Menuju konten utama

BHRCC: Industri Mobil Listrik RI & Filipina Merusak Lingkungan

Dari riset terbaru BHRCC menyebutkan penambangan nikel telah menyebabkan masalah lingkungan.

BHRCC: Industri Mobil Listrik RI & Filipina Merusak Lingkungan
Ilustrasi mobil listrik. FOTO/iStock

tirto.id - Business & Human Rights Resource Center (BHRCC)—organisasi non-profit yang fokus memantau pelanggaran HAM efek dari praktik bisnis lebih dari 10.000 perusahaan di 180 negara—merilis riset terbaru soal efek samping rantai pasok mobil listrik di Asia Tenggara. Dua negara yang menjadi episentrum rantai pasok itu adalah Indonesia dan Filipina.

Riset tersebut dikerjakan oleh BHRCC didukung oleh dua organisasi lingkungan dari dua negara, from The Legal Rights and Natural Resources Center (LRC) dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI).

Peneliti sekaligus representatif BHRCC di Asia Tenggara, Pochoy P. Labog, menyebut riset yang dirilis oleh lembaganya berfokus pada rantai pasok hasil penambangan nikel yang merupakan salah satu komponen penting baterai kendaraan listrik. Di Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina menjadi wilayah pertambangan nikel tersebut.

“Rio Tuba Nickel Mining Corporation di Filipina dan dua perusahaan China, Zhejiang Huayou Cobalt (ZHC) dan CNGR Advanced Materials (CNGR) beroperasi di Indonesia,” kata Pochoy peluncuran risetnya di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2023) siang.

Di Filipina, kata Pochoy, bijih nikel ditambang oleh Rio Tuba di Pulau Palawa. Hasil bijih nikel tersebut diproses di lokasi oleh pabrik pengolahan bernama Coral Bay Nickel Corporation (Coral Bay). Hasil olahan tersebut, lanjut Pochoy, dikirim ke Jepang untuk dilakukan pemurnian.

“Pada akhirnya, nikel hidroksida berkualitas tinggi, yang digunakan dalam pembuatan katoda, akan dihasilkan dari Pabrik Isoura milik Sumitomo Metal Mining. Sumitomo MM memproduksi bahan baterai yang dijual ke Panasonic Corporation, yang selanjutnya memproduksi baterai EV yang digunakan oleh perusahaan EV seperti Tesla dan Toyota,” katanya.

Selama ini, lanjut Pochoy, operasi pertambangan Rio Tuba berdampak negatif langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Sejak awal, pertambangan tersebut dilakukan dengan informasi dan izin yang lemah dari masyarakat adat lokal.

“Kelompok lingkungan juga telah menyuarakan keprihatinan tentang pencemaran air akibat penambangan di daerah tersebut,” katanya.

Sedangkan di Indonesia, bijih nikel ditambang di dua kawasan industri besar: Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) di Sulawesi Tengah dan Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) di Maluku Utara. Setelah bijih nikel ditambang, kemudian diproses untuk membuat nikel kelas baterai untuk pemasok China Zhejiang Huayou Cobalt (ZHC) dan CNGR Advanced Materials (CNGR), yang telah menandatangani kontrak pembelian dengan perusahaan kendaraan listrik.

“Perjanjian bisnis CNGR di PT IMIP diduga secara tidak langsung berdampak pada kehidupan, kesehatan, dan lingkungan warga di Morowali, Sulawesi Tengah,” katanya.

“Warga desa nelayan kerap mengeluhkan gangguan pernapasan, sementara mata pencaharian mereka semakin terbatas. Operasi penambangan juga telah menyebabkan masalah lingkungan, seperti perusakan hutan, pencemaran air dan dampak merugikan bagi kehidupan laut,” tambahnya.

Pochoy juga menambahkan bahwa operasi bisnis ZHC juga diklaim membahayakan nyawa di Luwu Timur, Sulawesi Selatan dan Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Ini termasuk beberapa contoh pencemaran air, dugaan perampasan tanah pertanian dan tanah adat dan kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat Adat.

“Investasi ZHC di PT IWIP dilaporkan telah menyebabkan dampak hak asasi manusia dan lingkungan yang serupa, seperti pencemaran empat sungai dan kawasan pesisir, banjir parah, dan pengambilalihan tanah warga,” katanya.

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri