tirto.id - Tahun 2022 baru berjalan tak lebih dari tiga minggu, sudah ada unggahan bombastis yang banyak disebar. Ungahan yang tersebar di Facebook itu mengklaim bahaya menerima transfusi darah dari orang yang telah menerima vaksin COVID-19. Unggahan ini disebarkan oleh akun Facebook AL HAWA ZAMRATU ILMI pada 20 Juli 2021 (tautan, arsip). Namun, meski sudah agak lama tersebar, informasi ini kembali dibagikan oleh banyak akun.
Postingan Al Hawa berupa sebuah video berdurasi kurang dari 2 menit dan berbahasa Inggris. Selain itu, ia juga menuliskan deskripsi: MEDIA LUAR NEGARA, JELASKAN,, BAHAYA MENERIMA DONOR DARAH, DARI ORANG YANG SUDAH DI VAKSIN KENAPA, LIHAT SELENGKAPNYA .......
Narasi video itu menyebut belum ada penelitian yang menjamin keamanan darah dari donor yang sudah divaksin. Narator video juga menyebutkan bahwa vaksin mRNA yang membentuk spike protein dapat menyebabkan penyakit autoimun. Selain itu, reaksi antibodi dan protein darah dapat mengganggu sistem koagulasi darah hingga menyebabkan penyumbatan darah.
Lantas, bagaimana fakta sebenernya? Bagaimana pula otoritas kesehatan menanggapi isu ini?
Penelusuran Fakta
Tirto melakukan konfirmasi mengenai isu ini kepada Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi. Beliau memberi konfirmasi bahwa donasi darah dari seseorang yang telah divaksin COVID-19 tidak berbahaya.
“Seseorang yang divaksin maksimum 2 minggu setelahnya bisa mendonorkan darah,” tutur Nadia melalui obrolan daring pada Senin (17/01).
Lalu, berkebalikan dengan unggahan video yang menyampaikan bahwa belum ada standar keamanan terkait donasi darah dari orang yang sudah divaksin COVID-19, saat ini telah banyak studi yang membahas periode penangguhan donor darah atau hal-hal yang perlu diperhatikan ketika ingin donor darah pasca vaksinasi.
Salah satu studi tersebut berasal dari Gupta & Jain (2021) yang dipublikasikan di jurnal Elsevier. Sejalan dengan yang disampaikan Siti Nadia, studi ini juga menyampaikan perbedaan periode penangguhan donor darah setelah melakukan vaksinasi.
Studi yang sama juga menyampaikan bahwa penerima "vaksin tidak hidup" seperti CoronaVac yang dikembangkan oleh Sinovac, vaksin Sinopharm, dan Bharat Biotech; tidak memerlukan periode penangguhan jika ingin melakukan donor darah. Ini berbeda dengan live-attenuated vaccine/vaksin hidup yang dilemahkan. Namun, sebagian besar negara mengikuti periode penangguhan donor darah yang berbeda pasca vaksinasi COVID-19.
Seperti dirangkum Gupta & Jain (2021), penangguhan donor bagi penerima vaksin tidak hidup menurut WHO bisa sampai 7 hari atau hingga efek vaksinasi seperti demam, pegal, atau efek lainnya tidak dirasakan lagi.
Kemudian, menurut Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA), mereka yang menerima vaksin dari virus yang dimatikan tidak perlu menunggu waktu tertentu jika ingin melakukan donor darah.
Selain dari WHO dan FDA, studi dari Gupta & Jain (2021) juga merangkum anjuran dari Joint United Kingdom Blood Transfusion and Tissue Transplantation Services Professional Advisory Committee (JPAC), European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC), Australian Red Cross Lifeblood, Singapore Health Sciences Authority, dan lain sebagainya.
Terlepas dari berbagai variasi kebijakan penangguhan donor darah, studi Jacobs et al. (2021) yang dipublikasikan di British Journal of Haematology mengatakan: tidak ada bukti bahwa donor darah dari pendonor yang divaksinasi COVID-19 menimbulkan risiko bagi penerima. Serta, transfusi darah dari pendonor yang sebelumnya memiliki COVID-19 tidak terkait dengan risiko infeksi COVID-19.
Kemudian, unggahan Al Hawa juga memuat tentang bahaya donor darah dari orang yang telah divaksin hanya berfokus pada vaksin yang waktu itu dalam uji klinik. Sementara vaksin yang didistribusikan di masyarakat saat ini adalah vaksin yang telah lolos tahap uji klinik dan disetujui BPOM, seperti vaksin buatan Sinovac, vaksin AstraZeneca, vaksin Moderna, dan juga Pfizer/BionTech.
Unggahan yang sama juga membahas efek samping membahayakan dari vaksinasi COVID-19. Di Amerika Serikat, laporan kematian setelah vaksinasi COVID-19 jarang ditemukan. FDA mewajibkan penyedia layanan kesehatan untuk melaporkan kematian apa pun setelah vaksinasi COVID-19 kepada Sistem Pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan Vaksin (VAERS), meski tidak jelas sekalipun jika vaksin adalah penyebabnya.
Laporan tentang efek samping vaksinasi kepada VAERS, termasuk laporan kematian, tidak selalu berarti bahwa vaksin menyebabkan masalah kesehatan. Lebih dari 520 juta dosis vaksin COVID-19 diberikan di Amerika Serikat mulai 14 Desember 2020 hingga 10 Januari 2022.
Dalam kurun waktu ini, VAERS menerima 11.225 laporan kematian (0,0022%) di antara orang-orang yang menerima vaksin COVID-19. CDC dan FDA meninjau laporan kematian VAERS termasuk sertifikat kematian, otopsi, dan catatan medis, untuk menentukan dan mengevaluasi kasus kematian ini.
Beberapa kasus yang disorot oleh CDC karena vaksinasi adalah anafilaksis atau syok yang disebabkan oleh reaksi alergi yang berat (kasus ini cukup jarang ditemukan); kasus trombosis atau penggumpalan darah setelah vaksinasi Johnson & Johnson (hanya 57 kasus vaksinasi J&J yang mengalami gangguan ini); sindrom Guillain-Barré atau penyakit yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf tepi (terjadi pada vaksinasi J&J); dan Miokarditis (peradangan yang terjadi pada miokardium atau otot jantung) serta Perikarditis (iritasi dan peradangan pada lapisan tipis berbentuk kantong yang melapisi jantung).
Seperti dikutip dari Kompas, di Indonesia sendiri, ketika vaksinasi Sinovac dan AstraZeneca telah bergulir di bulan Mei 2021, terdapat ratusan laporan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Namun, hingga 1 Januari 2022, Ketua Komnas KIPI Prof Hindra Irawan Satari kembali menegaskan bahwa belum ada kasus meninggal yang disebabkan vaksinasi COVID-19.
Data Komnas KIPI hingga 30 November 2021 menunjukkan sebanyak 363 KIPI Serius yang dilaporkan di seluruh provinsi di Indonesia.
“Namun kasus meninggal (sampai saat ini) belum ada,” tegasnya melalui situs resmi Kemenkes.
Selanjutnya, terdapat pula klaim dari video bahwa terdapat kasus autoimun pasca vaksinasi mRNA COVID-19. Sayangnya video tersebut hanya menyampaikan klaim tanpa memberi contoh atau penjelasan. Sebuah studi dari Li et al. (2021) mencatat kejadian autoimun di antara 3,9 juta penduduk Hongkong yang divaksinasi dosis pertama dan dosis penuh Pfizer dan CoronaVac. Hasil penelitian itu menunjukkan, dalam 28 hari setelah vaksinasi, insiden kumulatif untuk semua kondisi autoimun berada di bawah 9 per 100.000 orang, untuk kedua jenis vaksin dan kedua dosisnya.
Menurut studi ini pula, kondisi autoimun yang memerlukan perawatan di rumah sakit jarang terjadi setelah vaksinasi mRNA dan vaksinasi virus COVID-19 yang dinonaktifkan, jika dibandingkan dengan insiden serupa pada individu yang tidak divaksinasi. Studi ini juga menyebut, pengawasan keamanan berbasis populasi sangat penting untuk mendeteksi kejadian keamanan vaksin yang langka dan tidak terduga.
Namun, meski jarang terjadi, sebuah studi dari Chen et al. (2021) menyebutkan diperlukannya penilaian klinis lebih lanjut mengenai apakah hubungan antara kejadian autoimun dan vaksin COVID-19 bersifat kebetulan atau kausal.
Klaim lainnya yang disampaikan video adalah bahaya kasus penggumpalan darah yang disebabkan vaksin AstraZeneca. Kasus penggumpalan darah memang ditemukan pasca vaksinasi AstraZeneca, tapi prevalensi terjadinya kasus ini cukup jarang, yakni 222 kasus pada pemberian 34 juta dosis vaksin (0,00065%). Seperti dicatat BPOM per Mei 2021, kejadian ini jauh lebih rendah dibandingkan kemungkinan terjadinya kasus pembekuan darah akibat penyakit COVID-19, yakni 165 ribu kasus per 1 juta infeksi COVID-19 (16,5%).
Namun, pada Mei 2021 berbagai otoritas kesehatan menyatakan bahwa vaksinasi Covid-19 membawa manfaat lebih besar. Hal ini disampaikan Kemenkes, Departemen Kesehatan Australia, dan European Medicines Agency (EMA).
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa vaksin yang didistribusikan di masyarakat saat ini bersifat aman. Menerima donor darah dari mereka yang telah divaksin COVID-19 juga bersifat aman. Selain itu, otoritas kesehatan juga menetapkan periode penangguhan hingga pendonor dapat mendonorkan darah pasca vaksinasi. Informasi dari video yang tersebar di Facebook bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading).
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Nuran Wibisono