tirto.id - “Saya nggak suka tuh Film James Bond, tidak masuk akal ceritanya!”
“Kita adalah bangsa yang rasional dan selalu mengangkat cerita film berdasarkan aspek kehidupan nyata.”
Kalimat itu dilontarkan oleh seorang pejabat tinggi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) ketika bertemu dengan Nigel Goldsack, tokoh penting di EON Production, rumah produksi tersohor yang banyak membidani karya-karya besar film James Bond.
Goldsack merupakan tamu dari sutradara Iman Brotoseno yang sedang mencari lokasi syuting di Indonesia untuk film legendaris “Tomorrow Never Dies” yang jadi box office pada 1997. Film James Bond tersebut akhirnya batal syuting di Indonesia. Tidak adanya dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia membuat Goldsack akhirnya membatalkan niatnya memajang keindahan Indonesia di film yang dibintangi Pierce Brosnan tersebut.
Peluang Indonesia jadi etalase film Hollywood lewat James Bond sebenarnya sudah selangkah lagi. Eksekutif produser Michael G Wilson sudah terbang ke Indonesia untuk berburu lokasi-lokasi indah sebagai latar aksi sang agen rahasia, termasuk Gunung Krakatau di Selat Sunda hingga gedung pencakar langit Wisma BNI 46 Jakarta dengan budget 70 juta dolar. Namun, keburuntungan datang untuk Thailand dan Kamboja sebagai tempat syuting alternatif.
Kisah kegagalan Indonesia sebagai tempat syuting “Tomorrow Never Dies” itu dituliskan oleh Iman Brotoseno dalam blog pribadinya http://blog.imanbrotoseno.com.
“Negara kamu tidak pernah berubah.” Ucapan Bos EON Production itu sangat membekas dalam ingatan sutradara 3 Srikandi tersebut.
Cerita Brotoseno membongkar tabiat birokrat angkuh yang tak “melek mata” dan terasa usang di tengah dunia yang sudah sangat berubah kini. Ketika negara-negara tetangga membuka lebar-lebar tangannya untuk industri kreatif asing, Indonesia ternyata masih terkungkung pada tabiat masa lalu. Padahal, sikap tersebut jelas merugikan. Indonesia jarang dilirik sebagai tempat-tempat syuting untuk film box office, meski memiliki tempat yang sangat indah. Hingga kini, jumlah film asing yang mengambil latar Indonesia masih bisa dihitung dengan jari.
Bila dihitung dari 1996, jumlah film asing termasuk Hollywood yang mengambil gambar di Indonesia tak lebih dari 26 film layar lebar. Angka ini masih jauh dari capaian Thailand yang memeroleh angka yang sama hanya dalam satu tahun.
Kalah Jauh dari Thailand
Setiap tahun, Thailand meraup pendapatan langsung dari kegiatan pengambilan gambar produsen film asing yang cukup besar. Pada 2014 Thailand mampu mengantongi 1,93 miliar baht atau sekitar Rp725 miliar dari kegiatan syuting film-film negeri seberang. Perolehan itu mencakup kegiatan produksi 48 film layar lebar asing, dari total seluruhnya 600 film komersial hingga video musik asing. Angka ini memang turun dari tahun sebelumnya yang sempat mencapai 717 film, dengan pendapatan 2,17 miliar baht dari kegiatan yang sama.
Negeri Gajah Putih itu memang menyiapkan “karpet merah” melalui lembaga khusus perfilman Thailand untuk siapa saja yang akan membuat film di negara mereka. Thailand memberikan segala kemudahan hingga insentif kepada para produser film asing yang mengambil gambar di negaranya, termasuk bagi yang produser asing yang baru memulai. Proses perizinan yang tak rumit, membuat insan film dunia nyaman mengambil latar di Thailand.
Sebagai gambaran, calon produser film mengajukan izin langsung melalui online, dengan cukup memberikan rincian lokasi, lama kegiatan dan sebagainya. Bagi yang ingin mengambil syuting di taman nasional atau kawasan purbakala memang perlu ada izin khusus. Thailand menerapkan layanan satu pintu bagi produser film komersial seperti kegiatan iklan yang hanya 15 hari maka proses izinnya lebih cepat, dibandingkan film layar lebar yang butuh 3 minggu proses izinnya.
“Kami memberikan layanan terpadu satu pintu bagi para pembuat film internasional mengambil gambar di Thailand,” kata Direkur Departemen Pariwisata Thailand Ubolwan Sucharitakul dikutip dari tatnews.org.
Selain perizinan yang sederhana, mereka juga punya infrastruktur sumber daya manusia seperti kru film yang terlatih, perusahaan jasa film atau koordinator, hingga dukungan teknis yang sangat lengkap yaitu studio film yang mumpuni, antara lain Moon Star Studios, Montri Studios, dan ACTS Studio.
Dengan semua fasilitas tersebut, maka tak mengherankan jika Thailand terus kedatangan para pembuat film asing. Selain layar lebar, beberapa pembuat film komersial asing seperti Honda hingga Nestle membuat iklan mereka di Thailand.
Tidak hanya pemasukan bagi negara, pembuatan film di sebuah negara akan membawa dampak positif dari sisi pariwisata. Misalnya saja jumlah pengunjung Pulau Phi Phi Thailand yang naik 22 persen, setelah rilis film “The Beach” yang dibintangi aktor Leonardo DiCaprio pada 2000.
Indonesia sendiri sempat menikmati berkah ketika film Eat Pray Love (EPL) yang dibintangi Julia Roberts tayang. Setelah penayangan film itu pada 2010, banyak agen perjalanan menawarkan paket wisata Napak Tilas lokasi Eat Pray Love. Pada 2011 jumlah turis asing ke Bali naik 10 persen dari 2,4 juta jadi 2,7 juta turis.
Harus Berbenah
Potensi itu bukan tidak tertangkap oleh Presiden Joko Widodo. Saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi memberikan izin Jakarta untuk lokasi syuting film Hollywoodd yakni “Blackhat” yang dibintangi aktor Chris Hemsworth. Tempat-tempat yang sempat disinggahi oleh aktor pemeran film “Thor” itu antara lain Lapangan Banteng, Apotek Melawai, Tanah Abang, dan Pelabuhan Sunda Kelapa.
Waktu itu, Jokowi sudah sadar bahwa Jakarta memang tertinggal dengan kota-kota besar lainnya di kawasan. Dibandingkan Kuala Lumpur, Saigon, dan Bangkok. Ibu Kota Indonesia ini memang kurang dilirik oleh para pembuat film asing khususnya Hollywood.
“Membangun merek kan tidak melulu promosi. Bisa lewat kemunculan di sebuah film internasional,” kata Jokowi dikutip dari Antara.
Namun upaya sadar pemerintah saat ini bukan pekerjaan mudah. Para produser film Hollywood sudah nyaman memakai etalase negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Mereka juga punya candi, baju adat, hutan hujan tropis, pantai yang indah, masyarakat yang ramah yang mirip-mirip dengan Indonesia.
Persoalan lain yang masih jadi kendala Indonesia adalah soal infrastruktur yang belum memadai untuk mengakses tempat-tempat menarik untuk kegiatan produksi film sehingga memakan biaya yang tak sedikit. Untuk menjangkau kepulauan Nias atau Raja Ampat yang eksotis tentu seorang pembuat film butuh dana ekstra bila dibandingkan dengan di Thailand.
Di Thailand, sudah banyak paket perjalanan yang disediakan untuk kegiatan syuting film, seperti mengangkut transportasi sutradara, kru, hingga para artis, termasuk berbagai peralatan produksi.
“Pemerintah Thailand membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi film-film asing untuk melakukan syuting di sana, tidak terkecuali pada urusan diskon pajak dan akomodasi transportasi ke lokasi syuting. Nah, itu yang tidak dimiliki pemerintah kita,” kata pengamat film Yan Wijaya dikutip dari Sindo.
Thailand sudah memiliki infrastruktur yang baik, dengan jaringan transportasi yang efisien, SDM berpengalaman, kru film profesional dan peralatan modern mudah diakses, sebagai alat yang ampuh untuk menarik pembuat film. Tak bisa dipungkiri, Indonesia masih jauh tertinggal. Untuk hal-hal ini memang urusannya pada kemauan pemerintah. Indonesia hanya punya dua pilihan, mengejarnya atau hanya jadi penonton saja.