tirto.id - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengingatkan potensi penerimaan pajak yang diproyeksikan pemerintah di APBN dapat tergerus oleh banyaknya insentif yang diobral pemerintah.
"Penerimaan pajak tahun ini naik 13 persen. Kalau itu turun, berarti implikasinya defisit naik. Kalau belanja boleh turun, maka defisit bisa tetap," ujar Suahasil di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/8/2019).
Dia sempat menyinggung insentif untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sebagaimana diatur PP 45/2019, insentif pemotongan pajak diberikan untuk dunia usaha yang membuka pelatihan untuk peserta didik sekolah vokasi hingga melakukan penelitian dan pengembangan SDM.
"Supaya ekonomi meningkat, infrastruktur harus baik dan SDM [harus] berkualitas. Selama itu belum optimal maka kami paham pengusaha bilang minta bantu dengan insentif. Itu kita paham," ujar dia.
"Tapi yang tidak boleh adalah, [jika] itu berdampak pada rendahnya penerimaan dan pembangunan tidak berjalan," Suahasil melanjutkan.
Suahasil juga menginginkan agar belanja pajak yang telah digelontorkan dapat berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi. Contohnya mengerek konsumsi rumah tangga dan investasi.
Oleh karena itu, dia meminta kalangan pengusaha dan akademisi turut andil dalam merumuskan kebijakan belanja pajak pemerintah pada tahun depan.
Saat ini, pemerintah telah melampirkan belanja pajak dalam Nota Keuangan RAPBN 2020. Namun, belanja pajak yang dilampirkan bukan untuk tahun 2020, melainkan periode 2016-2018.
Adapun belanja pajak 2018 telah mencapai Rp221,1 triliun atau 1,49 persen dari PDB. Sementara belanja pajak pada 2016 dan 2017, masing-masing mencapai Rp192,6 triliun dan Rp196,6 triliun.
"Kita ingin angkat perspektif baru soal APBN agar perbincangan lebih kaya. Kami dari Kemenkeu sangat senang karena banyak sorotan atas belanja pajak. Angka ini baru kita hitung tahun lalu seumur-umur republik kita [berdiri]," kata Suahasil.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom