Menuju konten utama
Sidang Kasus BLBI

Boediono Bersaksi Tak Mendapatkan Laporan Audit BPK

Boediono menuturkan dia tidak selalu mendapatkan laporan audit tersebut dari Kementerian Keuangan.

Boediono Bersaksi Tak Mendapatkan Laporan Audit BPK
Mantan Wakil Presiden Boediono memberikan keterangan saat menjadi saksi dalam sidang kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Mantan Menteri Perekonomian Boediono hari ini menjadi saksi dalam persidangan dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Ia dipanggil sebagai saksi dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Jaksa KPK, Kiki Ahmad Yani menanyakan apakah Boediono memahami dan mengetahui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan 12 laporan audit pada tanggal 30 November 2006 kepada pemerintah dan DPR.
Saat menjabat sebagai Menteri Perekonomian, Boediono mengaku tidak tahu soal laporan audit tersebut. “BPK biasanya memberikan audit kepada Kementerian Keuangan, bukan ke Kementerian Koordinator,” ujar dia di PN Tipikor, Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Boediono menuturkan dia tidak selalu mendapatkan laporan audit tersebut dari Kementerian Keuangan jika kementerian itu sudah menjalankan tugasnya. “Menko itu biasanya hanya menerima masalah yang harus dikoordinasikan antarmenteri, itu tugas utamanya,” ucap dia.
Dia mengaku laporan dari departemen masing-masing tidak harus selalu diterima oleh Menko. Jaksa juga bertanya ihwal apakah Boediono juga mengetahui laporan BPK terkait pemberian SKL kepada pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

“Sekali lagi, sebagai Menko saya tidak menerima laporan dari BPK. Tapi Menteri Keuangan yang lebih tahu,” tutur Boediono.

Terkait hak interpelasi, pada 12 Februari 2008, ketika itu Boediono membacakan jawaban pemerintah atau pengantar atas interpelasi DPR mengenai penyelesaian masalah BLBI, Boediono mengaku dia menyampaikan serta menandatangani pengantar tersebut.
Lantas, saat itu DPR tidak puas dengan jawaban pemerintah karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai menggunakan kebijakan pemerintah terdahulu sebagai tameng seolah membenarkan posisinya dalam kasus BLBI.
Penjelasan pemerintah yang dimaksud ialah keterangan di saat menjawab pertanyaan hak interpelasi BLBI. Sudah dua kali pemerintah menjawab hal itu pada dua sidang paripurna di bulan Maret dan April.
Kemudian, mantan Gubernur Bank Indonesia itu berpendapat tahapan berhenti di hak interpelasi dan tidak berlanjut ke hak angket karena DPR menganggap masalah ini sudah final. “Kalau DPR berpandangan seperti itu, kami tidak punya kontrol apapun,” jelas Boediono.
Latar belakang pengajuan hak interpelasi karena negara menderita kerugian, menanggung bunga obligasi rekap sebesar Rp60 triliun per tahun. Namun hak interpelasi juga tak mampu mendorong penuntasan kasus BLBI.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BLBI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri