tirto.id - “Terkait pernyataan saya 'Banyak milenial jomblo karena kondisi ekonomi.’ Buat yang kemarin mencela pernyataan itu dengan sadis dan mengatakan tidak ada hubungan antara ekonomi dengan jomblo, ini beberapa penelitian yang mendukung pernyataan saya. Semoga mencerahkan.”
Cuitan juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Gamal Albinsaid, diunggah pada akun Twitter-nya pada 1 Februari 2019 pukul 21.55 WIB. Dalam cuitan tersebut, Gamal menyertakan tiga poster penelitian yang mendukung pernyataan tersebut dan gambar portal berita yang melaporkan pernyataan tersebut. Dari berita tersebut, terlihat bahwa Gamal menilai alasan anak muda jomblo adalah sulitnya kondisi ekonomi.
Menelaah Rujukan Ekonomi dan Jomblo
Untuk menguatkan pernyataan mengenai hubungan antara jomblo dan status ekonomi, Gamal mengutip Jonathan E. Monroe (PDF) (2015) dalam penelitian yang berjudul "Millennials: Hard to Pin Down, Yet Ripe for Conversion".
"Milenial mengklaim bahwa persoalan menunda perkawinan disebabkan oleh kesulitan ekonomi atau preferensi pribadi. Mereka juga ingin mengamankan karier dan mencapai stabilitas ekonomi sebelum menikah," demikian isinya. Poster ini menggarisbawahi ‘stabilitas ekonomi’ (economic stability) dengan huruf warna merah.
Poster kedua menampilkan penelitian Martin, et.al (PDF) (2014) dengan judul "Fewer Marriages, More Divergence: Marriage Projections for Millennials to Age 40." Gamal mengutip Martin, “Ada kekhawatiran terjadinya penurunan tajam angka pernikahan pada generasi milenial karena guncangan ekonomi pada saat resesi. Tren angka pernikahan pun tidak meningkat secara signifikan pasca resesi ekonomi.” Guncangan ekonomi (economic shock) menjadi frasa yang diberi highlight merah.
Gamal juga mengutip penelitian dari Benjamin Gurrentz (PDF) (2018) "Millennial Marriage: How Much Does Economic Security Matter to Marriage Rates for Young Adults?" Pada bagian ini, Gamal meminjam referensi studi Gurrentz dari American Community Survey periode 2012-2016. Studi tersebut menemukan bahwa, secara nasional, beberapa indikator seperti pendapatan, kemiskinan, dan tempat tinggal (harga rumah dan perabotan) berhubungan dengan tren pernikahan milenial.
Ketiga penelitian tersebut memang membahas pernikahan milenial. Namun, milenial yang dibicarakan adalah milenial Amerika Serikat. Jika ingin mencari perbandingan, perlu mempertimbangkan negara yang punya kemiripan budaya, misalnya Malaysia dan Filipina. Perbandingan Indonesia dengan India juga bisa dilakukan atas dasar populasi penduduk muda yang tinggi dan tingkat perekonomian.
Penting juga melihat periode riset untuk mengecek aktualitas penelitian. Penelitian Monroe dipublikasikan pada 2015 dengan referensi survei Pew Research (PDF) pada 2010. Sementara itu, penelitian Martin, et.al dirilis pada 2014, setahun lebih awal dari Monroe. Penelitian yang paling aktual berasal dari Gurrentz yang dipublikasikan pada 2018.
Persoalan karier dan kesulitan ekonomi bukanlah satu-satunya alasan milenial dalam menunda perkawinan. Sementara itu, stabilitas ekonomi yang digarisbawahi Gamal konteksnya tidak merujuk stabilitas ekonomi negara, melainkan stabilitas finansial secara pribadi.
Namun, meski karier dan stabilitas finansial dianggap penting, hal tersebut bukanlah faktor utama dalam pernikahan. Cinta menjadi alasan utama dalam pernikahan (88 persen), sedangkan stabilitas finansial merupakan faktor kesekian dalam memilih pasangan.
Tak Menikah karena Merasa Tak Perlu Menikah
Monroe (2015) juga menuliskan bahwa milenial melihat urusan parenting lebih penting ketimbang status pernikahan. Sebanyak 52 persen milenial menyatakan menjadi orangtua yang baik lebih penting dan hanya 30 persen yang menganggap sebaliknya.
Pembaca juga perlu memahami konteks budaya Amerika Serikat: pernikahan bukanlah prasyarat mempunyai anak. Ini adalah salah satu alasan tren pernikahan menurun. Pembahasan Monroe perihal pernikahan milenial juga lebih luas dari persoalan ekonomi semata. Ia melihat bahwa milenial mulai meninggalkan tradisi pernikahan yang dianggap usang dan mulai memilih kohabitasi (tinggal bersama tanpa menikah).
Milenial juga dianggap mendukung pernikahan antar-budaya (interracial) dan pernikahan sesama jenis. Kemudian pada penelitian Martin, Gamal menggarisbawahi bahwa penurunan angka pernikahan terjadi akibat permasalahan ekonomi.
Padahal, menurut penemuan Martin, tren tersebut menurun sejak era milenium, pada 2000-an sebelum resesi ekonomi Amerika Serikat terjadi pada 2008. Analisis Martin juga menjabarkan penurunan tren pernikahan pada etnis minoritas, hispanik, dan kulit hitam, juga mereka yang berpendidikan SMA ke bawah.
Penurunan ini terjadi karena etnis minoritas dan mereka yang berpendidikan rendah terkena dampak ekonomi dan perubahan sosial yang cukup besar pada dekade 2000-an, termasuk ketika mencapai usia dewasa pada resesi ekonomi 2008. Sulit bagi mereka untuk memperbaiki kondisi ekonomi pasca-resesi.
Secara keseluruhan, Martin menyarankan perlunya kebijakan untuk mengakomodasi generasi minoritas yang tidak menikah dan single-parents. Kebijakan tersebut termasuk bantuan sosial, jaminan sosial, dan peraturan mengenai pajak. Martin juga menekankan perlunya langkah pemerintah agar program ini mampu mencapai kedua kelompok tersebut.
Penelitian ketiga dari Gurrentz (2018) memang mengafirmasi poin-poin Gamal. Gurrentz (2018) menjelaskan bahwa keadaan ekonomi memainkan peran dalam penurunan tren pernikahan. Gurrentz meneliti beberapa faktor seperti pekerjaan, pendapatan, kemiskinan, dan kepemilikan rumah, yang dianggap sebagai indikator kemapanan.
Gurrentz memaparkan bahwa milenial berpatokan pada keadaan finansial mereka, termasuk empat indikator tersebut, sebelum memutuskan untuk menikah. Ia juga menekankan pentingnya stabilitas finansial sebelum memutuskan untuk berumah tangga.
Pernikahan dalam Konteks Indonesia
Laporan BPS (2017) mengenai perkawinan usia dini di Indonesia menyatakan adanya kecenderungan pernikahan dini yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah.
Laporan tersebut menyebutkan pada 2015, terdapat 28,28 persen perempuan usia 20-24 tahun dalam kelompok 20 persen rumah tangga termiskin (Q1) yang pernah menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara pada kelompok 20 persen rumah tangga terkaya (Q5), angka menikah sebelum usia 18 tahun hanya 12,57 persen.
Tabel ini menunjukkan peningkatan pendapatan paling rendah (Q1) ke paling tinggi (Q5) memiliki berbanding terbalik dengan jumlah pernikahan dini. Semakin rendah pengeluaran, semakin tinggi persentase tingkat pernikahan dini.
Orang Desa Lebih Banyak Menikah Dini
Selain pendapatan, tempat tinggal juga mempengaruhi maraknya pernikahan dini. Data Susenas menunjukkan tingkat pernikahan dini di perdesaan yang jauh lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada 2013 dan 2015, selisihnya mencapai kurang lebih 10 persen.
Telaah ini menyimpulkan bahwa hubungan antara kondisi ekonomi dan jomblo tidaklah sesederhana yang dilontarkan Gamal. Tiga penelitian yang dikutipnya tidak serta-merta mengerucut pada sebab-akibat linier antara kondisi ekonomi dan milenial jomblo.
Penelitian Monroe (2015) menunjukkan pandangan milenial terhadap institusi pernikahan dan menyimpulkan perubahan pandangan soal pernikahan dari generasi orangtuanya.
Sementara itu, penelitian Martin, et.al (2014) fokus pada peningkatan kelompok yang tidak menikah dan orangtua tunggal yang akan memasuki usia senja. Hanya penelitian Gurrentz (2018) yang menjawab hubungan antara stabilitas finansial terhadap keputusan untuk menikah.
Selain itu konteks ekonomi, budaya dan wilayah juga perlu diperhatikan. Tingkat kesejahteraan dan lokasi tempat tinggal memiliki pengaruh signifikan terhadap maraknya pernikahan dini. Di Indonesia, alih-alih diancam persoalan jomblo nasional, generasi milenial dibayangi kasus pernikahan dini.
Editor: Maulida Sri Handayani