tirto.id - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lema "bilal" diartikan sebagai "orang yang bertugas mengumandangkan azan; muazin; modin". Azan pertama dikumandangkan di Madinah pada tahun pertama Hijriyah. (Hilmi, Ahmad, Adzan, Hanya Sebagai Penanda Waktu Sholat?, 2019, hlm. 13). Sejak saat itu, azan bergema lima kali sehari sesuai waktu salat umat Islam, terutama di negeri-negeri dengan mayoritas Muslim.
Kebutuhan untuk mengumandangkan azan muncul ketika jumlah umat Islam di Makkah semakin bertambah. Tanpa jam, seruan menunaikan ibadah salat bersama-sama menjadi sulit. Jumlah umat Islam kian meningkat setelah Muhammad dan pengikutnya hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 622.
Salah satu sahabat Nabi, Abdullah bin Zaid, bermimpi bahwa dirinya membeli kayu untuk dibunyikan pada waktu salat untuk memanggil para jemaah. Tetapi penjualnya malah menyarankan Abdullah untuk menggunakan suara manusia dalam bentuk rangkaian kalimat yang dilagukan. Abdullah pun menyampaikan mimpinya kepada Muhammad yang segera menyetujui usulan dari mimpi tersebut.
Muhammad segera menunjuk Bilal bin Rabah yang dikenal memiliki suara lantang dan indah, terutama ketika membaca Alquran. Selain keindahan suaranya, penunjukkan Bilal juga karena kemuliaan hatinya.
Beberapa sahabat Nabi sempat menyarankan Muhammad untuk memberikan tugas tersebut kepada orang lain karena pelafalan bahasa Arab Bilal memiliki aksen Ethiopia yang kental. Mereka menyebutkan bahwa Bilal tidak dapat mengucapkan huruf “shin” secara tepat, karena lebih terdengar “sin”. Tetapi Muhammad menjawab, “’Sin’ yang diucapkan Bilal adalah 'shin' bagi pendengaran Allah."
Mulanya azan hanya mengandalkan kerasnya suara seorang bilal atau muazin. Namun, seiring teknologi dan untuk menjangkau pendengar lebih jauh, suara bilal dibantu dengan pengeras suara.
Kendati azan sudah dikumandangkan sejak abad ke-7 dan pengeras suara temuan Alexander Graham Bell disempurnakan oleh Ernst Siemens pada 1877, tetapi baru pada abad ke-20 azan menggunakan pengeras suara. Di Indonesia, penggunaan pengeras suara baru populer pada 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama di Indonesia yang dilengkapi pengeras suara. Namun ada juga masjid yang menentang penggunaannya dengan alasan di zaman Nabi Muhammad tidak ada pengeras suara untuk melantangkan kumandang azan.
Dinamika suara azan mengiringi kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Seiring waktu, bukan hanya azan yang dikumandangkan dengan pelantang, tetapi juga lantunan bacaan Alquran dengan volume dan durasi yang ditentukan oleh pengurus masjid.
Bekas Budak yang Menggetarkan
Bilal bin Rabbah dilahirkan oleh seorang budak Ethiopia, sementara ayahnya adalah budak Arab. Ia termasuk kelompok pertama yang menyatakan keislaman, meskipun tuannya menyiksanya. Geram dengan penyiksaan tersebut, salah seorang sahabat Nabi Muhammad, Abu Bakar, membeli Bilal dari tuannya dan memerdekakannya. Sejak saat itu, Bilal menjadi salah satu pengikut Muhammad yang menyertai tugas-tugas kenabian.
Ia bertugas sebagai pembawa senjata-senjata Muhammad di berbagai ekspedisi militer. Di masa damai, ia bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan umat Islam dan mendistribusikan uang dan barang kepada para janda, anak yatim piatu, dan orang yang membutuhkan.
Kesalehan dan hati yang mulia itulah yang mengesankan bagi Nabi Muhammad. Hingga kendati sahabat-sahabat yang lain keberatan karena pelafalan huruf “shin” Bilal dianggap kurang sempurna, Muhammad tetap memilih Bilal sebagai penyeru azan pertama. Iman dan kesalehan Bilal terpancar dalam suaranya setiap kali ia membaca Alquran, sehingga mampu menggetarkan siapa pun yang mendengarnya.
Mengalami getaran hati adalah suatu hal penting dalam praktik ibadah umat Islam. Melalui getaran hati yang terpancar dari kesalehan dan iman itulah seorang hamba terhubung dengan Pencipta-Nya. Getaran hati itu muncul baik dari pelaku (penyeru azan, pembaca Alquran) maupun pendengar yang saleh.
Menurut sastrawan besar Leo Tolstoy, sangat penting bagi pelaku seni dalam Islam untuk memiliki kesalehan sehingga getaran imannya dapat mewujud dalam karyanya. Jika seorang pembaca Alquran, misalnya, tidak memiliki keimanan dan kesalehan, maka yang muncul hanyalah seni yang palsu. (Tolstoy, Leo. 1996 [1896]. What is Art? Terjemahan Aylmer Maude, hlm. 154).
Seni suara senantiasa melekat pada si empunya suara. Dalam hal ini suara manusia berfungsi sebagai agen, baik mewakili individu itu sendiri maupun suatu komunitas. Suara Bilal, jelas mewakili dirinya sendiri sebagai seorang individu yang kesalehannya dikonfirmasi oleh Muhammad, sekaligus suara umat Islam. Seni suara dalam Islam dengan segala kejernihan dan ketepatan pelafalan, terutama ketika membaca Alquran, merupakan elemen yang sangat penting.
“Sebab Tuhan mencipta dengan perintah suara, demikian juga Alquran yang bermula untuk menjaga keberlangsungan umat Islam, muncul sebagai pedoman dan berkat yang disampaikan melalui suara manusia.” (Denny, Frederick Mathewson. 1989. “Qur’an Recitation: A Tradition of Oral Performance and Transmission.” Oral Tradition 4, hlm. 23).
Suara Bilal bin Rabbah adalah yang pertama menyampaikan pedoman, seruan, dan berkat azan bagi siapapun orang beriman yang tergetar mendengarnya, diamplifikasi dengan kesalehannya. Meski Bilal telah lama wafat, namun nama dan riwayatnya abadi di hati umat Islam, di menara-menara masjid di penjuru Bumi, dan di lembaran kitab sejarah serta kamus. Bilal bin Rabah meninggal tepat 1.382 tahun lalu pada 2 Maret 640 di usia 60 tahun.
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Irfan Teguh Pribadi