tirto.id - Masih lesunya industri film nasional menjadi alasan bagi Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Dede Yusuf Effendi untuk mendorong pemerintah membangun bioskop level kedua di tingkat kabupaten sehingga usia peredaran film nasional dapat diperpanjang.
Menurut Dede, yang juga merupakan aktor veteran dan produser film ini, banyak produser film nasional enggan memproduksi film layar lebar saat ini karena masa peredarannya di bioskop level A sangat singkat, tidak lebih dari tiga hari.
“Kalau waktu peredaran di bioskop sangat singkat, maka produser akan merugi,” katanya, sembari menambahkan bahwa setelah tidak beredar di bioskop kelas A, tidak ada tempat lagi bagi film nasional ditayangkan seperti di bioskop kelas B dan C yang merupakan bioskop level kedua.
Dede menilai dengan adanya bioskop tersebut, target pasar yang bisa dijangkau oleh industri film nasional akan menjadi lebih luas sehingga dapat membantu film nasional bertahan di tengah serbuan film-film asing.
“Bioskop level kedua tersebut untuk mengakomodasi penonton masyarakat kelas bawah yang kurang mampu menonton di bioskop kelas A,” kata Dede pada diskusi “Forum Legislasi” di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Selasa, (8/3/2016).
Ia juga mengusulkan agar pemerintah menerbitkan aturan supaya stasiun televisi membatasi penayangan sinetron serial, sehingga minat masyarakat menonton film di bioskop tetap tinggi.
“Selama masih ada sinetron serial di stasiun televisi, maka masyarakat lebih tertarik menonton televisi, karena ceritanya terus bersambung,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja Pengawasan Perfilman Abdul Kharis menambahkan bahwa saat ini banyak pengusaha bioskop enggan membangun bioskop level kedua di tingkat kabupaten karena pajak hiburan di daerah tinggi, sekitar 15 hingga 35 persen.
Ia mencontohkan, jika harga tiket di bioskop level kedua Rp 10.000, dan kemudian dikenakan pajak Rp 1.500 hingga Rp 3.500, maka harga tiket untuk bioskop kelas dua menjadi di luar jangkauan penonton bioskop tersebut yang notabene kalangan menengah ke bawah. Hal inilah yang kemudian dinilai memberatkan oleh kalangan pengusaha bioskop.