Menuju konten utama
12 Desember 1959

SEA Games dan Solidaritas Asia Tenggara yang Centang Perenang

SEA Games adalah harapan terakhir membangun solidaritas negara-negara Asia Tenggara jika kerja sama dalam bidang politik dan ekonomi mentok.

SEA Games dan Solidaritas Asia Tenggara yang Centang Perenang
Ilustrasi Mozaik Sea Games Bangkok. tirto.id/Sabit

tirto.id - Luang Sukhum Naiyapradit adalah bangsawan anti-mainstream. Pada 1930-an, saat kebanyakan priyayi Thailand belajar ekonomi atau hukum di Inggris atau Prancis, ia malah pergi ke Amerika Serikat menekuni ilmu keolahragaan. Saat kembali ke negerinya pada 1940-an, ia segera menjadi pelopor pengembangan olahraga dan menjadi tokoh olahraga terkemuka.

Pada 1950-an, ia mulai memikirkan gagasan membuat kompetisi olahraga antara Thailand dengan negara-negara tetangga, semacam Asian Games atau Olimpiade. Pertimbangannya: Thailand dan Asia Tenggara memiliki iklim sama dan orang-orangnya memiliki bentuk fisik yang mirip, sehingga dianggap memiliki kemampuan setara. Atas pertimbangan itulah ia yakin kompetisi olahraga regional bisa membantu negara-negara Asia Tenggara meningkatkan standar keolahragaan dan secara kultural bisa mempererat kerja sama kawasan.

Ide itu mulai diwacanakan saat Asian Games 1958 di Tokyo. Perwakilan kontingen Burma (Myanmar), Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, dan Malaya (Malaysia) setuju dan meratifikasi proposal Luang Sukhum untuk menyelenggarakan “Asian Games mini” di Asia Tenggara. Nama yang disepakati: Southeast Asian Peninsula (SEAP) Games.

Seperti tecermin dari namanya, pesta olahraga ini mulanya hanya diikuti negara-negara di sekitar semenanjung Asia Tenggara. SEAP Games pertama dibuka pada 12 Desember 1959, tepat hari ini 61 tahun lalu di Bangkok.

Delapan belas tahun kemudian, SEAP Games berganti nama menjadi Southeast Asian (SEA) Games dan memasukkan secara resmi Indonesia, Filipina, Brunei sebagai peserta. Sejak saat itulah SEA Games benar-benar menjadi kompetisinya Asia Tenggara.

Jika ASEAN adalah wadah bagi kerja sama pada level ekonomi dan politik, SEA Games bermain dalam wilayah yang lebih populer: olahraga. Dalam pidato pembukaan SEAP yang pertama, Luang Sukhum mengungkapkan bahwa tujuannya adalah untuk “meningkatkan kerja sama, pemahaman, dan hubungan antara negara-negara Asia Tenggara.”

Pertanyaannya kemudian: apa makna dan relevansi SEA Games bagi ASEAN dan solidaritas negara-negara Asia Tenggara hari ini?

ASEAN dan Problem Solidaritas

ASEAN diniatkan untuk mempromosikan kesadaran dan perasaan sebagai satu komunitas Asia Tenggara. Pada saat yang sama, ia juga hendak mendorong terciptanya rasa memiliki, mengonsolidasikan kesatuan dalam keberagaman, dan meningkatkan saling pengertian di antara negara-negara anggota tentang kebudayaan, sejarah, agama, dan peradaban mereka. Setidaknya, itulah pokok yang termaktub dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia yang ditandatangani pada KTT ASEAN 1976 di Bali.

Ringkasnya, ASEAN mendorong terciptanya solidaritas regional sebagai sesama warga Asia Tenggara. Dengan solidaritas ini, ASEAN sebenarnya hendak membangun identitas Asia Tenggara sebagai jembatan bagi integrasi regional di masa depan.

Masalahnya, di luar sejarah dan sentimen ke-Asia Tenggara-an itu, tidak ada “imajinasi bersama” yang mampu mengikat negara-negara ASEAN sebagai satu kesatuan. Satu hal yang terasa dalam hubungan negara-negara Asia Tenggara adalah ketiadaan “mitos masa lalu” yang memantik perasaan senasib sebagai landasan integrasi.

Uni Eropa, misalnya, menemukan mitos masa lalu yang mengikat dalam wujud Perang Dunia II dan kesadaran akan Eropa yang bersatu untuk mencegah konflik. Sehingga proses integrasinya relatif lebih mudah dibanding kawasan-kawasan lain.

Asia Tenggara, sementara itu, tidak punya mitos serupa. Bahkan meskipun didirikan atas dasar, salah satunya, semangat anti-komunis di antara negara-negara deklarator ketika Perang Dingin berada pada titik yang paling menegangkan, hal itu tak jua menjadi "mitos kolektif". Fokus anti-komunisme pada masa awal pendirian ASEAN toh akhirnya lenyap tatkala Laos dan Vietnam secara resmi dimasukkan sebagai anggota.

Inefisiensi ASEAN dalam mendamaikan konflik internal negara anggota dan sengketa antarnegara anggota juga menambah sukar persoalan integrasi tersebut. Contoh yang paling dekat adalah ketika ASEAN gagal menanggulangi kebrutalan rezim militer Myanmar yang mempersekusi lawan-lawan politiknya atau Indonesia yang cukup brutal memperlakukan Timor Timur. Mundur agak jauh ke belakang, ASEAN juga tidak mampu menyelesaikan sengketa segitiga soal perbatasan antara Thailand, Vietnam, dan Kamboja pada akhir 1970-an.

Dorongan integrasi itu justru memicu satu sama lain untuk, katakanlah, tutup mata terhadap kekuasaan masing-masing. Dengan alasan menjaga persahabatan, masing-masing negara enggan bersikap kritis secara serius kepada kolega-koleganya.

Faktor lain yang makin membuat runyam adalah kepentingan politik dan egoisme besar masing-masing negara. Harus diakui, secara konseptual kawasan Asia Tenggara terbentuk atas dasar politik alih-alih geografi atau kultural. Hal ini ditegaskan Donald K. Emmerson dalam sebuah esai panjang yang memukau soal konsep Asia Tenggara, Southeast Asia: What’s in a Name?. Ia mempertanyakan dengan kritis perihal gagasan integrasi Asia Tenggara pada level politik.

Asia Tenggara, katanya, akhirnya cuma menjadi agregasi negara-negara, bukannya bekerja atas dasar kebersamaan. Masing-masing negara berbeda dengan tajam dan secara kolektif lebih mirip medan pertempuran daripada meja kerja sama. Menarik apa yang dikatakan—lebih tepatnya diramalkan—Emmerson di esai itu bahwa “kelak pada abad ke-21 Asia Tenggara bisa jadi terbelah antara ‘Timur Jauh Soviet’ dan ‘Barat Jauh Amerika’” (hlm. 16). Jika mengacu pada keruntuhan Soviet dan kebangkitan Cina hari ini, tinggal diganti saja "Soviet" dengan "Cina" pada ramalan Emmerson itu, maka ramalan tersebut rasanya terlihat nyata.

Keruwetan juga makin bertambah bila menengok kesenjangan pembangunan ekonomi. Bayangkan, pada satu sisi ada Singapura (pendapatan per kapita 2016 sebesar US$ 53.431) yang begitu raksasa dan di sisi lain ada negara seperti Myanmar (US$ 1.420) yang amat melarat. Hal ini menghambat proses integrasi ekonomi dan membuat jurang di antara negara-negara anggota semakin melebar. Secara psikologis, kesenjangan tersebut juga memicu sentimen kemakmuran dalam masyarakat ASEAN.

“Tak dibantah lagi bahwa beberapa negara merasa lebih baik dibanding negara lain dalam bidang pembangunan dan pendidikan,” kata Hareef, pria asal Brunei yang menjadi admin laman Facebook ASEAN Community. Laman ini dibuat oleh Sekretariat Jenderal ASEAN dengan tujuan untuk mengampanyekan persatuan dan solidaritas.

“Beberapa negara berbagi latar belakang dan kepentingan yang sama dengan negara lain. Sebagai contoh, negara-negara KLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam) atau Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Brunei. Beberapa orang benar-benar tak tertarik dengan negara lain yang berbeda latar belakang dan tidak mengenal mereka dengan baik. Hal-hal inilah yang mudah memantik pertengkaran,” tuturnya.

Bagi Hareef, yang terpenting dalam organisasi semacam ASEAN adalah persatuan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat nasionalisme. “Saya tak punya masalah jika mereka mengkritik budaya, makanan, dan lain-lain. Yang mengganggu saya adalah betapa nasionalisme menghalangi kita menuju kesatuan ASEAN.”

Infografik Mozaik Sea Games dan Solidaritas Asia Tenggara

Infografik Mozaik Sea Games dan Solidaritas Asia Tenggara. tirto.id/Sabit

SEA Games sebagai Solusi Paling Memungkinkan

Dengan kondisi di atas, tampaknya susah membangun solidaritas dan integrasi masyarakat Asia Tenggara jika hanya melalui pakta regional. Pada sebuah masa ketika aspirasi masyarakat lebih kuat daripada suara pemerintah seperti era digital sekarang, kolaborasi berbasiskan people-to-people bisa menjadi jalan keluar paling memungkinkan. Bagaimanapun juga, dalam sejarahnya, ASEAN susah sekali membentuk kolaborasi macam itu.

SEA Games punya kemungkinan menyelamatkan ASEAN dari kegagalan dan ketidakmampuan membangun kerjasama di bidang politik dan ekonomi.

Gagasan Luang Sukhum soal kerja sama Asia Tenggara boleh dikatakan visioner dan mendahului apa yang dirumuskan oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) 18 tahun kemudian. Ini serupa dengan Olimpiade atau Piala Dunia yang sudah muncul sebelum PBB berdiri atau UEFA yang lahir jauh sebelum Uni Eropa muncul.

Seakan konflik politik, atau persaingan ekonomi, yang sejak abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 (saat berlangsung Perang Dunia II) cenderung memisahkan dan memecah belah, dapat diredakan oleh olahraga. Pandangan yang menganggap olahraga dapat menjadi kanalisasi konflik, menyalurkan energi kompetisi dan rivalitas melalui cara-cara yang lebih beradab, menemukan gaungnya dalam pesta-pesta olahraga bersifat kawasan atau bahkan multinasional.

Pesta olahraga ini boleh dibilang cerita sukses mengenai integrasi sosio-kultural masyarakat Asia Tenggara di level masyarakat. Format kultural sekaligus populer dalam SEA Games menyiratkan bahwa integrasi bukanlah peristiwa abstrak, tapi berakar jauh dalam bentuk pengalaman personal para partisipan, dari mulai atlet, pelatih, panitia, sampai penonton. Mereka terlibat dalam emosi kolektif sebagai—meminjam kata-kata sejarawan Anthony Reid—"orang-orang berkulit sawo matang yang hidup di negeri Bawah Angin".

Meski kadang-kadang diwarnai oleh insiden-insiden kecil soal sentimen nasionalisme, seperti yang pernah terjadi di Malaysia, paling tidak para partisipan bisa merasakan “imajinasi bersama” dalam ikatan Asia Tenggara.

Di situlah SEA Games menemukan maknanya yang paling relevan, seperti diharapkan oleh Luang Sukhum Naiyapradit lebih dari setengah abad lalu. Jika SEA Games juga gagal mengatasi problematika solidaritas Asia Tenggara, apalagi isu kecurangan selalu bergaung kencang siapa pun tuan rumahnya, tugas ASEAN akan semakin berat di masa depan.

==========

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 24 Agustus 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEA GAMES 2017 atau tulisan lainnya dari Ivan Aulia Ahsan

tirto.id - Politik
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS & Irfan Teguh