tirto.id - Satu hal yang takkan pernah bisa dilepaskan dari perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) adalah perdebatan yang senantiasa mengiringinya. Di sini, kita bisa bicara soal banyak hal, mulai dari persoalan etika, lanskap masa depan dunia kerja, eksistensialisme manusia, sampai bagaimana pengembangan AI menjadi bom waktu lingkungan yang siap meledak kapan saja.
Soal lingkungan, sebenarnya ada harapan besar dari semakin canggihnya teknologi AI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, sudah memiliki sejumlah platform untuk memonitor kerusakan lingkungan sekaligus memitigasi risiko yang muncul darinya.
Ada platform yang berfungsi memonitor pengerukan pasir sedimen lautan, ada pula yang berguna untuk melacak emisi gas metana yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. PBB pun memiliki sebuah platform untuk memprediksi pola cuaca yang telah berubah di Burundi, Chad, dan Sudan supaya penduduk setempat dapat beradaptasi.
Selain itu, masih ada lagi beberapa fungsi lain yang bisa dilakukan oleh AI di bidang lingkungan, mulai dari memonitor pencairan es di Antartika, memetakan deforestasi di seluruh dunia, memperbaiki manajemen sampah, memetakan sampah yang tersebar di lautan, dan memprediksi bencana alam. Di Brasil, penggunaan AI bahkan sudah sampai pada taraf bisa digunakan untuk melakukan reforestasi dengan bantuan pesawat nirawak (drone).
Semua bukti tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi AI untuk memperbaiki kondisi alam apabila digunakan secara semestinya.
Namun, di sisi lain, pengembangan AI sendiri tidak bisa dibilang ramah lingkungan. Bahkan, boleh dikatakan, pengembangan AI merupakan sebuah bom waktu lingkungan yang bisa meledak kapan saja. Pasalnya, untuk terus mencerdaskan sang kecerdasan buatan, diperlukan sumber daya yang tidak sedikit.
Ongkos Lingkungan AI
Persoalan lingkungan pertama dari pengembangan AI adalah bagaimana pusat data, yang merupakan tulang punggung teknologi ini, dibangun. Proses produksi komputer untuk pusat data AI ini membutuhkan bahan mentah dalam kuantitas sangat besar.
Sebagai gambaran, untuk memproduksi satu komputer berbobot 2 kg, bahan mentah yang diperlukan mencapai 800 kg.
Dari semua komponen komputer, bisa dibilang, yang proses produksinya paling problematik adalah mikrocip. Sebab, pembuatan mikrocip memerlukan banyak elemen langka, seperti lantanum (La), neodimium (Nd), samarium (Sm), europium (Er), terbium (Tb), serta disprosium (Dy). Proses penambangan logam-logam tersebut pun, mengacu pada catatan Program Lingkungan PBB (UNEP), acap kali dilakukan secara destruktif.
Problem yang ditimbulkan pusat data AI tidak berhenti sampai di sana. Pasalnya, pusat-pusat data ini pun akan menghasilkan limbah elektronik yang amat sangat berbahaya. Peralatan komputer yang sudah tak terpakai mulai dari monitor, elemen-elemen CPU, sampai rak akan dibuang begitu saja dan inilah yang menghasilkan limbah elektronik tadi.
Limbah elektronik itu terkandung zat-zat yang berbahaya bagi lingkungan serta tubuh manusia. Di sana, ada merkuri yang bisa merusak banyak hal, mulai dari sistem saraf sampai pencernaan. Selain itu, ada pula timbal yang juga tak kalah berbahaya. Kedua logam ini biasanya bakal terserap ke dalam tanah dan, nantinya, produk-produk dari tanah tersebut mulai dari tanaman, hewan ternak, sampai air bakal ikut meracuni manusia.
Persoalan ketiga dari pusat data AI ini adalah soal besarnya konsumsi air. Biasanya, pusat data AI berukuran antara 185 s/d 930 m2. Perusahaan-perusahaan teknologi pun umumnya memiliki lebih dari satu pusat data, seperti Meta yang disebut memiliki 20 pusat data di Amerika Serikat (AS) serta beberapa pusat data lain yang tersebar di berbagai negara. Menurut data PBB, saat ini terdapat 8 juta pusat data AI di seluruh dunia.
Dalam proses pembangunan pusat-pusat data itu, dibutuhkan banyak sekali air. Sebagai gambaran, untuk membangun satu meter persegi bangunan, dibutuhkan air kurang lebih 350 liter. Ini, tentu saja, belum termasuk bagaimana air digunakan untuk mendinginkan pusat-pusat data tersebut.
Berdasarkan laporan NPR, satu pusat data rata-rata menggunakan lebih dari 1,1 juta liter air per hari untuk mendinginkannya. Jumlah ini ekuivalen dengan air yang digunakan 100.000 rumah tangga di AS setiap harinya.
Besarnya konsumsi air ini jelas mengkhawatirkan. Apalagi, krisis air adalah masalah yang nyata di mana sedikitnya 1,1 miliar orang tidak memiliki sumber air dan 2,7 miliar orang setidaknya pernah mengalami kelangkaan air satu kali dalam sebulan.
Maka, muncullah sebuah pertanyaan: Bijakkah menggunakan air sebanyak itu untuk mengembangkan AI di saat masih banyak orang yang membutuhkannya?
Persoalan terakhir adalah energi. Selain air, energi yang dibutuhkan untuk menjalankan pusat data AI juga luar biasa besar. Berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA), sebuah permintaan yang diberikan kepada ChatGPT membutuhkan listrik 10 kali lebih besar ketimbang pencarian Google biasa.
Perbandingan lainnya, seperti dilansir The Verge, untuk menonton Netflix selama sejam, daya listrik yang dibutuhkan hanyalah 0,8 kWh. Sementara itu, untuk melatih ChatGPT-3, daya yang diperlukan adalah 1.300 mWh. Dengan kata lain, melatih GPT-3 sama dengan menonton Netflix selama 1,625 juta jam!
Konsumsi energi dalam pengembangan AI menjadi perhatian tersendiri bagi berbagai organisasi di dunia lantaran, saat ini, sebagian besar listrik yang tersedia masih berasal dari sumber daya tidak terbarukan.
Menurut catatan Statista pada 2023, 35,5 persen listrik dunia berasal dari batu bara dan 23 persen dari gas alam. Artinya, lebih dari separuh kebutuhan energi di muka bumi ini masih disuplai melalui proses-proses yang tidak berkelanjutan dan ini tentu bukan persoalan sepele.
Upaya yang Telah dan Bisa Dilakukan
Saat ini, berbagai regulasi yang diterapkan pemerintah negara-negara di seluruh dunia belum bisa benar-benar "mengekang" perkembangan AI. Pasalnya, teknologi yang satu ini pada dasarnya masih dalam tahap awal pengembangan. Artinya, pemerintah pun masih meraba-raba apa saja yang bisa dilakukan tanpa mematikan perkembangan teknologi ini sepenuhnya.
PBB mencatat bahwa 190 negara saat ini sudah mengadopsi set rekomendasi tentang penggunaan AI secara etis, termasuk dampak lingkungannya. AS dan Uni Eropa bahkan sudah menerbitkan beleid untuk membatasi impak buruk AI terhadap lingkungan. Akan tetapi, kebijakan seperti itu masih langka.
Dan lagi, pengembangan AI tidak terpusat di kedua wilayah itu. Masih ada Tiongkok, India, Britania Raya, Taiwan, dan Kanada.
Setiap negara tentunya akan memiliki pertimbangan berbeda, tergantung bagaimana kepentingan mereka, terkait AI. Dengan begitu, apa yang sudah dilakukan AS dan Uni Eropa belum tentu akan bisa diterapkan di negara lain, terutama Tiongkok yang selama ini "rela" menjadi negara penghasil polusi terbesar untuk mengejar kapasitas industri negara-negara Barat.
Sejauh ini, hal paling konkret yang bisa dilakukan adalah menerbitkan serangkaian rekomendasi dan, untuk hal ini, UNEP telah menyusun lima rekomendasi bagi pengembangan AI.
Pertama, harus ada prosedur standar yang dimiliki masing-masing negara untuk mengukur dampak lingkungan AI itu sendiri. Kedua, pemerintah tiap-tiap negara bisa memaksa perusahaan teknologi untuk membuka datanya terkait dampak lingkungan.
Kemudian, UNEP juga menyarankan kepada perusahaan teknologi, khususnya yang mengembangkan AI, untuk mengefisienkan penggunaan sumber dayanya. Semisal dengan mendaur ulang limbah dan air serta menggunakan sumber energi terbarukan.
Keempat, kebijakan untuk "menghijaukan" pusat-pusat data AI itu harus ditopang dengan regulasi yang mengikat. Terakhir, pemerintah masing-masing negara nantinya juga mesti menyertakan kebijakan terkait AI dalam menjalankan kebijakan lingkungan lainnya.
Apa yang disarankan UNEP itu di atas kertas memang sangat bagus. Akan tetapi, rekomendasi akan jadi rekomendasi belaka tanpa iktikad politik yang baik. Di sini, iktikad politik tentunya mesti dibarengi dengan ketersediaan informasi yang hanya bisa diperoleh dengan riset.
Oleh karenanya, yang terpenting dari sini adalah supaya pemerintah, di mana pun itu, semakin menggencarkan riset tentang AI untuk memastikan tidak ada yang kebablasan dalam mengembangkan teknologi ini.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi