Menuju konten utama

Berharap pada Tuan Baru Sharp

Sharp Corp terus membukukan kerugian, setidaknya dalam lima tahun terakhir. Total utangnya telah melampaui nilai aset. Demi efisiensi, ribuan karyawan terpaksa harus dipecat. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi sang pemilik baru, Foxconn Technology Group.
Foxconn tidak hanya membawa modal, tetapi juga hubungan bisnis yang kuat, yang berpotensi besar membawa kesehatan pada tubuh Sharp yang sedang sakit.

Berharap pada Tuan Baru Sharp
Terry Gou (tengah), pendiri dan Presiden Direktur Foxconn Taiwan, yang secara resmi dikenal sebagai Hon Hai Precision Industry, bersalaman dengan Wakil Presiden Direktur perusahaan Jeng-wu (kiri) dan Direktur Utama Sharp Corp Jepang Kozo Takahashi dalam konferensi pers bersama di Sakai, Jepang. ANTARA FOTO/REUTERS/Kyodo

tirto.id - Sharp telah melalui perjalanan panjang sebelum akhirnya menjadi sebuah perusahaan kelas dunia. Kisahnya dimulai sejak 104 tahun lalu, ketika Tokuji Hayakawa mendirikan sebuah bengkel metal. Invensi pertamanya di bengkel itu adalah sebuah gesper yang diberi nama Tokubijo.

Tiga tahun kemudian, Tokuji menciptakan sebuah pensil mekanik bernama Ever-Sharp dan membawanya ke pasar. Nama Sharp Corporation diambil dari pensil itu. Tahun 1923, bengkel itu hancur dihantam gempa. Sharp pindah ke Osaka dan mulai membuat radio.

Dua tahun berselang, radio itu diproduksi dalam jumlah besar dan dijual ke pasaran. Barulah pada 1953, Sharp memulai produksi televisi pertamanya. Sejak saat itu, berbagai produk elektronik diciptakan, mulai dari kalkulator hingga peralatan rumah tangga. Sharp juga ikut ambil bagian dalam pasar telepon genggam.

Sejak tahun 2000, Sharp melakukan investasi besar-besaran untuk membangun pabrik panel LCD. Tahun 2004, sebuah pabrik dibangun di Kameyama. Investasi senilai $6,6 miliar dikucurkan. Tahun 2009, Sharp kembali membangun pabril panel LCD di Sakai. Pabrik ini masuk dalam sepuluh pabrik terbaik untuk memproduksi panel LCD berukuran 60 inchi atau lebih.

Dihantui Kerugian

Investasi besar-besaran pada pabrik panel LCD itu adalah langkah yang tak tepat. Krisis finansial pada 2008 dan kuatnya yen membuat permintaan dunia atas panel LCD buatan Jepang menurun. Panel LCD buatan perusahaan asal Korea Selatan, Samsung, lebih diminati saat itu, karena lebih murah. Ditambah lagi adanya peralihan ke TV digital pada 2011. Pemerintah Jepang pernah mengeluarkan kupon potongan harga untuk pembelian TV digital dan dibagikan ke masyarakat Jepang.

Peralihan ini kembali memukul pasar TV LCD di Jepang, mengurangi penjualan hampir setengahnya. Sharp juga terkena dampak. Operasional di pabrik Sakai juga mengalami pengurangan hingga kuartal ketiga 2012. Di kuartal I tahun itu, Sharp merugi hingga 376 miliar yen. Ini bukan kerugian yang sedikit. Jika dirupiahkan, nilainya mencapai Rp45,8 triliun.

Ini hanyalah awal. Tahun demi tahun berikutnya, kerugian terus menjadi mimpi buruk bagi Sharp. Total kerugian dalam lima tahun terakhir mencapai $12 miliar. Penjualan terus menurun. Maret lalu, Sharp melaporkan kerugian senilai 256 miliar yen atau setara Rp31,23 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari prediksi para analis yang hanya menyebutkan kerugian di kisaran 161 miliar yen.

Dalam lima tahun terakhir, Sharp juga terus mengurangi jumlah tenaga kerja. Tahun 2011, Sharp tercatat memiliki total 55.580 tenaga kerja. Tahun lalu, jumlahnya berkurang menjadi 49.096.

Masa Depan di Tangan Foxconn

Di tengah bisnis Sharp yang di ambang kejatuhan, datanglah Foxconn sebagai dewa penyelamat. Setelah menemui jalan berliku dan tawar-menawar harga, Foxconn resmi mengakuisisi Sharp awal April lalu. Kedua perusahaan menandatangani kesepakatan pada Sabtu, 2 April 2016.

Kerugian yang terus menerus ini membuat harga akuisisi Sharp oleh Foxconn hanya ada di angka $3,5 miliar. Padahal, pada Februari—sebelum kerugian kuartal I dipaparkan—penawaran yang diajukan Foxconn ada di angka $6,24 miliar.

Bagi Foxconn, menyembuhkan kembali Sharp tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi perusahaan asal Taiwan ini belum pernah berurusan dengan bisnis perakitan elektronik dan menjualnya langsung ke konsumen.

Sebelum mengakuisisi Sharp, fokus bisnis Foxconn memang hanya pada manufaktur komponen-komponen dan produk elektronik bagi sejumlah perusahaan yang menjadi kliennya. Beberapa produk yang dirakit oleh Foxconn adalah BlackBerry, iPad, iPhone, Kindle, PlayStation, Xbox One, Nokia, dan Wii U.

“Tidak mungkin ada perubahan yang cepat bagi Sharp. Masa-masa sulit akan terus dihadapi untuk sementara waktu,” kata Ceo Myojo Asset Management Co, Makoto Kikuchi seperti dikutip dari Bloomberg.

Sembilan analis yang dikumpulkan Bloomberg memprediksi rugi bersih Sharp untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2017 akan mengecil, menjadi sekitar 18,6 miliar yen.

Presiden Sharp Kozo Takahashi menilai akuisisi oleh Foxconn tidak hanya membawa modal, tetapi juga hubungan bisnis yang kuat, yang berpotensi besar membawa kesehatan pada tubuh Sharp yang sedang sakit.

Masuknya Foxconn jelas memberi nafas tambahan kepada Sharp. Ada gelontoran dana besar untuk membuat Sharp mampu melakukan ekspansi usaha. Foxconn sepakat menyuntikkan 200 miliar yen untuk memproduksi layar organic light-emitting diode (OLED). Ada lagi 60 miliar yen untuk meningkatkan produksi layar LCD yang telah ada.

Ini bisa menolong Sharp menghadapi kompetisi. Seperti diketahui, pada 2015, Samsung menguasai 23 persen pasar layar berukuran kecil dan medium. Japan Display Inc. dan LG Display Co. merupakan dua pemasok terbesar setelah Samsung. Sharp ada di posisi keempat, dengan angka penguasaan pasar 10 persen.

Sejumlah analis memprediksi, setidaknya dalam tiga tahun ke depan, kolom laba bersih Sharp akan terus negatif. Tetapi bukan berarti perusahaan ini tidak mampu kembali mencetak keuntungan. Para analis meyakini, Sharp paling tidak butuh lima tahun untuk bangkit dari kerugian. Apalagi dengan dukungan Foxconn yang sedang agresif melakukan ekspansi bisnis.

Baca juga artikel terkait SHARP atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti