tirto.id - Pergi ke Amerika Serikat adalah hal yang membuat Cholil Mahmud cukup gundah. Pada 2014, istri Cholil, Irma Hidayana mendapat beasiswa untuk kuliah S2 di Montclair State University, New Jersey. Sayangnya, beasiswa itu hanya untuk satu orang, tanpa tanggungan keluarga. Untuk pergi ke Amerika Serikat, Cholil juga harus meninggalkan pekerjaannya, dan membuatnya vakum berdendang dari band yang membuat namanya dikenal banyak orang: Efek Rumah Kaca. Pasangan ini kemudian mencari cara supaya mereka tetap bisa bareng.
"Waktu itu Angan Senja, anak kami, masih ASI. Kasihan juga kalau harus pisah dengan ibunya. Jadi saya ikutan sekolah juga supaya bisa berangkat dan bawa anak," kata Cholil.
Cholil menanggapi fase ini dengan ringan dan senang belaka. Dengan santai Ia berkelakar bahwa biayanya sekolah berasal dari "beasiswa Jual Rumah Foundation".
Pengalaman merantau di New Jersey memberikan banyak pengalaman baru bagi Cholil. Contoh paling sederhana: memasak. Di Indonesia, Cholil tak pernah memasak. Saat Ramadan tiba, mencari menu buka puasa amatlah mudah. Penjual takjil dan makanan "berat" ada di mana-mana.
Di Amerika Serikat, kemudahan seperti itu jelas absen. Apalagi sebagai keluarga perantau, mengetatkan ikat pinggang adalah kewajiban. Jadi Cholil dan Irma memasak sendiri santapan sehari-hari. "Waktu di New Jersey ya harus buka Youtube untuk cari resep masakan, atau Googling untuk bikin takjil," katanya. Sekarang Cholil sudah lumayan menguasai berbagai makanan: Bakwan. Tahu isi. Sambal kacang. Kolak. Es blewah. Namun, Ia masih berusaha keras menguasai teknik membuat lontong. Sepertinya membuat lontong lebih susah bagi Cholil ketimbang membuat lagu. Setidaknya saat ini.
"Selama ini hasilnya gagal terus. Harus cari formulasi yang pas," ujar Cholil tertawa kecil.
Setelah nyaris 2 tahun tahun, perjuangan Irma selesai. Mereka sekeluarga pulang ke Indonesia. Merantau selama 2 tahun di Negeri Paman Sam dan disibukkan dengan kegiatan domestik, membuat Cholil sedikit banyak memendam kegiatannya bermusik. Ketika pulang ke Indonesia, hasil peraman itu dikeluarkan. Hasilnya adalah album dahsyat Sinestesia, yang sudah digarap sejak Desember 2009 tetapi baru rampung ketika Cholil pulang ke Indonesia pada pertengahan 2015.
Cholil, Irma, dan Angan tak lama berada di Indonesia. Awal 2016, Irma mendapat beasiswa lagi. Kali ini di Columbia University, New York. Kota ini memang hanya berjarak 35 menit naik mobil dari Montclair, tempat Irma dan Cholil bersekolah pada 2014. Namun, ada banyak perbedaan dari dua kota bertetangga ini.
Dari segi komunitas, misalkan. Menurut Cholil, ada lebih banyak komunitas Indonesia di New York. Begitu pula soal bahan makanan Indonesia. Kota New York adalah wadah salad dari berbagai kultur dunia. Karena itu mencari bahan makanan Indonesia lebih mudah di New York.
Di New York juga akan lebih mudah menemui masjid. Menurut hasil studi berjudul The American Mosque 2011 yang dibuat oleh beberapa kelompok penelitian, termasuk The Islamic Society of North America dan The Council on American-Islamic Relations, New York adalah negara bagian yang punya masjid terbanyak di Amerika Serikat, dengan jumlah 257 masjid.
Tahun ini, Cholil dan keluarga kembali menjalani Ramadan di Amerika Serikat. Kali ini, ujar Cholil, cuacanya tak sepanas tahun lalu. Meski begitu, durasi puasanya masih tetap sama, berkisar 15-16,5 jam. Saat pertama kali berpuasa di AS, hari terasa amat pendek bagi Cholil.
"Puasanya lama. Saking capainya, setelah buka langsung ngantuk, ketiduran, eh bangun-bangun sahur," ujarnya tertawa. "Jadi seperti cuma setengah jam menikmati makan, setelah itu tidur," kata Cholil.
Ada banyak hal yang dipelajari oleh Cholil di New York. Antara lain bagaimana menjadi minoritas. Cholil menyebutnya dengan istilah, "sehari-hari sudah minoritas." Mereka adalah orang Asia. Muslim. "Dan miskin," kata Cholil jenaka. Hal ini tentu menjadi pengalaman baru bagi Cholil yang termasuk bagian mayoritas ketika berada di Indonesia: tinggal di Jawa, muslim, dan apa boleh buat, warga miskin memang mayoritas di Indonesia.
Menjalani hari-hari sebagai minoritas juga makin terasa ketika Ramadan. Di New York, tak ada suara bedug. Nihil suara anak-anak kecil berkeliling membangunkan orang untuk sahur. Jelas tak ada pula Satpol PP yang memaksa warung untuk tutup demi menghormati orang puasa.
"Di sini kami belajar bagaimana rasanya jadi minoritas. Malah banyak bersyukur," ujar Cholil.
Perasaan yang sama juga dialami Dita Anggraeni. Sejak 2011, Dita merantau ke New York untuk bekerja di Persatuan Bangsa-Bangsa, lebih tepatnya di Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA). Pekerjaannya sehari-hari adalah memproduksi infografik, bahan visual untuk kepentingan komunikasi dan relasi dengan donor. Karena bekerja di OCHA, ia mengurusi penggalangan dana untuk krisis kemanusiaan seperti soal pengungsi Suriah, konflik di Yaman, atau banjir di Sri Lanka.
Bagi Dita, suasana Ramadan berbeda di New York itu karena tak ada iklan sirup di teve. Juga tak ada pengumuman takjil gratis di restoran. Tapi suasana seperti ini yang kemudian melahirkan pemikiran spiritual bagi Dita.
"Ramadan tak ada di kota New York, tapi ada di diri kita sendiri," ujarnya.
Sewaktu tinggal di kawasan Lower East Side, Dita mengisahkan tentang kebiasaannya salat Tarawih di Masjid Madina. Jaraknya hanya satu blok dari apartemen. Salat Isya dimulai pada pukul 22.15. Kemudian dilanjut 23 rakaat salat Tarawih dan Witir. Ibadah ini baru usai pukul 23.30.
Kawasan Lower East Side ini menarik. Daerah ini pernah jadi basis pergerakan politik radikal. Banyak aktivis anarkisme, juga komunisme, membentuk komunitas di sini. Di sisi lain, banyak seniman yang tinggal di daerah ini. Menurut Graham Hodges dalam The Encyclopedia of New York City (2010), kawasan ini populer bagi aktivis, seniman, juga orang jalanan, karena harga sewa rumah dan makanan yang murah meriah.
Michael Monroe, vokalis band Hanoi Rock dan seorang biduan solo, pernah tinggal selama beberapa tahun di Lower East Side di era 1970-an dan awal 1980-an. Pengalaman itu kemudian dituangkan dalam lagu "Ballad of Lower East Side" yang Ia ciptakan pada 2013. Di sana Monroe mengisahkan betapa banyak perubahan di kawasan Lower East Side ini. Dulu, di era 1970-an, daerah Third Street banyak dihuni oleh pecandu narkoba, germo, juga pelacur. Para tunawisma bisa santai menggelar alas tidur di mana saja. Tak higienis, tapi memberikan kenyamanan bagi banyak orang.
"Now it’s squeaky clean, there’s no place left to stay," teriak Monroe, 4 dekade setelah ia meninggalkan Lower East Side.
Monroe tak salah. Sekarang Lower East Side menjadi daerah yang aman dan jadi daerah nongkrong. Mirip Kemang di Jakarta Selatan. Tepat di sana, Masjid Madina menjadi semacam oase bagi para pencari tuhan. Dita menyebut kehadiran masjid yang banyak diisi jamaah dari Turki dan Afrika ini sebagai, "Rendah hati dan berfungsi dengan manis."
Menjalani hidup di New York sebagai muslim yang berpuasa, tak menghadirkan keringanan bagi Cholil dan Dita. Sehari-hari Cholil bertugas untuk masak, menemani Angan belajar, membaca, juga yoga. Kalau sedang berada di luar rumah, Cholil harus menelan ludah menyaksikan pizza dijajakan, bebek panggang dipajang, pastrami memanggil. Sedangkan Dita berkantor setiap pagi, menahan diri dari godaan wangi kopi yang baru selesai disangrai dan roti yang baru diangkat dari oven: wangi yang berasal dari puluhan kafe yang bertebaran di 44th Street.
Di New York, Cholil, Dita, juga muslim yang berpuasa menjalankan esensi berpuasa yang sebenarnya: menahan diri dari berbagai godaan.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti