tirto.id - Selama berpuluh-puluh tahun persaingan di bisnis pesawat komersial berbadan lebar menjadi duel sengit antara Boeing dan Airbus yang mewakili kekuatan Eropa dan Amerika. Kisah persaingan itu akan segera berakhir dengan kehadiran Cina sebagai pendatang baru.
Pada Jumat, 5 Mei 2017, pesawat C919, sebuah pesawat buatan Cina, melakukan aksi terbang perdana yang dilakukan di Bandara Internasional Pudong, Shanghai, Cina tepat pukul 14.00 waktu setempat, Pesawat C919 sukses mengudara. Pesawat C919 merupakan pesaing langsung produk Airbus seri A320 dan Boeing seri 737.
Pesawat dengan mesin ganda tersebut, merupakan hasil karya dari perusahaan milik negara bernama Commercial Aircraft Corporation of China atau Comac. Comac didirikan pada 2008 untuk membuat pesawat terbang yang bisa digunakan untuk pasar Cina dan global. Namun sesungguhnya, mimpi Cina memiliki pesawat angkut sekelas Boeing dan Airbus, telah mereka pupuk setidaknya sejak dekade 1970-an.
George Ferguson, analis dari Bloomberg Intelligence mengungkapkan bahwa demi mendukung program pesawat besar, pemerintah Cina telah menggelontorkan $7 miliar untuk mendukung program ini. Ferguson mengungkapkan, “pada titik tertentu, pemerintah akan berkata pada maskapai: ’Kamu harus beli pesawat (C919) ini!’”
Dalam proses pembuatan pesawat C919, Cina tidak sendirian. Comac masih membutuhkan uluran bantuan teknologi dari perusahaan-perusahaan lainnya, terutama dari Amerika dan Eropa. Bloomberg menulis bahwa C919 dibuat dengan bantuan 15 perusahaan rekanan asing seperti General Electric, Safran SA, dan Honeywell International.
Secara lebih terperinci, beberapa bagian pesawat C919 yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan Amerika dan Eropa tersebut antara lain: Parker Aerospace yang menyediakan komponen sistem bahan bakar, hidrolik, dan komponen-komponen pengendali terbang, Liebherr Aerospace yang menyediakan komponen pendaratan, UTC yang menyediakan komponen proteksi terhadap kebakaran serta sistem tenaga darurat, Honeywell yang menyediakan sistem kendali terbang, roda, pengereman, dan sistem navigasi, Eaton yang menyediakan sistem panel, dan General Electric yang menyediakan komponen sistem rekaman terbang.
Apa yang dilakukan Comac sudah biasa dalam industri penerbangan, karena tak ada 100 persen industri penerbangan suatu negara berdiri sendiri. Airbus dan Boeing yang sudah mengakar lama juga menggunakan langkah serupa. Berbagai komponen sebuah pesawat harus dipesan ke beberapa negara, tak kecuali Indonesia. Di Indonesia, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) jadi bagian rantai pasok beberapa komponen pesawat terbang bagi Airbus dan Boeing.
Komponen Inboard Outer Fixed Leading Edge milik Pesawat A380 milik Airbus, yang merupakan komponen bagian sayap pesawat dipasok oleh PTDI. PTDI juga membuat komponen Leading Edge Skin, komponen bagian depan sayap untuk pesawat Boeing 747-8.
Jose L. Fuentes, dalam jurnal berjudul “Commercial Aircraft Corporation of China Attempts to Break Airbus-Boeing Duopoly, Will It Succeed?” mengungkapkan bahwa pesawat C919 tersebut, akan berada di segmen pasar pesawat Single Aisle/Narrow-Body atau Pesawat Berbadan Sempit/ Lorong Tunggal.
Di segmen pasar tersebut, C919 akan bersaing memperebutkan ceruk pasar yang telah diisi oleh Tupolev TU-204 dari Rusia, Airbus A321, A319, A318, A320 dari Eropa, dan Boeing seri 757, 737-900, 737-800, 737-700, 737-600 dari Amerika Serikat. Di segmen pasar tersebut pula, terdapat beberapa pesawat yang sedang dikembangkan, antara lain: Irkut MS21 dari Rusia, CS300 dan CS100 dari pabrikan Bombardier Kanada, A30X dan A320 NEO dari Airbus.
Selain C919, ada pula pesawat ACAC ARJ21, sebuah pesawat di segmen pasar regional dengan badan pesawat yang lebih kecil yang juga sedang dikembangkan Comac. Di segmen pasar tersebut, ARJ21 umumnya akan bersaing dengan pesawat-pesawat buatan Bombardier dari Kanada, beberapa pesawat buatan Embraer dari Brazil, serta pesawat buatan Mitsubishi dari Jepang yang sama-sama masih berada dalam tahap pengembangan.
Pencapaian C919 merupakan berkah bagi Cina. Pesawat yang dirancang untuk memiliki daya jangkauan hingga 4.000 km tersebut, menurut Corrine Png, CEO Crucial Perspective, firma penelitian pasar, sebagaimana dikutip dari Bloomberg mengungkapkan, “C919 akan mengubah permainan untuk industri kedirgantaraan Cina.” Apalagi, menurut perkiraan Boeing, nilai pasar kedirgantaraan Cina akan mencapai angka US$1,025 triliun.
Nilai tersebut didapat terhadap kebutuhan pesawat di pasar Cina yang menurut Boeing, akan membutuhkan pesawat hingga 6.810 unit. Selain itu, lalu lintas penumpang angkutan udara di Cina, akan mengalami pertumbuhan hingga 6,4 persen setiap tahun selama 20 tahun ke depan. Tentu, alih-alih memberikan hidangan manis pasar pesawat komersial Cina kepada Boeing atau Airbus, yang terjadi justru bakal sebaliknya.
C919 juga memiliki peluang mencicipi pasar internasional. Statista mencatat industri dirgantara global mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Pada 2016, terdapat 36,6 juta penerbangan yang dilakukan oleh para maskapai di seluruh dunia. Angka tersebut naik menjadi 38,4 juta penerbangan di 2017. Jumlah penerbangan yang meningkat, tentu berbanding lurus dengan pendapatan yang diterima oleh para maskapai, dan pastinya akan memengaruhi belanja pesawat terbang.
Pada 2016, Statista menorehkan data soal pendapatan para maskapai di seluruh dunia yang mencapai $701 miliar. Pada 2017, nilainya diperkirakan meningkat jadi $736 miliar. Sebuah peluang yang cemerlang bagi pendatang baru C919. Pesawat C919 kabarnya dibanderol lebih miring daripada pesawat sejenis lansiran Airbus atau Boeing. Pesawat ini diperkirakan akan dijual $50 juta per unit.
Namun, dunia penerbangan tak hanya bicara soal harga, Comac harus bisa membuktikan terutama kepada maskapai lokal di Cina bahwa produknya layak diandalkan dan pastinya aman. Bila ini bisa dilewati, maka pintu pasar global terbuka lebar, dan ini tentu ancaman yang tak ringan bagi Boeing dan Airbus.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra