Menuju konten utama

BPH Migas Klaim Masyarakat Mulai Tinggalkan Premium

BPH Migas menilai banyak kendaraan yang lebih nyaman apabila diisi dengan Pertalite dan Pertamax daripada Premium.

 BPH Migas Klaim Masyarakat Mulai Tinggalkan Premium
Pemilik Bajay menunggu petugas SPBU untuk mengisi Premium di SPBU Kramat, Jakarta Pusat, Selasa (29/8). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengklaim masyarakat mulai meninggalkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. Adapun BPH Migas menyebutkan bahwa tren tersebut tercermin dari kuota penjualan Premium pada 2017 yang sebesar 12,5 juta kiloliter namun hanya terealisasi 7 juta kiloliter.

Faktor yang diklaim berpengaruh salah satunya terkait maraknya kendaraan bermotor yang diproduksi pasca 2000. BPH Migas menilai kendaraan tersebut akan lebih nyaman apabila diisi dengan BBM beroktan minimal 90, seperti Pertalite dan Pertamax.

“Masyarakat semakin sadar dalam mengoptimalisasikan performa mesin dengan bermigrasi ke Pertalite atau Pertamax. Untuk kendaraan SUV atau sedan akan terasa lain,” kata anggota Komite BPH Migas Hendry Ahmad dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Rabu (7/3/2018).

Lebih lanjut, Hendry mengatakan masyarakat yang menggunakan BBM nonsubsidi itu sudah semakin merata di berbagai wilayah. Mengacu pada kondisi tersebut, BPH Migas pun menyatakan bahwa mereka telah membicarakan fenomena tersebut dengan PT Pertamina (Persero) selaku badan usaha penyalur BBM.

Meski demikian, Hendry menekankan agar Pertamina tidak mengurangi pasokan Premium ke masyarakat. “Jangan sampai di tempat tertentu ada kekurangan Premium. Kuota yang telah ditetapkan harus sesuai dengan masyarakat,” ujar Hendry.

Pada tahun lalu, Pertamina sebenarnya hanya meminta agar kuota untuk Premium sekitar 5 juta kiloliter. Akan tetapi, pemerintah akhirnya memberi izin sebesar 12,5 juta kiloliter dengan harapan agar penyaluran BBM penugasan di luar wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dapat terpenuhi.

Harga Premium di luar Jamali juga harus sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp6.450,00 per liternya. Hendry mengungkapkan bahwa Pertamina dapat memberikan sanksi bagi SPBU yang melanggar. Bentuk sanksinya sendiri mulai dari dikeluarkannya surat peringatan hingga pemutusan hubungan usaha.

Kendati Premium harus tetap disediakan bagi SPBU yang terikat kontrak dengan Pertamina di luar wilayah Jamali, namun ada hal sedikit berbeda sebaliknya. “Untuk di Jamali, Premium tidak diatur dan masuk dalam kategori BBM umum. Sehingga itu menjadi kebijakan badan usaha,” ungkap Hendry.

Oleh karena itu, Hendry menyebutkan bahwa di kota besar seperti Jakarta ada SPBU yang sudah tidak menyediakan Premium. Apabila memang ada agenda tersendiri dari Pertamina untuk mengalihkan penggunaan ke BBM nonsubsidi, Hendry pun berpendapat agar Pertamina lebih gencar melakukan sosialisasi.

Masih dalam kesempatan yang sama, Hendry tidak menampik apabila SPBU sejatinya mendapatkan margin pendapatan lebih besar dengan menjual BBM nonsubsidi. Untuk BBM nonsubsidi, margin yang diperoleh adalah sebesar Rp400,00, sedangkan margin pendapatan dari BBM jenis Premium hanya Rp280,00.

“Namun SPBU juga harus menyesuaikan dengan permintaan masyarakat. Kalau di daerahnya lebih banyak permintaan Premium, maka bisa rugi juga kalau menjual Pertalite, meskipun marginnya lebih tinggi,” ucap Hendry.

Baca juga artikel terkait BBM SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari