Menuju konten utama

Benarkah Debat Pilkada Mempengaruhi Elektabilitas?

Debat pertama Pilgub DKI fase orientasi, kedua konsolidasi, dan ketiga harus sudah solid.

Benarkah Debat Pilkada Mempengaruhi Elektabilitas?
Tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Agus Harimurti Yudhoyono (kiri)-Sylviana Murni (kedua kiri), Basuki Tjahaja Purnama (ketiga kiri)-Djarot Saiful Hidayat (ketiga kanan), Anies Baswedan (kedua kanan)-Sandiaga Uno (kanan) menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum mengikuti Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (27/1). Debat calon Gubernur dan Wakil Gubernur kedua mengusung tema tentang reformasi birokrasi, pelayanan publik, serta strategi penataan kawasan perkotaan. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A./kye/17

tirto.id - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hanya tertawa saat awak media meminta tanggapannya mengenai hasil survei yang memposisikan elektabilitasnya di peringkat buncit. Calon gubernur nomor urut satu itu enggan ambil pusing. Menurutnya survei tidak bisa dijadikan patokan lantaran yang lebih riil adalah kondisi di lapangan. “Tanggapan pertama ketawa saya,” kata Agus di bilangan Kelapa Gading Jakarta Utara.

Sylviana Murni, yang menjadi calon wakil gubernur Agus pun punya tanggapan seragam. Ia bilang apa pun hasil survei gerilya lapangan akan terus berjalan. "Aku sama mas Agus. Komentar pertama Hahahahaha. Jadi ketawa," ujar Sylvi.

Itu hari 22 Januari 2017, Agus-Sylvi memang tengah menjadi buruan wartawan. Sebab di saat bersamaan sebuah lembaga kajian bernama Populi Center baru saja merilis hasil survei mengenai elektabilitas tiga calon gubernur DKI Jakarta. Hasilnya Ahok-Djarott meraih persentase elektabilitas 36,7 persen, diikuti Anies-Sandi 28,5 persen, Agus-Sylvi 25,0 persen, dan sebanyak 9,8 persen yang belum menentukan pilihan.

Yang menarik dari survei itu adalah Populi Center mengaitkan elektabilitas ketigas paslon dengan penampilan mereka saat debat pertama. Peneliti Populi Center, Nona Evita mengatakan elektabilitas Ahok-Djarot unggul lantaran mayoritas respoden menganggap keduanya lebih menguasai permasalahan Jakarta saat debat pertama berlangsung.

Hasil nyaris senada juga ditunjukkan dua lembaga survei lain: Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Kedua lembaga menyatakan elektabilitas Ahok-Djarot pascadebat pilkada pertama unggul dibandingkan Anies-Sandi dan Agus Sylvi.

Efek Debat bagi Elektabilitas Kandidat

Dalam demokrasi modern, debat menjadi salah satu instrumen penting menakar kapasitas dan kapabilitas calon pemimpin. Lewat debat, masyarakat bisa tahu seberapa jauh calon pemimpin memahami realitas dan persoalan. Lewat debat pulalah masyarakat bisa menilai kesiapan calon pemimpin untuk menghadapi dan menuntaskan persoalan.

Signifikansi debat untuk mendulang dukungan disadari tiga pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Sejak debat resmi KPU DKI pertama digelar, setiap paslon menyiapkan diri dengan berbagai cara. Dan malam ini menjadi ujian terakhir bagi tiga calon pemimpin DKI Jakarta untuk memikat hati masyarakat ibu kota.

KPU DKI Jakarta sebelumnya memang sudah dua kali menyelenggarakan debat. Debat pertama digelar pada 13 Januari 2017. Tema yang diangkat cukup luas yakni sosial-ekonomi, pendidikan-kesehatan, dan lingkungan-transportasi. Berselang hampir dua pekan kemudian KPU menggelar debat kedua, tepatnya 27 Januari 2017. Kali ini tema debat lebih mengerucut dibanding sebelumnya: reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kota.

Beragam tanggapan muncul usai debat pertama dan kedua berlangsung. Salah satunya adalah survei sejumlah lembaga yang berusaha mengaitkan penampilang setiap calon dengan tingkat elektabilitas.

Lembaga survei Populi Center merilis hasil yang menyatakan elektabilitas Ahok-Djarot unggul dibandingkan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi pasca debat pertama. Ahok-Djarot meraih persentase elektabilitas 36,7 persen, diikuti Anies-Sandi 28,5 persen, Agus-Sylvi 25,0 persen, dan sebanyak 9,8 persen yang belum menentukan pilihan.

Peneliti Populi Center, Nona Evita mengklaim pihaknya mewawancarai 600 responden di enam wilayah DKI Jakarta. Metode yang digunakan adalah acak bertingkat alias multistage random sampling dengan margin of error sekitar empat persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Ia mengatakan elektabilitas Ahok-Djarot unggul lantaran mayoritas responden menganggap keduanya lebih menguasai permasalahan Jakarta dan tahu solusi penyelesaiannya.

Hasil nyaris senada juga ditunjukkan dua lembaga survei lain yaitu Indikator Politik Indonesia dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Kedua lembaga tersebut menyatakan elektabilitas Ahok-Djarot pasca debat pilkada pertama unggul dibandingkan Anies-Sandi dan Agus Sylvi.

Survei Litbang Kompas sepanjang 28 Januari sampai 4 Februari 2017 menunjukan signifikansi debat terhadap preferensi publik memilih kepala daerah. Salah satu indikatornya adalah peningkatan jumlah penonton debat. Dari 804 responden yang dianalis Litbang Kompas, sebanyak 57,6 persen mengaku menonton debat Pilkada DKI pertama. Jumlah tersebut meningkat menjadi 62,2 persen saat debat pilkada kedua. Survei Litbang Kompas juga menyebutkan sebanyak 28,4 persen responden mengaku lebih yakin mengubah pilihan usai menonton debat.

Belajar dari Pengalaman Hilary Clinton

Tapi benarkah keberhasilan dalam debat menentukan kemenangan seorang calon kepala daerah di pilkada? Belum tentu. Pemilu Amerika Serikat beberapa waktu lalu memberikan pelajaran berharga.

Debat perdana Hillary Clinton versus Donald Trump pada 26 September waktu setempat mencatatkan rekor penonton terbanyak dalam sejarah Amerika Serikat. Data Nielsen menyebut ada 84 juta pemirsa dan 13 saluran tv yang menyiarkan secara langsung. Jumlah ini belum termasuk mereka yang menonton melalui live streaming atau nonton bareng. Tak ayal jumlah pemirsa debat Clinton versus Trump tersebut memecahkan rekor debat 36 tahun lalu antara Jimmy Carter dan Ronald Reagen. Ketika itu, di tahun 1980 debat Carter dan Reagen ditonton oleh 80,6 juta penonton.

Dalam berbagai survei dan jajak pendapat Hillary yang merupakan calon Partai Demokrat juga selalu dinyatakan unggul. Tak ada yang menyangka jika Trump yang mengusung semboyan “Make America Great Again” mampu menjungkirbalikkan semua ramalan di hari pemilihan.

Berkaca dari kasus tersebut pendiri Lingkaran Survei Indonesia Denny J.A. mengatakan debat hanya akan berpengaruh kepada swing voters (pemilih tidak tetap) yang menonton televsisi. Dia memperkirakan hanya ada 10 persen pemilih yang bisa terpengaruh dengan siaran debat di televisi.

Empat Aspek yang Menentukan Hasil Debat

Pengamat komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Gungun Heryanto mengatakan sejatinya debat adalah proses pengelolaan opini publik. Debat yang berlangsung tiga tahap memiliki maknanya masing-masing.

Debat pertama, kata Gungun, adalah fase orientasi panggung sekaligus brainstorming (mendapat ide dan gagasan). Debat kedua adalah fase konsolidasi atas debat sebelumnya yang mungkin masih terdapat keliruan. Sedangkan debat ketiga adalah fase solid. Sebuah fase penguatan atas gagasan dan ide yang telah disampaikan dalam debat-debat sebelumnya.

“Ketiga fase ini akan member warna bagi preferensi pemilih di masyarakat yang melek informasi,” ujar Gungun.

Lantas aspek apa saja yang dinilai masyarakat dari sebuah debat? Menurut Gungun ada empat aspek yang mempengaruhi preferensi masyarakat saat menonton debat. Pertama, aspek retorika. Retorika penting karena berkaitan dengan kemampuan menyampaikan gagasan.

“Retorika yang buruk akan membuat makna yang ingin disampaikan menjadi buruk,” ujarnya kepada Tirto.

Kedua, manajemen forum. Aspek ini berkaitan dengan kemampuan mengelola dialektika, memanfaatkan pilihan isu, pembagian peran, hingga optimalisasi waktu. Kegagalan mengelola forum akan membuat pesan tidak tersampaikan dengan baik.

Infografik selayang pandang debat ketiga pilkada dki

“Seperti kasus kemarin Sylvi bertanya terlalu panjang atau over time (melebihi waktu) sehingga menjadi noise,” contoh Gugun.

Ketiga, aspek ketegasan dalam memposisikan diri (positioning). Gungun mengatakan, dalam debat setiap paslon memainkan peran sesuai posisi masing-masing. Dalam konteks ini penting bagi mereka untuk menegaskan posisi tersebut kepada khalayak pemilih.

Agus-Sylvi dan Anies-Baswedan misalnya. Kedua paslon tersebut hadir sebagai challenger (penantang) Ahok-Djarot. Maka pilihan argumentasi yang dibangun keduanya haruslah menyerang Ahok-Djarot sebagai petahana. Gungun melihat dalam dua debat sebelumnya pasangan Anies-Sandi cukup berhasil menegaskan posisi mereka sebagai penantang. Keduanya kerap menyajikan data dan fakta yang menyanggah argumentasi Ahok-Djarot.

Hasilnya? “Wajar kalau insentif elektoral lebih banyak masuk ke Anies-Sandi ketimbang Agus-Sylvi,” ujar Gungun.

Keempat, aspek impresif. Gungun mengatakan aspek ini berkait erat dengan kemampuan paslon menyentuh dan meyakinkan nalar publik. Artinya, setiap ide dan gagasan yang terlontar harus bisa diterima akal. Dia mencontohkan seberapa realistis program Bantuan Langsung Sementara Agus-Sylvi diterapkan, seberapa jauh penolakan Anies-Sandi terhadap proyek reklamasi dari aspek operasional kewenangan, dan seberapa signigikan manfaat reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Ahok-Djarot.

“Jangan lupa saat mereka berpidato ada banyak mata yang menonton,” ujar Gungun.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Zen RS