Menuju konten utama

Beralasan Urusi Rohingya, Suu Kyi Tak Hadiri Sidang Umum PBB

Pemimpin nasional Myanmar Aung San Suu Kyi tak akan menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendatang di New York pada 20 September nanti.

Beralasan Urusi Rohingya, Suu Kyi Tak Hadiri Sidang Umum PBB
Pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi. REUTERS/Eric Vidal.

tirto.id - Di tengah desakan internasional untuk menyelesaikan krisis Rohingya, pemimpin nasional Myanmar Aung San Suu Kyi tidak akan menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 September mendatang di New York, Rabu (13/9/2017).

Kekerasan etnis yang memaksa 370.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

Eksodus 370.000 pengungsi ke Bangladesh ini akibat respons kekerasan yang dilancarkan militer Myanmar terhadap serangkaian serangan militan Rohingya menjadi masalah terbesar yang dihadapi Suu Kyi sejak menjadi pemimpin Myanmar tahun lalu.

Banyak pihak yang akhirnya mendesak pencabutan hadiah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi karena dia tidak banyak berbuat mengatasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas di negara yang dia pimpin.

Dalam pidato pertamanya di hadapan Sidang Umum PBB sebagai pemimpin nasional pada September tahun lalu, Suu Kyi sempat menyebut upaya pemerintahannya untuk mengatasi diskriminasi terhadap kelompok minoritas Muslim di Myanmar.

Tahun ini, menurut sumber dari kantor Suu Kyi menyatakan dia tidak akan menghadiri sidang umum karena harus mengatasi ancaman keamanan dari para pemberontak dan berupaya memulihkan perdamaian dan stabilitas di Rakhine.

"Dia berusaha mengendalikan situasi keamanan, untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas internal, dan mencegah konflik komunal menyebar," kata Zaw Htay, juru bicara kantor Suu Kyi, seperti dikutip dari Aljazeera.

"Dia tidak pernah takut menghadapi kritik dan masalah. Mungkin dia punya masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan di sini," kata Aung Shin, juru bicara partai Suu Kyi.

Tekanan internasional terus membesar terhadap Myanmar untuk mengakhiri kekerasan di negara bagian Rakhine yang bermula pada 25 Agustus lalu, ketika sekelompok militan Rohingya menyerang sekitar 30 pos polisi dan satu pangkalan militer.

Serangan itu kemudian dibalas operasi militer, yang menurut para pengungsi ditujukan untuk mengusir Rohingya dari Myanmar.

Para pengungsi dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, menggambarkan meluasnya serangan di desa-desa Rohingya di Rakhine State oleh pasukan keamanan dan etnis Buddha di Rakhine, yang membakar desa-desa Muslim.

Namun pihak berwenang membantah bahwa pasukan keamanan atau warga pengikut Buddha melakukan pembakaran, dan menyalahkan para pemberontak. Hampir 30.000 warga Buddha juga mengungsi menurut mereka.

Terlepas dari meningkatnya kekhawatiran mengenai krisis kemanusiaan, Myanmar menolak gencatan senjata yang dideklarasikan oleh kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army untuk memungkinkan pengiriman bantuan, menyatakan mereka tidak berunding dengan teroris.

Pemerintah Amerika Serikat mendesak Myanmar untuk melindungi warga sipil. Sementara Bangladesh meminta Myanmar memulangkan para pengungsi.

Namun Cina, yang merupakan pesaing Amerika Serikat untuk mendapatkan pengaruh di kawasan Asia Tenggara, mengatakan pada Selasa bahwa mereka mendukung upaya Myanmar untuk melindungi "pembangunan dan stabilitas."

Dewan Keamanan PBB akan bertemu di ruang tertutup pada Rabu ini untuk membahas situasi krisis Rohingya.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Politik
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri