Menuju konten utama

Biografi Bataha Santiago Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara

Bataha Santiago dianugerahi gelar pahlawan nasional pada November 2023. Berikut biografi Bataha Santiago dan sejarah perjuangannya.

Biografi Bataha Santiago Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara
Bataha Santiago. FOTO/commons.wikimedia.org/

tirto.id - Bataha Santiago ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tanggal 6 November 2023. Bataha Santiago dari Sulawesi Utara mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 2023 bersama 5 tokoh lainnya. Siapa Bataha Santiago?

Bataha Santiago adalah raja Kerajaan Manganitu yang pernah berkuasa pada tahun 1670-1675. Semasa hidupnya, Bataha gigih melakukan perlawanan terhadap VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) alias kongsi dagang Belanda.

Raja yang lahir pada 1622 M tersebut dikenang mencintai kemerdekaan sehingga ia tegas menolak tunduk pada tekanan VOC. Bataha menentang monopoli VOC atas perdagangan rempah di kawasan Sangir Talaud, terutama cengkeh.

Jejak perlawanan Bataha Santiago kini terpahat di batu makamnya, yakni semboyan yang berbunyi: "Biar saya mati digantung; tidak mau tunduk kepada Belanda.”

Biografi Bataha Santiago dan Sejarah Perjuangannya

Bataha Santiago merupakan raja ketiga Kerajaan Manganitu. Kerajaan ini berpusat di Kauhis, Pulau Sangihe (kini wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara).

Kerajaan Manganitu didirikan oleh Liung Tolosang (Raja Boo atau Tolo) yang berkuasa selama 1600-1645 sebelum diganti oleh raja kedua, Tompoliu (Tompo). Nama terakhir adalah ayah dari Bataha Santiago.

Tompoliu menjadi raja Manganitu pada 1645-1670 dan menerapkan kebijakan anti-VOC. Langkah sang ayah itu dilanjutkan oleh putranya.

Hermanto Mohonis (Ana U Kehu) Juinar dalam Peradaban di Tanah Sangihe yang Tersirat Dari Sejarah Nusantara (2021), mencatat Bataha Santiago dilahirkan oleh permaisuri Raja Tompoliu yang bernama Lawewe.

Bataha diyakini lahir di wilayah yang kini bernama Desa Bowongtiwo-Kauhis, Manganitu, pada tahun 1622. Artinya, ia tumbuh semasa kakeknya masih berkuasa. Dari titi mangsa tadi, bisa diketahui bahwa Bataha menjadi raja Manganitu saat berusia 48 tahun.

Dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara (1984/1985) karya J.P. Tooy dkk, disebutkan bahwa sedari masa pemerintahan Tompoliu, agama Katolik telah diterima oleh keluarga Kerajaan Manganitu.

Tompoliu yang menjalin persahabatan dengan orang-orang Spanyol mengizinkan gereja Katolik Roma berdiri di kawasan Kauhis. Putra pertamanya, yakni Bataha, bahkan dibaptis oleh seorang paderi Katolik.

Maka itu, Bataha mempunyai nama baptis Santiago. Sumber lain menyebut namanya Don Jugov Sint Santiago. Adapun dalam kata 'Bataha' terselip makna bahwa pemilik nama ini dianggap orang yang 'sakti'.

Bataha tidak hanya mendapat pendidikan dari lingkungan kerajaan ayahnya. Bataha pun sempat merantau ke Filipina pada 1666 untuk belajar di sebuah perguruan tinggi. Pulang dari Filipina pada 1670, ia langsung dinobatkan sebagai raja ketiga Manganitu.

Kepergian Bataha ke Filipina sangat mungkin berkat koneksi ayahnya dengan orang-orang Spanyol, dan para paderi Katolik. Namun, kedekatan Kerajaan Manganitu dengan bangsa Spanyol tidak disukai oleh orang-orang Belanda (VOC).

Di masa itu, Belanda dan Spanyol sedang bersaing sengit untuk menguasai perdagangan rempah di nusantara. Incaran utamanya tentu saja Maluku dan sekitarnya.

Tak lama usai Bataha berkuasa, Gubernur VOC yang berkedudukan di Maluku, Robertus Padtbrugge mengadakan kampanye untuk memperluas pengaruh di sekitar Sangir Besar (Kepulauan Sangihe). Beberapa kerajaan di wilayah itu berhasil dirangkul VOC, terutama Tahuna yang merupakan rival lama Manganitu.

VOC pun mendapatkan izin mendirikan pangkalan di Tahuna. Sejak itu, fokus VOC tertuju pada Manganitu, kerajaan yang membina persahabatan dengan pesaing utama Belanda dalam perdagangan rempah, Spanyol.

Sebagaimana dicatat oleh J.P Tooy dkk (1984/1985), Gubernur Padtbrugge mengajukan kontrak politik yang tidak hanya merugikan, tetapi juga menghina Kerajaan Manganitu.

Ada 3 tuntutan VOC dalam kontrak politik tersebut. Pertama, semua tanaman cengkeh di Manganitu harus ditebang. Kedua, tidak boleh ada agama lain di Manganitu selain aliran Gereformeerd (Kristen-Protestan). Ketiga, seluruh perangkat kebudayaan di Manganitu harus dibakar.

Tuntutan pertama berkaitan erat dengan langkah VOC untuk memantapkan monopolinya atas perdagangan rempah di Maluku dan sekitarnya. Sementara itu, tuntutan kedua dan ketiga jadi bagian dari upaya VOC guna menghapus pengaruh Spanyol serta menjadikan Manganitu sebagai daerah taklukan yang menerima penuh kebudayaan Eropa (Belanda).

Raja Bataha Santiago secara terang-terangan menolak keras kontrak politik yang sudah diajukan oleh VOC. Langkah Gubernur Padtbrugge yang meminta sejumlah raja lainnya di Sangihe untuk membujuk Bataha tidak membuahkan hasil.

Akhirnya perang tidak terelakkan. VOC mengerahkan pasukan yang didukung sekutunya dari Tahuna, Kundahe, Ternate dan lainnya untuk menggempur Manganitu. Selama tahun 1675 saja, VOC tercatat tiga kali menyerang Kerajaan Manganitu.

Menghadapi serbuan tentara VOC, Raja Bataha Santiago mengerahkan segenap rakyatnya untuk melawan. Bataha bahkan membentuk pasukan wanita di bawah pimpinan dua adik perempuannya, Apueng dan Sapela. Dua adiknya yang lain, Diamanti dan Gaghinggilhec juga bahu-membahu memimpin pasukan sebagai panglima perang.

Sekalipun mengandalkan persenjataan tradisional, kegigihan pasukan Bataha Santiago bisa menghalau dua serangan VOC. Baru di serangan ketiga, sebagian wilayah Manganitu jatuh ke tangan musuh.

Di tengah situasi terdesak itu, Bataha Santiago belum menyerah. Namun, VOC ternyata menjalankan siasat licik. Saat pasukan Manganitu telah terdesak, Gubernur Padtbrugge menawarkan perundingan damai.

Tawaran perundingan dari VOC ternyata hanya untuk mencari kesempatan menangkap Bataha Santiago. Saat menjadi tawanan, Raja Bataha sempat diminta untuk menyetujui kontrak dengan VOC. Namun, sikap penolakannya tidak berubah.

Gubernur Padtbrugge akhirnya memutuskan menghukum mati Bataha Santiago. Nyawa sang raja akhirnya tumpas oleh hukuman gantung pada suatu malam di bukit Tonggeng (wilayah Kerajaan Tahuna).

Sisa-sisa pasukan dari Manganitu kemudian menyelamatkan jasad Raja Bataha Santiago secara diam-diam. Jasad Bataha lantas dikebumikan di Tanjung Nento, sebelah barat daya desa Panghulu (sekarang Karatung).

Selepas Bataha mangkat, ia digantikan adiknya, Don Charles Diamanti yang berkuasa dari tahun 1675 sampai 1694 M. Kerajaan Manganitu (disebut juga Kerajaan Maobungang) tercatat bertahan hingga tahun 1944.

Sekitar tiga abad usai serangan VOC, tepatnya tahun 1976 lalu, situs makam Raja Bataha Santiago dipugar oleh pemerintah daerah setempat sehingga menjadi monumen seperti sekarang. Kompleks makam Raja Bataha Santiago saat ini berada sekitar 14 km dari Kota Tahuna (pusat Kabupaten Kepulauan Sangihe), menempati area seluas 81 meter persegi.

Baca juga artikel terkait PAHLAWAN NASIONAL atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom