Menuju konten utama

Bumi Kian Panas, Menambah Anak Bukanlah Ide Bijak

Bisakah Anda membayangkan bencana lingkungan terjadi 20 tahun dari sekarang, saat bumi benar-benar menjadi tempat yang tidak layak dihuni? Bisakah Anda membayangkan anak Anda hidup di dunia yang katastrofik? Jika tidak, lupakan rencana Anda punya anak. Atau menambah momongan.

Bumi Kian Panas, Menambah Anak Bukanlah Ide Bijak
Dapatkah Anda bayangkan anak Anda yang menggemaskan harus menghadapi kerusakan bumi yang tak tertanggungkan? [Foto/Shutterstock]

tirto.id - “Demi anak dan cucu kita.”

Anda tentu kerap mendengar anjuran untuk melakukan ini dan itu, terutama anjuran menjaga lingkungan, dengan alasan demi anak-cucu atau generasi yang akan datang. Tapi, Travis Rieder mengatakan hal yang sama sekali lain.

“Mungkin kita harus melindungi anak-anak kita dengan cara tak mempunyai anak.”

Dalam laporan npr.org, dikisahkan saat profesor etika—khususnya bioetika—ini berbicara di hadapan beberapa puluh mahasiswa Madison University. Rieder mencoba meyakinkan mahasiswanya agar tak perlu punya anak. Atau jika sungguh ingin, tak usah banyak-banyak.

Sebagai etikawan, ia mempertanyakan tekanan masyarakat yang menganggap bahwa punya anak adalah kebaikan. Orang-orang yang sudah uzur pun kerap bertanya pada anak-anaknya, kapankah mereka diberi cucu.

Padahal menurutnya, nilai-nilai itu perlu dipertanyakan, terkait prospek bencana iklim.

Rieder bertanya, berapa kira-kira umur mereka pada 2036. Jika berencana punya anak, kira-kira berapa umur mereka pada 2036.

Lalu, ia berkata: “Perubahan iklim yang berbahaya akan terjadi pada tahun itu. Segera, sangat segera.”

Ucapan Rieder bukanlah isapan jempol. Memang ada studi yang menyebutkan bahwa bumi kian panas dan makin terpuruk pada 2036.

Selama ini, memang dilakukan upaya agar bumi tidak terus memanas. Tapi upaya-upaya itu hanya melambatkan, tak akan bisa menghentikan pemanasan sepenuhnya. Jika media menyebut pemanasan global mengalami “jeda”, itu sama sekali tak benar. Yang terjadi adalah: suhu masih naik, tapi tak secepat sebelumnya. Seperti ada jeda, tapi lebih tepat disebut “jeda palsu.”

Scientificamerican.com pada April 2014 mengeluarkan laporan yang menyatakan pada tahun itu, suhu akan meningkat sebanyak 2 derajat Celcius pada 2036, melampaui batas yang bisa ditanggung manusia.

Michael E. Mann, penulis artikel di Scientific American itu, lantas memeriksa asumsi-asumsi yang ada soal pemanasan global ini. Ia berpendapat: Jika dunia masih membakar bahan bakar fosil pada angka seperti sekarang ini, suhu akan melewati ambang batas kekacauan lingkungan pada 2036. “Jeda palsu” bisa memperlambat waktunya beberapa tahun bagi planet ini, tapi hanya sedikit saja. [Anda bisa mendapatkan proyeksi peningkatan suhu di sini]

Berdasar tulisan Mann, kita perlu tahu bagaimana suku akan merespons peningkatan efek rumah kaca yang sedang terjadi, terutama yang disebabkan oleh karbondioksida. Ilmuwan menyebut responsivitas ini equilibrium climate sensitivity (ECS). ECS adalah ukuran umum dari efek pemanasan dari gas rumah kaca. Ia bisa memperkirkan pemanasan di permukaan bumi jika konsentrasi CO2 melipat dan iklim kemudian mencapai kestabilan/kesetimbangan.

Di masa pra-industrial, konsentrasi CO2 di permukaan bumi hanya sekitar 280 ppm, sehingga saat melipat berarti 560 ppm. Angka itu kemungkinan bisa dicapai pada akhir abad ini jika kita masih terus membakar bahan bakar fosil seperti sekarang. Jika atmosfer makin sensitif terhadap peningkatan CO2, maka angka ECS makin tinggi, dan akan lebih cepat suhu bumi meningkat.

Karena pemanasan tak hanya dipengaruhi satu faktor—misalnya awan, es, dan faktor-faktor lain—sulit menentukan angka pasti ECS. Awan sangat berpengaruh karena ia punya efek mendinginkan dengan menghalangi cahaya matahari, tapi juga punya efek menghangatkan dengan menyerap energi panas dari bumi. Es, dalam hal ini kecepatan es mencair, tentu berpengaruh juga.

Tapi Mann mengupayakan pengukuran hipotetikal yang bisa memperkirakan kapan kita ada dalam posisi bahaya. Ia memasukkan beberapa angka ECS ke dalam model keseimbangan energi, lalu ia menemukan angka-angka berikut ini.

Kita akan ada dalam bahaya 20 tahun dari sekarang, jika ECS-nya ada pada 3 derajat Celcius. Lalu ia menurunkan angka ECS pada 2,5 derajat Celcius, maka kita akan ada dalam bahaya di tahun 2046. Artinya, menurunkan angka ECS sebanyak setengah derajat hanya akan memperlambat kehancuran bumi selama 10 tahun.

Bagaimana caranya agar kita tak mengalami bahaya pada 2036—atau bahkan 2046?

Kita harus menjaga agar angka ECS ada di bawah 2 derajat Celcius, caranya dengan menjaga konsentrasi CO2 jauh di bawah angka ganda CO2 masa pra-industrial, mendekati 450 ppm. Selama ini, cara mengurangi konsentrasi CO2 adalah dengan mengurangi penggunaan batubara. Di sini ternyata ada masalah juga. Mengurangi pembakaran CO2 memang mengurangi emisi CO2, tapi juga mengurangi aerosol pada atmosfer yang berfungsi menghalangi matahari. Jadi, angka CO2 yang aman adalah 405 ppm.

Bisa? Bisa saja. Pada 2013, konsentrasi CO2 sempat mencatat rekor terendah yang tercatat, yakni 400 ppm. Supaya CO2 tak mencapai 405 ppm, kita benar-benar harus meninggalkan bahan bakar fosil. Jika mau lebih aman lagi, kita harus kembali ke pertengahan 1900an, saat konsentrasi CO2 hanya 350 ppm.

Bagaimana jika kita terus menggunakan bahan bakar minyak dan saudara-saudaranya? Tidak masalah, tapi kita harus kembali ke pertanyaan etis Profesor Rieder. Jika cara hidup manusia secara global begini-begini saja, dan kita tahu akibatnya akan sangat buruk pada tahun 2036, maka omongan “demi anak-cucu kita” tak lagi relevan.

Kita harus benar-benar mempertimbangkan omongan Rieder: lindungilah anak-cucu kita dari kerusakan bumi yang parah dengan tidak mempunyainya. Setidaknya tak usah banyak-banyak.

Baca juga artikel terkait LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti