tirto.id - Semasa remaja, saya seperti umumnya anak-anak lain, pernah bertengkar dengan orangtua terkait beberapa hal. Selisih paham antargenerasi memang sering kali menjadi pemicu percekcokan antara anak dan orangtua.
Sebagian remaja menganggap pandangan orangtua sudah tak sesuai lagi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, sementara di lain sisi, orangtua merasa anak-anak remaja mereka sudah terlampau jauh melangkahi pakem-pakem tradisional sehingga tak jarang mengecap para remaja sebagai pembangkang, tak menghormati generasi pendahulu, bahkan menuding mereka mengalami degradasi moral.
“Kenapa laki-laki boleh begitu tapi perempuan nggak? Dulu Bapak juga kayak gitu, kok aku enggak bisa?”
“Aku enggak suka lagi ikut kegiatan itu karena begini, begini, dan begini. Aku pilih itu karena alasan ini..”
Begitu saya melontarkan pertanyaan dan pernyataan seperti demikian, lazimnya reaksi yang saya dapatkan dulu adalah satu kalimat singkat pemutus hasrat berargumen dengan mereka: “Kalau dikasih tahu orangtua kok begitu, sih?” atau intimidasi yang lumrah didapatkan semisal, “Nanti kualat, lho.”
Bisa jadi pengalaman ini tak cuma saya saja yang merasakan. Anak-anak cenderung patah arang ketika berhadapan dengan orang-orang yang punya otoritas. Ketumpulan daya argumentasi mereka berpotensi menjadikan anak-anak kesulitan mengungkapkan gagasannya serta mempertahankannya di depan khalayak di masa depan.
Bayang-bayang ketakutan melakukan kesalahan serta kekhawatiran melewati batasan kepatutan bersikap di hadapan orang yang lebih tua bisa membentuk pribadi-pribadi yang pasif menanggapi suatu isu. Alih-alih berani menunjukkan posisi dan pandangan dengan berbekal sederet argumentasi, sebagian anak-anak dan remaja, bahkan sampai orang dewasa, cenderung manut opini mayoritas sekalipun tak sejalan dengan apa yang mereka pikirkan atau rasakan.
Buat sebagian orangtua, menghadapi anak-anak mulai dapat berargumentasi adalah suatu mimpi buruk. Padahal, momen ini merupakan salah satu titik awal pelatihan berkomunikasi yang baik bagi anak. Sejumlah penelitian membuktikan berbagai hal-hal positif yang dipicu dari kebiasaan berargumen dan berdebat yang ditanamkan sejak kanak-kanak.
Gwen Dewar, Ph.D. menulis dalam situs Parenting Sciencebahwa pelajaran atau kebiasaan debat yang diperkenalkan kepada anak sejak kecil dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sangat berguna dalam aneka konteks interaksi. Dengan belajar berdebat, logika anak akan terlatih dan berdasarkan sebuah studi, hal ini mampu menggenjot skor IQ mereka.
Ketika menjawab soal-soal esai, anak-anak memang dimungkinkan untuk menjlentrehkan pemikiran mereka dengan menyertakan sejumlah alasan. Namun, ia tidak cukup untuk membuat anak berpikir kritis dan pelajaran debat berupaya untuk menjawab tantangan tersebut.
Dewar berpendapat bahwa anak-anak perlu dilatih untuk menghadapi argumen-argumen yang menyerang balik pernyataan mereka yang dilandasi dengan serangkaian bukti. Ini akan menghindarkan anak dari cara pikir seragam yang tak jarang membikin mereka tumbuh menjadi fanatik.
Pernyataan lain yang menguatkan pendapat Dewar datang dari Deanna Kuhn, profesor Psikologi dan Edukasi di Columbia University. Setelah melakukan studi bertahun-tahun terkait pengaruh kemampuan debat terhadap proses pembelajaran siswa di kelas, Kuhn menyampaikan anak-anak yang dibiasakan berdebat akan mampu memahami bermacam-macam perspektif mengenai isu-isu kontroversial.
Di samping itu, pelajaran berdebat juga dapat memompa kepercayaan diri serta komitmen anak saat memilih satu perspektif dalam melihat isu. Sehubungan dengan kemampuan berkomunikasi, berdebat juga menjadi cara alternatif melatih kemampuan berbicara di depan publik.
Di sekolah Sir William Burrough, Inggris, kemampuan berbicara di depan publik mulai diajarkan sejak anak duduk di kelas 4 dan 5 secara umum, bukan hanya untuk siswa yang mengikuti ekstrakurikuler debat. Pengajaran keahlian ini diakreditasi oleh English Speaking Board (ESB).
Salah satu pengurus ESB di sekolah negeri di Inggris, Peter Gibley menyampaikan hal penting yang didapatkan dari pelajaran berbicara di depan publik ini. “Seseorang hanya akan menjadi pembicara yang baik jika ia terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik,” ujarnya seperti dilansir The Guardian.
Ketika berdebat atau berbicara di depan publik, anak akan diberi kesempatan untuk mendengarkan dan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tanpa interupsi. Dampaknya, mereka akan dapat mengembangkan ide dengan lebih baik yang nantinya bisa dikelola untuk memperbaiki argumen-argumen dalam berdebat.
Kemampuan berdebat tentunya tak dapat disamakan dengan sekadar adu mulut sehari-hari. Daley dan Dahlie (2001) menulis dalam buku 50 Debate Prompts for Kids lima tahapan proses debat yang penting disosialisasikan kepada anak-anak.
Lima tahap itu adalah (1) pengumpulan sebanyak mungkin informasi terkait suatu isu, (2) mengeksplorasi pendapat-pendapat yang mendukung dan menantang pandangan mereka, (3) membangun pernyataan yang menunjukkan posisi anak sehubungan dengan isu yang ingin diperdebatkan, (4) mempertahankan pernyataan tersebut, dan (5) mengembangkan cara pandang setelah memperoleh aneka masukan dan kritik dari debat yang dilakukan.
Tak perlu ragu mengajarkan anak-anak untuk berdebat sejak dini. Sejumlah manfaat yang dipaparkan berdasarkan macam-macam studi bisa dijadikan justifikasi untuk melakukannya.
Pelajaran debat tak ubahnya investasi psikologis bagi anak-anak supaya kelak ketika menghadapi variasi perspektif di tempat studi atau berkarya, mereka tak gampang berkecil hati sekalinya pandangan mereka ditantang atau dipatahkan.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani