tidak mungkin Ali Kalora cs menyerang dalam durasi yang panjang, maka yang menjadi pilihan cukup hit and run (serang dan kabur),” tambah Harits. Selain itu, mereka masih bisa bertahan karena menguasai medan pegunungan serta mungkin didukung masyarakat sipil.
“Eksistensi mereka juga sangat bergantung kepada suplai logistik yang mereka butuhkan dari simpatisan atau jejaring mereka yang bawah [masyarakat].”
Sejalan dengan Keterangan Polisi
Analisis Harits sejalan dengan pernyataan Karopenmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo. Katanya, jumlah anggota MIT saat ini sudah kurang dari selusin.
“Sekitar 10 orang. Kami sudah identifikasi,” kata dia di kantornya, Rabu (2/1/2019) siang.
Identifikasi lain berkaitan dengan jumlah senjata. Dedi mengatakan saat ini mereka hanya punya dua senjata laras panjang, satu senjata laras pendek rakitan, serta senjata tajam.
Dedi juga menyinggung mengenai pola hit and run. “Kalau berani [menyerang terbuka] berarti dia masuk killing ground. Maka gerakan mereka hit and run.” ucap dia.
Dedi memastikan Satgas Tinombala—yang berisi gabungan anggota TNI dan Polri—mampu menangkap kelompok tersebut. Selain fokus mencari di daerah Poso, wilayah Parigi Moutong juga termasuk area pencarian. Ia juga memastikan meski ada operasi, lingkungan tetap aman terkendali.
“Secara umum, situasi masih kondusif, dalam pengendalian aparat. Masyarakat dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari,” tutur Dedi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino