tirto.id - Wilayah Kerala Utara, India, saat ini sedang menghadapi serangan virus Nipah. Lantas, apakah virus tersebut berpotensi masuk Indonesia?
Sejauh ini, dua orang di India telah meninggal dunia karena virus Nipah, sementara tiga orang lainnya, termasuk seorang anak, dirawat di rumah sakit. Salah satu kematian terjadi pada awal bulan September sementara yang lainnya terjadi pada tanggal 30 Agustus. Semua kasus telah dilaporkan di distrik Kozhikode di Kerala utara.
BBC melaporkan, pihak berwenang mengatakan bahwa pada Rabu 13 September 2023 mereka telah menguji 706 orang, termasuk 153 petugas kesehatan, untuk memeriksa penyebaran virus. Hingga saat ini, mereka sedang menunggu hasilnya.
Sementara itu, wabah Nipah ini merupakan wabah keempat di Kerala sejak tahun 2018. Kepala menteri negara bagian, Pinarayi Vijayan, telah meminta orang-orang untuk menghindari pertemuan publik di Kozhikode selama 10 hari ke depan.
Ia mengatakan bahwa pemerintah menanggapi kasus virus Nipah dengan "sangat serius" dan meminta orang-orang untuk berhati-hati dan mengenakan masker serta sebaiknya mengunjungi rumah sakit hanya untuk keadaan darurat.
Namun ia menambahkan bahwa tidak ada alasan untuk panik karena orang-orang yang melakukan kontak dengan mereka yang meninggal sedang menjalani perawatan.
Apakah Virus Nipah Berpotensi Masuk ke Indonesia dan Penjelasan Kemenkes?
Menanggapi kasus wabah virus Nipah yang sedang merebak di India, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI dalam dokumen “Frequently Asked Questions (FAQ) Penyakit Virus Nipah” yang diperbarui pada 14 September 2023 menyatakan hingga saat ini, belum dilaporkan kasus konfirmasi penyakit virus Nipah pada manusia di Indonesia.
Akan tetapi, Kemenkes RI menjelaskan bahwa beberapa penelitian atau publikasi telah menemukan adanya temuan virus Nipah pada kelelawar buah (genus Pteropus) di beberapa negara termasuk Indonesia.
Mengingat lokasi Kerala Utara yang cukup jauh dari Indonesia, maka potensi virus Nipah masuk ke Indonesia masih rendah. Tetapi bukan berarti tidak mungkin terjadi.
Apalagi, WHO juga telah melaporkan bahwa Indonesia masuk ke dalam daftar wilayah yang berisiko terinfeksi virus Nipah. Pasalnya, wilayah Indonesia adalah habitat alami dari sejumlah spesies kelelawar.
Epidemiolog, Dicky Budiman pada Kamis, 14 September 2023 menjelaskan bahwa potensi penyebaran virus Nipah masih jauh. Namun untuk di Kerala saat ini semakin serius.
Dicky juga mengatakan, potensi virus Nipah masuk ke wilayah Asia Tenggara khusunya Indonesia masih ada, sebab kelelawar hewan yang menjadi penyebar virus ini juga hidup di Indonesia.
Dia mengingatkan bahwa titik lemah Indonesia adalah negara yang luas yang kaya akan alam liarnya. Sehingga virus nipah ini patut diwaspadai sebab virus ini bisa ditularkan dari manusia ke manusia.
Untuk itu, Dicky menganjurkan pemerintah untuk berjaga di pintu masuk Indonesia. Jika ada orang yang dideteksi sensor demam maka harus dicek, gejala lain, asal negara, hingga kelainan kulitnya.
Dicky bilang, mekanisme isolasi juga harus dijaga keberadaannya, fungsi, dan konsistensinya. Menghadapai ancaman ini, Dicky mengingatkan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan untuk wasapada.
Apa Itu Virus Nipah?
NiV adalah anggota keluarga Paramyxoviridae, genus Henipavirus. Virus ini merupakan virus zoonosis, yang berarti virus ini pada awalnya menyebar antara hewan dan manusia.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan bahwa inang hewan untuk NiV adalah kelelawar buah (genus Pteropus), yang juga dikenal sebagai rubah terbang.
Infeksi virus Nipah dapat dicegah dengan menghindari paparan terhadap babi dan kelelawar yang sakit di daerah tempat virus ini ada, dan tidak meminum nira kurma mentah yang dapat terkontaminasi oleh kelelawar yang terinfeksi.
Manusia dapat terinfeksi jika mereka melakukan kontak dekat dengan hewan yang terinfeksi melalui cairan tubuhnya (seperti air liur atau air seni), penyebaran awal dari hewan ke manusia ini dikenal sebagai peristiwa spillover. Setelah menyebar ke manusia, penyebaran NiV dari orang ke orang juga dapat terjadi.
Gejala infeksi NiV berkisar dari ringan hingga parah, dengan kematian terjadi pada 40%-70% dari mereka yang terinfeksi dengan wabah dan hal ini terdokumentasi antara tahun 1998 dan 2018.
Selama wabah, praktik pengendalian infeksi standar dapat membantu mencegah penyebaran dari orang ke orang di lingkungan rumah sakit.
Virus Nipah pertama kali ditemukan pada tahun 1999 setelah wabah penyakit pada babi dan manusia di Malaysia dan Singapura. Wabah ini mengakibatkan hampir 300 kasus pada manusia dan lebih dari 100 kematian, serta menyebabkan dampak ekonomi yang besar karena lebih dari 1 juta ekor babi dibunuh untuk membantu mengendalikan wabah tersebut.
Meskipun tidak ada wabah NiV lain yang diketahui di Malaysia dan Singapura sejak tahun 1999, wabah telah tercatat hampir setiap tahun di beberapa bagian Asia sejak saat itu, terutama di Bangladesh dan India. Virus ini telah terbukti menyebar dari orang ke orang, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi NiV menyebabkan pandemi global.
Gejala Terinfeksi Virus Nipah
Infeksi pada manusia berkisar dari infeksi tanpa gejala hingga infeksi saluran pernapasan akut (ringan, berat), dan ensefalitis yang fatal.
World Health Organization (WHO) melaporkan, orang yang terinfeksi pada awalnya mengalami gejala-gejala seperti demam, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), muntah, dan sakit tenggorokan. Hal ini dapat diikuti dengan pusing, mengantuk, kesadaran yang berubah, dan tanda-tanda neurologis yang mengindikasikan ensefalitis akut.
Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atipikal dan masalah pernapasan yang parah, termasuk gangguan pernapasan akut. Ensefalitis dan kejang terjadi pada kasus yang parah, berkembang menjadi koma dalam waktu 24 hingga 48 jam.
Masa inkubasi (interval dari infeksi hingga timbulnya gejala) diyakini berkisar antara 4 hingga 14 hari. Namun, masa inkubasi selama 45 hari juga telah dilaporkan.
Kebanyakan orang yang selamat dari ensefalitis akut akan sembuh total, tetapi kondisi neurologis jangka panjang telah dilaporkan pada orang yang selamat. Sekitar 20% pasien meninggalkan konsekuensi neurologis residual seperti gangguan kejang dan perubahan kepribadian. Sejumlah kecil orang yang sembuh kemudian kambuh atau mengalami ensefalitis onset tertunda.
Tingkat kematian kasus ini diperkirakan mencapai 40% hingga 75%. Angka ini dapat bervariasi dari satu wabah ke wabah lainnya, tergantung pada kemampuan lokal untuk melakukan pengawasan epidemiologi dan manajemen klinis.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari