tirto.id - Ayam broiler atau yang disebut juga ayam ras pedaging (broiler) adalah jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam konteks produksi daging ayam.
Daging ayam broiler merupakan salah satu jenis daging yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang bertajuk "Pola Distribusi Perdagangan Komoditas Daging Ayam Ras 2022", rata-rata konsumsi daging ayam ras di kelompok rumah tangga nasional mencapai 6,048 kilogram (kg) per kapita per tahun pada 2021.
Meski begitu, hingga saat ini, masih ada beragam mitos terkait ayam broiler yang beredar di masyarakat. Salah satunya adalah klaim terkait larangan memakan bagian leher dan sayap ayam broiler, seperti yang diunggah akun Instagram “ike.adrian”.
Narator dalam video yang diunggah tersebut menganjurkan untuk lebih memilih mengonsumsi ayam negeri dari pada ayam broiler. Hal ini disebabkan karena ayam broiler hanya mempunyai waktu potong selama 45 hari sehingga harus diberikan hormon yang diklaim bisa menyebabkan kanker.
Lebih lanjut, video tersebut mengklaim kalaupun harus memakan ayam broiler jangan memakan bagian leher dan sayap karena mengandung hormon pencetus kanker yang paling tinggi.
Lantas, benarkah klaim soal bahaya mengonsumsi bagian leher dan sayap ayam broiler karena bagian-bagian tersebut mengandung hormon pencetus kanker yang paling tinggi?
Penelusuran Fakta
Tim Riset Tirto menelusuri klaim ini. Pertama, dari sisi kesehatan. Dokter Pratiwi Rapih Astuti Natsir sempat menjawab sebuah pertanyaan terkait hal ini pada situs Alodokter, yang dipublikasikan pada 10 Oktober 2017.
Menurutnya, bagian tubuh ayam dapat dikonsumsi dan sangat bergantung dari selera masing-masing orang. Ia menyebut bahwa banyak sumber yang mengatakan bahwa bagian sayap dan ceker ayam adalah bagian dimana bahan kimiawi tertentu terutama pada ayam ayam broiler yang dikembangkan dengan bantuan hormon menumpuk. Sehingga ada anggapan bahwa bagian-bagian ini jika dikonsumsi dapat mengganggu sirkulasi hormon di dalam tubuh, terutama pada wanita, yang dapat menimbulkan berbagai penyakit.
"Namun, perlu diketahui, ayam broiler ini mengalami perkembangan yang sangat pesat karena diberi protein yang tinggi dan pencahayaan yang cukup agar memicu nafsu makan dari ayam ini. Dan perlunya kita untuk lebih kritis menerima informasi tersebut, dibutuhkan studi yang lebih detail mengenai hal tersebut," katanya.
Ia melanjutkan, memang di masa lalu, terdapat praktik pemberian antibiotik tertentu pada ayam broiler untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan mempercepat pertumbuhan ayam. Namun, praktik ini kini jarang digunakan karena berpotensi menyebabkan resistensi bakteri pada ayam dan berdampak pada kesehatan konsumen.
dr. Pratiwi kemudian menyimpulkan bahwa yang paling penting diingat saat mengonsumsi leher dan sayap ayam broiler adalah menjaga kebersihan daging dari bakteri. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi mencuci tangan sebelum mengolah daging ayam, memisahkan daging ayam dari bahan makanan lain untuk mencegah kontaminasi silang, menggunakan pisau dan wadah yang berbeda, memastikan daging ayam dimasak hingga suhu minimal 80 derajat Celsius, dan menyimpan daging ayam broiler mentah di dalam kulkas dengan temperatur yang cukup rendah untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
"Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa bagian tertentu dari ayam dapat menyebabkan suatu penyakit selama pengolahannya bersih dari bakteri dan mengkonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan," katanya.
Selain itu, menjalani gaya hidup sehat juga merupakan faktor penting dalam mencegah penyakit.
Lebih lanjut, dari sisi hukum, terkait penggunaan hormon pertumbuhan pada ayam broiler seperti yang diklaim dalam unggahan, dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian, Undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan telah melarang dengan tegas penggunaan hormon bagi hewan konsumsi.
Masih dari sumber yang sama, Dirjen PKH I Ketut Diarmita menjelaskan pada 3 April 2020, bahwa sesuai dengan amanat UU tersebut, pemerintah telah mengatur penerapan sistem jaminan keamanan pangan terhadap unit usaha produksi pangan asal hewan (termasuk daging ayam), dari sejak ternak dibudidayakan sampai dengan siap dikonsumsi masyarakat.
Lebih lanjut, terkait isu pemanfaatan hormon pertumbuhan yang mengakibatkan ayam pedaging (broiler) lebih cepat tumbuh, mirip penjelasan dr. Pratiwi, Ketut menjelaskan, ayam broiler yang ada sekarang merupakan ayam yang secara genetik diseleksi untuk dapat tumbuh cepat dengan pemeliharaan yang spesifik, terukur, dan disiplin, termasuk dalam hal pemberian pakan dan kesehatan yang diatur ketat dalam sistem pemeliharaannya.
Ia memastikan bahwa pemerintah pusat dan daerah telah mengatur dan juga mengawasi tata cara budidaya yang baik dalam sistem budidaya ternak potong termasuk ayam broiler. Sekaligus memastikan untuk saat ini tidak ada sama sekali penggunaan hormon pertumbuhan pada ternak ayam.
"Jadi tidak ada sama sekali penggunaan hormon pertumbuhan pada ternak ayam," jelas Dirjen Diarmita.
Untuk memastikan hal tersebut, Kementan secara rutin melakukan Program Monitoring-Surveilans terhadap Residu dan Cemaran Mikroba (PMSRCM) pada produk hewan, dan sejauh ini tidak ditemukan adanya residu hormon pada daging ayam.
Kepastian yang sama juga diungkap Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen PKH drh.Syamsul Ma’arif. Pada pemeriksaan residu antibiotik dalam daging ayam dan telur, ia memastikan bahwa residu antibiotik yang ditemukan sudah mendekati nol seiring dengan pengaturan penggunaan obat hewan, khususnya penggunaan antibiotik di peternakan.
Terpisah, Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor (IPB), Denny W. Lukman juga meluruskan soal isu pemberian hormon pada ayam broiler. Menurutnya, pemberian hormon justru tidak efisien dari segi harga dan praktiknya.
"Tak ada ayam berhormon. Pemberian hormon tidak efisien dari segi harga, juga praktiknya," kata Kepala Divisi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor (IPB), Denny W. Lukman mengutip laporan Tirto (5/9/2023).
Mengutip salah satu penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan Institut Pertanian Bogor (2019), ayam broiler memang dikembangkan untuk memproduksi daging secara cepat. Hanya butuh waktu kurang dari 5 minggu bagi ayam broiler untuk tumbuh besar dan siap dikonsumsi.
Penelitian tersebut mengungkap masa pertumbuhan ayam yang relatif singkat bukan karena suntikan hormon. Keunggulan broiler didapat dari proses seleksi yang sangat ketat sehingga didapatkan sifat genetik yang unggul dengan kondisi pemeliharaan yang terkontrol meliputi makanan, temperatur lingkungan, dan manajemen pemeliharaannya.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang dilakukan, tidak ditemukan keterangan resmi yang membenarkan klaim soal larangan makan bagian leher dan sayap ayam broiler karena mengandung hormon pencetus kanker yang paling tinggi.
Dr. Pratiwi Rapih Astuti Natsir menyatakan bahwa tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa bagian tertentu dari ayam dapat menyebabkan suatu penyakit, selama pengolahannya bersih dari bakteri dan dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan.
Lebih jauh, melalui Undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pemerintah secara tegas telah melarang penggunaan hormon bagi hewan konsumsi.
Untuk memastikan hal tersebut Kementan sendiri secara rutin melakukan Program Monitoring-Surveilans terhadap Residu dan Cemaran Mikroba (PMSRCM) pada produk hewan.
Jadi, informasi yang menyebutkan bahwa makan bagian leher dan sayap ayam broiler dapat menyebabkan kanker bersifat salah dan menyesatkan (false and misleading).
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty