tirto.id - Tak sulit bagi petugas The Breeze Hotel untuk mengingat nama para tamu. Hotel tiga lantai ini hanya berisi 15 kamar. Terletak di ujung kompleks perumahan daerah Bandung Utara, pemiliknya seorang kolektor seni yang memenuhi dinding hotel dengan koleksi lukisan Srihadi dan Wayan Karja.
Ada pula patung-patung serta pajangan keramik yang diletakkan di setiap ruang. Bangunannya didesain oleh Tan Tjiang Ay, salah satu arsitek legendaris dalam negeri. Tamu yang boleh datang ke hotel hanyalah mereka yang berusia lebih dari 12 tahun.
Tak banyak orang yang tahu tentang keberadaan hotel tersebut. Ia tampak menyatu dengan rumah-rumah besar di sekitarnya. Penginapan ini pun tak selalu padat pengunjung. Saya sempat mengunjungi hotel tersebut beberapa kali di tahun yang berbeda. Saat itu kamar yang terisi hanya satu atau dua kamar.
“Mereka yang tidak suka seni atau desain tidak akan suka tempat ini,” kata Yuni, petugas hotel.
The Breeze adalah salah satu dari sejumlah hotel butik yang menjamur di berbagai negara. Artikel "Hip heritage: The Boutique Hotel Business in Singapore" menyebutkan konsep hotel butik muncul sejak 1980-an. Morgan Hotel di New York menjadi salah satu pelopor jenis hotel ini. Amerika Utara dan Eropa menjadi negara-negara awal yang mengadaptasi model hotel hotel butik. Asia Tenggara kemudian menyusul dalam menciptakan gaya penginapan itu.
Tulisan berjudul "Emerging Definitions of Boutique and Lifestyle Hotels: A Delphi Study" mengungkap bahwa hal yang ditekankan dalam hotel butik ialah perasaan nyaman seperti di rumah sendiri dan servis personal. Konsep tersebut sengaja diciptakan berseberangan dengan jenis penginapan mayoritas yang lahir dengan standar tertentu.
Penelitian yang dimuat di Journal of Travel & Tourism Marketing itu menyebutkan pula bahwa hotel butik mencerminkan beberapa kriteria diantaranya sarat budaya, bersejarah, otentik, menarik, dan menyajikan servis yang unik. Sementara perasaan yang hendak diberikan kepada pengunjung hotel ialah petualangan, keingintahuan, dan kekaguman.
Kekaguman itu salah satunya dibuktikan dengan unggahan potret di akun media sosial tamu hotel. Hal ini sempat dilakukan oleh Muthi Kautsar. “Saya suka berfoto di jendela kamar Noor Hotel, fasad dan ruang makan Brown Feather, dan semua bagian suite di de Brett Hotel,” katanya menyebut nama-nama hotel butik yang berkesan di hatinya.
Ia memilih untuk menginap di hotel butik lantaran tertarik dengan sentuhan personal yang disajikan oleh jenis penginapan tersebut. Bila tengah bepergian, sebisa mungkin ia mencari informasi tentang hotel butik yang ada di tempat tersebut.
“Memilih hotel butik harus berhati-hati. Selain desainnya harus bagus, saya memilih tempat yang manajemennya sudah dikenal dan terpercaya. Selain itu saya memilih tempat yang sudah direkomendasikan oleh teman-teman traveler,” lanjut Muthi. Rekomendasi tersebut ia gunakan dalam rangka liburan bersama suami dan anak-anak atau teman dekat.
Hal serupa juga dilakukan oleh Indira Listiarini. Ia senang mengabadikan momen di kamar hotel dengan dinding yang dibubuhi gambar seorang seniman. Hotel tersebut ialah Artotel, berlokasi di Jalan Sunda, Thamrin, Jakarta Pusat. Sejak awal didirikan, Artotel hendak memfokuskan diri pada seni. Hal tersebut dibuktikan dengan memanggil sejumlah seniman dalam negeri seperti Eddie Hara, Darbotz, Ykha Amelz, Wisnu Auri, dan Oky Rey Montha, untuk mendesain setiap lantai hotel.
“Saya memilih tinggal di hotel butik karena tempat tersebut menarik untuk dieksplorasi. Menginap di sana juga bisa menenangkan saya dari hiruk pikuk kota. Tampilannya artistik dan membuat saya terpana,” kata Dira.
Salah satu hal yang membuat kesan menarik dan personal dari hotel butik terpancar ialah pemilik hotel yang punya ketertarikan spesifik pada satu bidang. Ruben Kosenda contohnya. Ia mendirikan hotel Kosenda yang ada di Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.
Hotel tersebut terdiri dari enam lantai dan jumlah kamar sekitar 60. Di sana, ia menciptakan area lobi layaknya ruang tamu yang ada di sebuah rumah bergaya Skandinavia tahun 1970an. Kursi-kursi yang ada ialah karya dari desainer produk tersohor di era tersebut diantaranya Arne Jacobsen, Charles Eames, dan Louis Poulsen.
Pada dinding, tergambar mural tentang kehidupan kota Jakarta yang digambar oleh seniman grafis Sanchia Hamidjaja. Lagu-lagu yang diputar terkadang lagu Indonesia lawas. Ada pula kembang-kembang yang menghias sudut-sudut ruang. “Saya sendiri yang membeli kembang itu. Pagi-pagi saya ke pasar bersama anak saya,” kata Ruben.
Fasilitas di hotel ini terdiri dari kamar tidur, restoran, dan satu rooftop lounge. Tarif yang dipasang pada hotel butik yang sarat estetika ini dimulai dari angka Rp600-900 ribu.
“Saya lebih suka menginap di desain hotel atau hotel butik lantaran tempat tersebut ramah kantong. Kita bisa memanjakan mata dengan mengeluarkan biaya yang relatif murah,” kata Parahita, salah seorang penikmat hotel butik.
Di Jakarta, hotel butik ramah kantong ini terselip di antara gedung-gedung pencakar langit. Kadang diperlukan usaha ekstra untuk mengenalinya lantaran bentuk bangunannya yang ramping. Perlu sedikit usaha untuk menemukan kejutan yang siap diberikan dari hotel-hotel tersebut.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani