tirto.id - Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan ET302 tujuan Nairobi, jatuh enam menit selepas lepas landas dari bandara Addis Ababa, Minggu (10/3). Sebanyak 157 orang, termasuk kru pesawat tewas. Pesawat ET302 yang jatuh tersebut memiliki kesamaan tipe dengan pesawat Lion Air JT610 yang bernasib serupa, enam bulan sebelumnya.
Ethiopian Airlines dan Lion Air yang jatuh, sama-sama menggunakan Boeing 737 MAX 8, versi paling baru “The Baby Boeing,” varian paling laku dari Boeing yang telah berusia lebih dari 50 tahun.
Cina termasuk jadi negara pertama yang melarang 737 Max 8 beroperasi di wilayah udaranya. The Civil Aviation Administration of China (CAAC), otoritas keselamatan penerbangan sipil Cina, menyebut pelarangan Boeing 737 Max 8, sebagaimana dilansir Reuters, dilakukan karena “dua kecelakaan yang menimpa pesawat Boeing 737 Max 8, yang sama-sama baru dan sama-sama terjadi pada fase take-off, memiliki tingkat penyebab kecelakaan yang sama.”
Tercatat, 29 penerbangan domestik dan internasional, yang menggunakan Boeing 737 Max 8 yang hendak mengudara di Cina batal terbang setelah tragedi Ethiopian Airlines. Hampir 100 pesawat Boeing 737 Max 8 milik maskapai Cina akhirnya dikandangkan.
Amerika Serikat merespons sikap Cina, seperti dilaporkan Reuters, tindakan Cina melarang Boeing 737 Max 8 terbang berdasar pada alasan yang masih belum diketahui. Federal Aviation Authority (FAA), otoritas keselamatan penerbangan sipil Amerika Serikat, sebagaimana diwartakan BBC, kemudian menegaskan “tidak ada permasalahan sistemik” yang ditemukan dalam Boeing 737 Max 8. Artinya, tidak ada alasan yang kuat untuk melarang pesawat yang telah dipesan lebih dari 5.000 unit di seluruh dunia itu.
Andrew Herman, Direktur Asosiasi Maskapai Asia Pasifik, menyebut bahwa bukan sesuatu hal yang biasa pelarangan terbang pesawat dilakukan tanpa alasan teknis yang jelas. CAAC diduga “bermain” dalam tindakannya melarang Boeing 737 Max 8 terbang, dianggap untuk menyerang FAA. CAAC dianggap ingin jadi otoritas penerbangan sipil yang disegani dunia, mencoba mengungguli FAA. Salah satu alasan kuatnya, Cina perlu memuluskan proyek ambisius mereka di bidang kedirgantaraan: pesawat Comac C919, calon pesaing Boeing 737 Max 8.
Comac C919 atau Commercial Aircraft Corporation of China 919 merupakan pesawat masa depan industri penerbangan Cina, yang diperkirakan akan bernilai $1,025 triliun dalam beberapa tahun mendatang. Jose L. Fuentes, dalam jurnal berjudul “Commercial Aircraft Corporation of China Attempts to Break Airbus-Boeing Duopoly, Will It Succeed?” mengungkapkan pesawat C919 akan berada di segmen pasar pesawat Single Aisle/Narrow-Body atau Pesawat Berbadan Sempit/ Lorong Tunggal.
Di segmen pasar tersebut, C919 akan bersaing memperebutkan ceruk pasar yang telah diisi oleh Tupolev TU-204 dari Rusia, Airbus A321, A319, A318, A320 dari Eropa, dan Boeing seri 757, 737-900, 737-800, 737-700, 737-600 dari Amerika Serikat. Di segmen pasar tersebut pula, terdapat beberapa pesawat yang sedang dikembangkan, antara lain: Irkut MS21 dari Rusia, CS300 dan CS100 dari pabrikan Bombardier Kanada, A30X dan A320 NEO dari Airbus.
C919 pun akan bersaing dengan tipe pesawat yang kini tengah disorot Boeing 737 Max 8. Pesawat C919, telah dipesan 815 unit, yang berasal dari 28 maskapai penerbangan. Maskapai-maskapai yang memesan pesawat itu umumnya berasal dari Cina. Untuk sukses, menjadi pesaing kuat pesawat-pesawat bikinan Boeing dan Airbus, C919 perlu satu kunci krusial: izin terbang dari FAA.
FAA belum memberikan sertifikat layang terbang bagi C919. Izin terbang bagi C919 tentu saja jadi senjata yang bisa membunuh kepentingan Amerika Serikat.
Beberapa alasannya, C919 sangat bergantung pada perusahaan-perusahaan internasional untuk menyuplai berbagai bagian yang terpasang di pesawat. Bloomberg menulis bahwa C919 dibuat dengan bantuan 15 perusahaan rekanan asing seperti General Electric (GE), Safran SA, dan Honeywell International. Pada laporan South China Morning Post, ada masalah penyediaan berbagai komponen yang dibutuhkan C919 dari berbagai perusahaan internasional.
C919 direncanakan menggunakan mesin buatan GE, perusahaan pencipta mesin jet asal Amerika Serikat. Sayangnya, Cina dianggap hendak mencuri karya intelektual Amerika Serikat itu. Dan kemungkinan, C919 tidak bisa menggunakan mesin GE.
Atas masalah itu, Cina menyatakan bahwa mereka tengah berupaya mengembangkan mesin sendiri, mesin berjenis turbofan, untuk menggantikan mesin jet dari perusahaan internasional seperti GE.
Douglas Harned, Direktur Pelaksana Bernstein, skeptis dengan jalan yang ditempuh Cina untuk C919 itu. Katanya, “mesin adalah pekerjaan yang paling sulit untuk dilakukan dalam dunia pesawat.”
Sialnya bagi Cina, FAA bergeming memberikan sertifikasi jika masalah mesin tersebut belum terselesaikan. Sertifikasi FAA bisa jadi garansi bagi produsen pesawat untuk menjual ke pasar ekspor.
Sebelum Cina menciptakan C919, mereka lebih dahulu membuat ARJ21. Pesawat yang terbang pertama kali pada 2008 itu, hingga hari ini, belum memperoleh sertifikasi FAA. Jika ARJ21 belum memperoleh sertifikasi FAA, sukar bagi otoritas itu untuk melangkahi dan memberi sertifikasi pada C919. Artinya, Cina harus berupaya dulu meloloskan ARJ21.
Sikap Cina yang begitu cepat melarang terbang Boeing 737 Max 8 sempat dikaitkan perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat apalagi terkait upaya meloloskan sertifikasi C919, seperti dilaporkan oleh Reuters, anggapan ini dibantah oleh Li Jian, Wakil Kepala CAAC. “Dua hal itu merupakan isu yang benar-benar terpisah,” tegasnya. Pelarangan Boeing 737 Max 8 murni tentang masalah keselamatan penerbangan sipil.
Saat sikap Cina dianggap politis, kebijakan Amerika Serikat terhadap Boeing 737 Max 8 juga politis. Pernyataan FAA yang menyatakan Boeing 737 Max 8 tetap aman terbang di tengah banyak negara melarang Boeing 737 Max 8.
Apalagi Dennis Muilenburg, Kepala Eksekutif Boeing, berbincang dengan Presiden Donald Trump melalui telepon. Laporan CNN menyebutkan, meski tak merinci detail percakapan itu, berdasarkan sumber mereka, bahwa pihak Boeing sempat menegaskan "pesawat Boeing Max 8 aman.”
Namun, pada Rabu (13/3) waktu setempat, Trump akhirnya mengumumkan mengandangkan Pesawat Boeing Max 8 dan Max 9 setelah mendapat banyak tekanan dari parlemen dan serikat pekerja penerbangan Amerika. Alasan Trump mengandangkan Boeing Max 8 karena mendapatkan informasi terbaru dari FAA terkait kecelakaan Ethiopian Airlines. Selain itu, ia juga mempertimbangkan aspek psikologis para wisatawan yang ke Amerika.
"Keamanan rakyat Amerika, semua orang jadi konsen utama kami," kata Trump dikutip dari CNN.
Namun, di luar aspek terkini soal sikap Trump dalam kasus Boeing Max 8, hubungan Boeing dan Pemerintah Amerika Serikat memang sering bersinggungan. Pada 2016, misalnya, Boeing memberikan sumbangan senilai $1 juta tatkala Trump dilantik, yang sama dilakukan ketika Barack Obama saat dilantik.
Selain itu, Boeing, sebagaimana diwartakan CNN, merupakan salah satu perusahaan yang paling sering bermain-main melobi Amerika Serikat di parlemen. Selain mengerahkan puluhan pelobi di parlemen, Boeing, pada 2018, mengucurkan dana senilai US$15,1 juta, untuk menyetir berbagai aturan demi memuluskan jalan bisnis mereka.
Sikap Amerika yang berubah soal Boeing Max, memang cukup beralasan daripada berisiko, karena seperti dilansir The New York Times, tidak sampai tiga hari selepas Ethiopian Airlines jatuh, berbagai negara maupun maskapai di dunia mengandangkan Boeing 737 Max 8, termasuk Uni Eropa. Akibatnya, dua per tiga dari 340 pesawat Boeing 737 Max 8 yang teregistrasi di seluruh dunia masuk kandang.
Sebelum keputusan Trump terbaru mengandangkan Boeing Max, ada lima maskapai dunia yang masih mengoperasikan Boeing 737 Max, dengan dua di antaranya merupakan maskapai Amerika Serikat. Kedua maskapai Amerika Serikat itu ialah Southwest Airlines, yang mengoperasikan sebanyak 34 Boeing 737 Max 8, dan American Airlines, yang mengoperasikan 24 pesawat Boeing 737 Max 8.
Editor: Suhendra