Menuju konten utama

BPS: Masyarakat Makin Maklumi Korupsi

Survei perilaku antikorupsi Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menunjukkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) meningkat, namun indeks pengalaman praktik antikorupsi justru menurun. Artinya, masyarakat semakin idealis membenci korupsi tapi dalam praktiknya masih minim alias memaklumi tindakan korupsi.

BPS: Masyarakat Makin Maklumi Korupsi
sejumlah wanita yang tergabung dalam saya perempuan anti korupsi (spak) membagi stiker di jembatan penyeberangan orang (jpo), jalan kapten muslihat, kota bogor, jawa barat. antarafoto/yulius satria wijaya

tirto.id - Survei perilaku antikorupsi Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menunjukkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) meningkat, namun indeks pengalaman praktik antikorupsi justru menurun. Artinya, masyarakat semakin idealis membenci korupsi tapi dalam praktiknya masih minim alias memaklumi tindakan korupsi.

Menurut BPS indeks IPAK meningkat dari 3,71 menjadi 3,73 pada 2015, artinya masyarakat secara idealisme makin antikorupsi. Sebaliknya indeks pengalaman IPAK atau dari sisi pengalaman praktik antikorupsi masyarakat, menurun dari 3,49 menjadi 3,39 pada tahun 2015.

"Artinya, masyarakat makin membenci korupsi. Akan tetapi, dalam praktik, terutama ketika terlibat dalam pelayanan publik, masyarakat justru masih melakukan tindakan korupsi," kata Kepala BPS Suryamin saat pengumuman IPAK 2015 di Kantor BPS, Jakarta, Senin, (22/2/21016).

Nilai IPAK dihitung setiap tahun, sejak 2012, untuk menggambarkan dinamika perilaku antikorupsi masyarakat. Bila nilai IPAK yang makin mendekati angka lima (5) menunjukkan budaya tanpa toleransi (zero tolerance) makin melekat dalam tindak tanduk masyarakat. Namun bila angkanya mendekati 0, masyarakat makin memaklumi tindakan-tindakan korupsi.

Lebih lanjut Suryamin menjelaskan masyarakat masih memaklumi tindakan-tindakan korupsi seperti perilaku penyuapan untuk mempercepat pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Keluarga (KK). Selain itu, pengalaman pemerasan seperti dimintai uang lebih oleh petugas dalam pengurusan sertifikat tanah.

"Dalam beberapa kasus nepotisme terjadi ketika masyarakat ditawari bantuan oleh saudara maupun teman agar diterima sebagai pegawai negeri atau swasta," kata Suryamin.

Data BPS tersebut diperoleh dari survei pada November 2015 di 33 provinsi, 170 kabupaten/kota dengan jumlah sampel 10.000 rumah tangga. Survei BPS mencakup pemahaman dan pengalaman masyarakat berurusan dengan layanan publik terkait dengan tindakan penyuapan, pemerasan, dan nepotisme.

Tanggapan KPK

Sementara itu Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menyatakan tindakan-tindakan korupsi dalam masyarakat tersebut tergolong sebagai korupsi skala kecil atau "petty corruption". Dalam hal ini KPK hanya bisa melakukan pencegahan. Tetapi KPK KPK tidak mentoleransi dalam meindak pencegahan tersebut.

"KPK sudah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pendampingan kepada kepala-kepala daerah, terutama yang baru terpilih dari pilkada, 9 Desember lalu dan menyarankan agar semua pelayanan dilakukan melalui satu pintu untuk mencegah korupsi ataupun gratifikasi. KPK akan tetap masuk dan melakukan tugasnya jika ditemukan indikasi korupsi yang merugikan orang banyak," kata Pahala.

Baca juga artikel terkait BPS atau tulisan lainnya

Reporter: Agung DH