Menuju konten utama

Berkaca pada Mereka yang Gagal dengan Ganjil-Genap

Sebelum Jakarta, beberapa kota di dunia yang tercatat menerapkan aturan serupa pembatasan ganjil-genap untuk mengurangi polusi dan kemacetan. Sebagian besar gagal.

Berkaca pada Mereka yang Gagal dengan Ganjil-Genap
Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Basuki Rahmat, Jatinegara, Jakarta. [Antara Foto/Wahyu Putro A]

tirto.id - Tahun 1989, Meksiko mengeluarkan aturan yang membatasi jumlah mobil di jalanan. Setiap mobil hanya boleh melaju di jalan-jalan kota itu satu hari dalam seminggu. Pembatasan dilakukan berdasarkan angka terakhir nomor pelat mobil.

Hari Senin, misalnya, hanya mobil dengan pelat yang diakhiri angka 5 dan 6 yang boleh melintas di jalanan. Selebihnya, tidak boleh. Setiap hari Senin hingga Jumat hanya ada dua jenis nomor pelat yang boleh berkeliaran. Khusus hari Sabtu dan Minggu peraturan itu tak berlaku.

Pada mulanya, peraturan ini cukup efektif. Angka polusi Meksiko turun 11 persen, sesuai dengan tujuan aturan tersebut. Namun, seiring waktu, penduduk Meksiko memilih membeli mobil baru dengan pelat berbeda.

Dampaknya, bukan hanya jumlah mobil yang bertambah, tingkat polusi juga naik 13 persen. Tahun 1992, Meksiko mendapat predikat sebagai kota dengan polusi paling tinggi di Bumi.

Mengikuti Meksiko, Bogota—ibukota Kolombia—menerapkan aturan yang sama pada 2009. Akan tetapi, apa yang diterapkan di Bogota tak sepenuhnya sama dengan Meksiko. Jika aturan di Meksiko berlaku sepanjang hari, di Bogota hanya berlaku pada jam-jam sibuk saat orang pergi dan pulang kerja.

Untuk mencegah terjadinya lonjakan pembelian mobil dengan pelat berbeda, pemerintah mengubah kombinasi nomor pelat kendaraan secara berkala. Namun, tetap saja aturan itu tak berjalan efektif. Banyak orang memutuskan menunda kepulangan sampai jam berlakunya aturan itu selesai. Bukan malah mengurangi, aturan ini hanya menunda kemacetan pada jam yang lain.

Aturan serupa juga pernah diterapkan di Sao Paulo, Chilean, Prancis, Beijing, dan baru diterapkan di New Delhi sejak awal tahun ini. Di Beijing, aturan ganjil-genap dicanangkan sebagai upaya menciptakan udara yang lebih baik dalam menyambut Olimpiade 2008. Pemerintah Cina mengklaim pembatasan kendaraan ini berhasil mengurangi polusi udara di Beijing hingga 40 persen.

Kesuksesan Beijing ini ditiru New Delhi sebab keduanya sama-sama kota dengan penduduk yang padat. Pemerintah India berharap bisa meniru kesuksesan Beijing. Padahal, kesuksesan itu hanya sementara. Sejak akhir tahun lalu, polusi udara di kota itu memburuk. Awal tahun ini, jarak pandang di Kota Beijing tercatat hanya 200 meter.

Jakarta pun akan ikut-ikutan menerapkan aturan serupa. Jadi akan ada hari khusus untuk pelat ganjil atau genap di jalur-jalur yang tadinya menjadi jalur three in one—kebijakan pembatasan mobil berpenumpang tiga orang yang kini sudah dihapuskan.

Misalnya, hari Senin adalah hari untuk pelat genap. Maka mobil-mobil dengan pelat ganjil tak boleh melewati sejumlah ruas jalan di jam-jam tertentu. Mobil-mobil ini tentu saja masih boleh berlalu lalang di ruas jalan yang lain.

Adapun ruas jalan yang terkena aturan baru ini adalah Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Merdeka Barat, dan sebagian Jalan Jenderal Gatot Soebroto. Aturan ini tentu tak berlaku sepanjang hari. Ia hanya setiap Senin hingga Jumat mulai pukul 07.00—10.00 WIB dan mulai 16.00—20.00 WIB. Sementara hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, semua pelat bebas berkeliaran di seluruh jalan Jakarta.

Uji coba aturan baru ini akan dimulai pada 27 Juli hingga 26 Agustus nanti. Lalu pada 30 Agustus, kebijakan ini akan mulai berlaku secara efektif. Berkaca pada kota-kota pendahulu, aturan ini tampaknya juga sulit diterapkan di Jakarta.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan ganjil genap ini adalah sebuah langkah mundur. Ketua YLKI Tulus Abadi melihat ada begitu banyak kekurangan dari aturan ini, salah satunya adalah sulitnya teknis pengawasan.

Sulitnya pengawasan ini membuat potensi pelanggarannya sangat tinggi. Bukan hanya pemalsuan pelat yang dikhawatirkannya, tetapi bisnis pelat nomor polisi antara oknum polisi dengan konsumen.

Di Paris, kebijakan serupa memberikan hasil positif. Pembatasan kendaraan sesuai nomorkendaraan baru diberlakukan di ibukota Perancis itu sejak 17 Maret 2014. Bedanya, Paris hanya memberlakukan satu hari dalam sepekan, tidak setiap hari. Transportasi umum di kota itu juga cukup layak dan memadai, tak perlu berjubel dan berdesak-desakan seperti di Jakarta pada jam-jam sibuk.

Faktor jumlah populasi juga memengaruhi berhasil tidaknya kebijakan ganjil-genap ini. Paris akan lebih mudah diatur sebab penduduknya hanya 2,24 juta. Sedangkan Jakarta empat kali lipatnya.

Baca juga artikel terkait JAKARTA MACET atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Hukum
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti